Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Isu Religiositas dalam Kecerdasan Buatan

KECERDASAN buatan tengah menjadi isu hangat di dunia dan menjadi bahan perdebatan para ahli, terutama menyangkut religiositas.

8 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Qusthan Firdaus Dosen etika bisnis di Binus University International, Jakarta. Opini bersifat pribadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecerdasan buatan tengah menjadi isu hangat di dunia dan menjadi bahan perdebatan para ahli, terutama menyangkut religiositas, karena perannya yang bisa menggantikan manusia. Para ahli tengah berdebat tentang siapa mengendalikan siapa ketika tiba saatnya hidup manusia sepenuhnya bersandar pada kecerdasan mesin.

Ketika khalayak mempersepsikan robot tak bisa mempunyai perasaan atau keyakinan, cyborg boleh jadi memilikinya, karena mereka terbentuk oleh sebagian manusia dan sebagian robot, seperti organ artifisial yang marak dipakai di rumah sakit dan universitas di Korea Selatan.

Sepanjang kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) berupaya mengadopsi kecerdasan manusia (human intelligence/HI), isu religiositas di era peranti lunak seperti sekarang seharusnya tidak bisa diabaikan. Bayangkan, sebuah mesin bisa mempelajari aktivitas otak dan pikiran Presiden Habibie lalu meniru apa yang bisa ia kerjakan.

Robot itu mengadopsi dua fakta yang ada dalam diri Habibie: sebagai seorang profesor aviasi yang brilian dan religiositasnya terhadap Islam. Mengabaikan salah satu di antaranya tidak akan membentuk HI ataupun AI dari Habibie.

Dalam perspektif bisnis, konsumen tidak akan membeli ataupun menyewa AI Habibie yang “sekuler” atau “nonmuslim” karena mereka mengharapkan produk yang utuh, seperti Habibie yang asli. Sebab, secara praktis, AI Habibie akan menyarankan tidak hanya salat lima kali sehari, tapi juga puasa Senin-Kamis, sebagaimana persona Habibie melakukannya.

Jika kecerdasan ditentukan penalaran sementara yang melibatkan otak, pikiran, dan hati, kecerdasan juga akan mencakup keyakinan dalam pikiran dan hati itu. Karena itu, sebagai sebuah tipe kecerdasan, AI tidak bisa sepenuhnya lepas dari religiositas.

Agar bisa dijustifikasi, AI seharusnya menekankan kebahagiaan yang memenuhi kebajikan/keutamaan dan kewajiban (the virtuous, dutiful happiness). Sayangnya, barangkali, tidak ada satu pun agama yang dianut manusia menempatkan kebahagiaan sebagai prinsip tertinggi dan kebajikan atau keutamaan ajarannya.

Saya menduga karena manusia mudah tergelincir pada kebahagiaan egoistik. Ada aliran tertentu dalam Buddhisme, seperti Maitreya, yang menempatkan kebahagiaan sebagai kebajikan tertinggi, sehingga Buddha digambarkan sedang tersenyum, tertawa, dan gemuk. Tapi Buddhisme bukan agama dalam konteks memiliki konsep ketuhanan yang koheren ataupun kekuatan kontrol supernatural. Pada tahap ini, kita menduga AI tidak seharusnya mengandung religiositas.

Sebaliknya, orang yang religius akan cukup puas dengan hanya menjalankan ajaran agama secara bajik dan taat. Ibrahim mengajarkan bahwa mengorbankan salah satu anaknya merefleksikan kepatuhan total terhadap kewajiban religius. Musa mendemonstrasikan bahwa menyelamatkan dan memimpin komunitas sendiri (tanpa jatuh pada Chauvinisme ataupun fasisme) sangat bajik. Yesus menyediakan contoh membayar semua dosa bawaan mengimplikasikan kasih dan kebahagiaan. Muhammad menunjukkan bahwa tawakal (setelah ikhtiar) pada satu kekuasaan yang esa merupakan wujud dari kebahagiaan yang lengkap.

Dengan perkembangan teknologi yang masif, di masa depan robot dan cyborg mungkin bisa mengejar kebahagiaan universal (duteous, virtuous pleasures), sebagai kebalikan dari manusia yang cenderung mengejar kebahagiaan egoistik. Karena itu, perlu langkah antisipasi mulai saat ini untuk memasukkan pemrograman religiositas ke AI sejak tahap manufaktur. Jika terlambat, akan tidak adil bagi AI yang menjadi representasi HI seperti dalam ilustrasi Habibie di atas.

Sikap adil ini penting karena AI bukan sekadar benda, tapi juga salinan HI, dan mereka memiliki semacam legal entitlements begitu sebuah negara meregulasi AI secara hukum. Seandainya anarki berkuasa di masa depan, AI lebih mudah mengalahkan HI, atau AI bisa menghentikan proses machine learning terhadap HI.

Setidaknya perlu ditanamkan keyakinan bahwa manusia tetap menjadi khalifah di muka bumi, bukan AI. Menginstalasi religiositas ke dalam AI akan menyelamatkan HI dari kekalahan atau menjaga manusia tetap rendah hati dengan tidak bertindak seperti Tuhan dalam mengkreasi, membangun, serta mengembangkan AI.

Kita perlu berhenti meremehkan religiositas ketika kecewa pada keyakinan dan kepercayaan manusia. Kecewa pada satu religiositas tidak serta-merta membuat kita menjadi ateis atau naturalistis. Sama halnya kecewa pada seorang lawan jenis tidak memaksa kita mengubah orientasi seksual.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus