Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Film Hijab (2015) karya sutradara Hanung Bramantyo mencuri perhatian dalam acara Madani International Film Festival 2024: Marwah. Ditayangkan pada Kamis, 4 Oktober 2024, film ini mengangkat isu sosial seputar hijab, persahabatan, dan pemberdayaan perempuan dalam bingkai komedi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski dirilis hampir satu dekade lalu, film Hijab masih relevan dalam menggambarkan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat modern, khususnya di Indonesia.
Cerita Persahabatan dan Tantangan Rumah Tangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hijab berkisah tentang empat sahabat, Zaskia Adya Mecca sebagai Sari, Carissa Putri (Bia), Tika Bravani (Tata), dan Natasha Rizky (Anin). Keempat perempuan ini memiliki pendekatan berbeda dalam mengenakan hijab, bahkan Anin memilih untuk tidak berhijab sama sekali.
Persahabatan mereka diuji ketika suami Sari, Gamal (Mike Lucock), dengan sinis menyebut arisan yang mereka gelar sebagai arisan suami—sebab uang yang diputar berasal dari kantong para suami. Sindiran ini memicu kebangkitan semangat Tata yang tak nyaman bergantung sepenuhnya pada suami.
Bersama ketiga sahabatnya, mereka memutuskan untuk memulai bisnis hijab online. Bisnis ini berkembang pesat, hingga menyaingi penghasilan pasangan mereka. Film ini menyajikan pesan kuat mengenai pemberdayaan perempuan dengan humor yang segar, namun tetap kritis terhadap peran domestik perempuan dalam keluarga.
Hijab sebagai Ekspresi Diri
Di tangan Hanung Bramantyo, hijab tidak hanya sekadar penutup aurat, tapi juga bentuk ekspresi diri. Dari hijab syar'i yang dikenakan Sari, gaya modis Bia, hingga turban Tata yang digunakan untuk menutupi kepalanya yang botak—film ini menampilkan variasi hijab sebagai bagian dari mode.
Adapun Anin yang belum berhijab menjadi representasi pilihan perempuan yang tetap dihormati dalam pertemanan mereka. Hanung dengan lihai menggarap Hijab sebagai simbol kebebasan dan kemajuan, yang tak lepas dari perubahan budaya di era modern.
Pemberdayaan Perempuan Melalui Hijab
Film ini menjadi salah satu karya yang berhasil mengangkat hijab sebagai bagian dari pemberdayaan perempuan. Kini, seperti yang digambarkan dalam film, hijab telah menjadi bagian dari budaya baru sekaligus pasar yang besar untuk bisnis. Bahkan, hijab dijadikan pengganti konde dan sanggul dalam beberapa perayaan adat.
Salah satu kekuatan Hijab adalah humornya yang relevan dan menghibur. Adegan demi adegan penuh sindiran tentang kehidupan rumah tangga, hubungan suami istri, dan peran perempuan dalam masyarakat disajikan dengan ringan namun menyentuh.
Kritik terhadap Konservatisme dan Patriarki
Tak hanya soal mode, Hijab juga mengkritik muslim konservatif. Hanung menantang norma-norma ini melalui karakter-karakternya yang berjuang untuk kebebasan dan pilihan. Penonton diajak untuk merenungkan pentingnya dukungan terhadap perempuan dalam memilih jalannya sendiri, termasuk dalam cara berpakaian dan berkarya.
Hanung dengan cerdas meramu kompleksitas pemahaman agama dan budaya, ketika perempuan justru menemukan ruang baru untuk mandiri dan berdaya. Perempuan dalam film ini digambarkan bukan hanya sebagai sosok yang melahirkan, menyusui, dan mengurus keluarga.
Tapi juga sebagai individu yang memiliki kekuatan dan potensi untuk berkontribusi dalam ranah ekonomi. Film Hijab bukan sekadar tontonan, tapi sebuah refleksi dari dinamika sosial perempuan di era kontemporer.