Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pembangunan Papua dan Orde Kolonial 2.0

Abdul Kodir

Abdul Kodir

Mahasiswa program doktoral bidang Human Geography and Environment, University of York. Staff pengajar Sosiologi Universitas Negeri Malang

Pola pembangunan di Papua tak ubahnya praktik kolonialisme. Suara orang asli Papua tak didengarkan.

31 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Proyek pemerintah pusat jelas mengabaikan struktur sosial dan budaya yang sudah terbentuk, seperti kearifan lokal, ekosistem, dan hak masyarakat adat.

  • Pembangunan di Papua dijalankan dengan unsur pemaksaan yang kerap melibatkan kekerasan.

  • Pembangunan di Papua juga didasari kebijakan yang eksploitatif pada alam dan abusif terhadap hak asasi manusia.

DALAM dua dekade terakhir, pemerintah pusat tak henti meluncurkan beragam proyek pembangunan raksasa yang ditujukan secara khusus di wilayah Papua. Proyek tersebut tentu saja memiliki maksud dan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satunya proyek strategis nasional pengembangan pangan dan energi atau food estate di Merauke, Papua Selatan. Kemudian, baru-baru ini, Kementerian Transmigrasi hendak menghidupkan kembali proyek transmigrasi di Papua seperti yang pernah dicanangkan oleh pemerintah pada masa Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi apakah proyek raksasa tersebut sungguh-sungguh bertujuan mengubah kehidupan masyarakat Papua atau sebenarnya mencerminkan praktik "Orde Kolonial 2.0" alias kolonialisme dalam wajah baru?

Penggunaan istilah "Orde Kolonial 2.0" diadopsi dari buah pikiran Gabriel Jiménez Peña (2015) dalam makalah berjudul "Is Development a Form of Neocolonialism?". Pena menekankan argumen utama bahwa pembangunan hari ini memiliki akar historis yang mengadopsi struktur kontrol, dominasi, dan eksploitasi yang lebih mirip kolonialisme lama.

Frasa ini mungkin relevan untuk menggambarkan kebijakan pemerintah pusat terhadap Papua, yang secara legal formal tidak berbentuk penjajahan, tapi secara praktik serupa dengan penjajahan. Konsep ini tergambar dari kendali ekonomi dan politik atas wilayah Papua yang didominasi dan berpusat di luar Papua, khususnya Jakarta.

Pada saat yang sama, orang asli Papua hanya menjadi penonton proyek-proyek kolonial tersebut. Proyek-proyek pemerintah pusat jelas mengabaikan struktur sosial dan budaya yang sudah terbentuk, seperti kearifan lokal, ekosistem, dan hak masyarakat adat. Penulis mengamati setidaknya ada tiga argumen yang menjadi dasar mengapa proyek pembangunan pemerintah sangat relevan memenuhi prasyarat sebagai bentuk kolonialisme baru.

Pemaksaan Kekerasan dan Kontrol Ekonomi Pusat

Pembangunan di Papua saat ini membuat orang asli Papua tak punya pilihan bebas. Pembangunan dijalankan dengan unsur pemaksaan yang sering melibatkan kekerasan. Hal ini, misalnya, dapat terlihat dari intervensi aparat militer dan penegak hukum yang kerap hadir dalam upaya memfasilitasi proyek-proyek pembangunan.

Kebijakan yang dikeluarkan Jakarta untuk Papua atas nama percepatan pembangunan malah mendorong pelibatan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, misalnya. Inpres ini juga mendorong percepatan proyek lumbung pangan (food estate) di Merauke lewat Menteri Pertanian.

Penambahan jumlah personel militer dan kepolisian di Papua mencerminkan kesinambungan praktik kolonial masa lalu dengan intervensi dalam pembangunan modern. Data terbaru menunjukkan, pada periode Oktober 2022 hingga September 2023, TNI telah mengirimkan sekitar 7.833 prajurit ke Papua (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, 2023). Bahkan, pada 2024, Polri berencana merekrut 10 ribu personel baru untuk ditempatkan di wilayah Papua (BBC, 2024).

Penggunaan aparat keamanan ini mendukung kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi mengincar sumber daya alam, alih-alih mengutamakan aspek sosio-antropologi orang asli Papua. Selain berkaitan erat dengan kekerasan, pembangunan di Papua didasari kebijakan yang eksploitatif pada alam dan abusif terhadap hak asasi manusia.

Kebijakan hukum afirmatif Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang dua kali direvisi selalu dijadikan standar Jakarta untuk menyejahterakan Papua. Namun yang sering diabaikan adalah aturan itu juga seolah-olah dibiarkan berkontestasi dengan kebijakan hukum lain yang bertugas sebagai "jalan tol" bagi industri ekstraktif di Papua.

Misalnya revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua pada 2021 yang berangkat dari niat parlemen mempercepat pembangunan di Papua. Tentu saja, dalam suasana itu, aturan tersebut tak mampu menjadi kerangka hukum yang melindungi kepentingan orang asli Papua atas tanah dan hutan adat mereka karena kepentingan industri berbasis sumber daya alam lebih kentara.

Indikasinya terlihat dari perbandingan jumlah pemberian konsesi industri ekstraktif dengan pengakuan hutan adat di Papua yang sangat timpang. Per akhir 2022, hanya ada tujuh penetapan hutan adat di Papua dengan total luas 39.841 hektare (Jubi, 2024). Sedangkan untuk pemberian konsesi sumber daya alam, luasnya mencapai 20 persen dari luas wilayah Papua (Greenpeace, 2022).

Undang-Undang Otonomi Khusus Papua pun menjadi dead letter law atau aturan yang tak bisa ditegakkan karena keadaan. Aturan itu sebetulnya memberikan mandat bahwa segala proyek pembangunan yang membutuhkan tanah dan hutan adat harus diselesaikan melalui mekanisme hukum adat setempat. Pada kenyataannya, ketentuan ini mudah sekali dimanipulasi pihak-pihak terkait. Misalnya, sosialisasi kepada masyarakat ditafsirkan sebagai persetujuan. Bahkan, menurut temuan antropolog Shopie Chao, manipulasi juga menimpa aturan adat (The Gecko Project, 2019).

Proyek lumbung pangan dan energi seluas 2 juta hektare di Merauke merupakan contoh terbaru. Meski mendapat penolakan masyarakat, pemerintah sama sekali tak mempertimbangkan ruang hidup masyarakat yang kian menyempit akibat luas wilayah Merauke yang sudah terbebani konsesi perkebunan sawit dan hutan industri.

Suara masyarakat adat Marind dan Yei yang menolak proyek ini diabaikan. Pemerintah justru memasukkan rencana proyek itu ke Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Peta jalannya kemudian dipercepat dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati.

Konsekuensi pendekatan pembangunan yang berbasis kekerasan ini tampak pada peningkatan eskalasi konflik di Papua. Kehadiran aparat keamanan dalam jumlah besar, alih-alih menciptakan stabilitas, justru sering memperkeruh situasi, memperparah ketidakpercayaan, serta memicu ketegangan dengan masyarakat setempat.

Hal ini berdampak pada kehidupan sehari-hari orang asli Papua yang makin tertekan, serta membangkitkan perasaan ketidakadilan yang mendalam. Dalam proyek lumbung pangan di Merauke, pemerintah pusat mengkolaborasikan pendekatan pembangunan dengan pelibatan aparat melalui Kementerian Pertahanan dan pengusaha batu bara pemilik Jhonlin Group, Andi Syamsuddin Arsyad.

Pola intervensi semacam ini tidak hanya memperlihatkan jejak kolonialisme dalam bentuk baru, tapi juga memperburuk kondisi sosial dan keamanan di Papua sehingga merusak upaya pembangunan yang seharusnya berfokus pada kesejahteraan masyarakat lokal.

Modus pemaksaan tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan dari upaya kendali ekonomi pemerintah pusat. Dalam struktur kolonial, kepentingan ekonomi dikendalikan dan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pemerintah pusat atau asing, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Dalam konteks ini, Papua ditempatkan sebagai kawasan penghasil yang berada dalam posisi subordinat. Segala bentuk kebijakan dikendalikan oleh pemerintahan pusat yang lebih menguntungkan pihak luar ketimbang orang asli Papua. Proyek pembangunan yang semestinya memberdayakan masyarakat justru menciptakan relasi kuasa yang rentan dan memperpanjang ketimpangan relasi.

Pola ini mengingatkan kita pada ucapan bernada rasis jenderal militer pada masa Orde Baru, Ali Moertopo, setelah peristiwa Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969: "Jakarta tidak tertarik pada orang Papua. Yang membuat Jakarta tertarik adalah tanah dan sumber daya alamnya."

Tak Ada Kemajuan Berarti

Ironisnya, manfaat proyek pembangunan di Papua sering tidak sepenuhnya dirasakan masyarakat asli. Alih-alih mengalami peningkatan kesejahteraan, masyarakat Papua dihadapkan pada perubahan pola hidup dan ekonomi yang kerap bertentangan dengan tradisi mereka. Faktanya, meskipun ada intervensi pembangunan, sering tidak ada kemajuan signifikan di Papua.

Sebaliknya, intervensi ini dapat menyebabkan kemiskinan dan kesengsaraan yang makin parah. Data Badan Pusat Statistik per Maret 2024 menunjukkan 6 dari 10 provinsi termiskin di Indonesia berada di Papua. Indeks pembangunan manusia di Papua, yang terlihat dalam Sistem Informasi dan Manajemen Data Dasar Regional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, juga rendah. Ini berarti penilaian aspek umur, kesehatan, pengetahuan, dan kelayakan orang asli Papua masih jauh dari kondisi ideal.

Fakta ini menunjukkan sebenarnya program pembangunan yang digelontorkan pemerintah pusat ke Papua tidak benar-benar menyentuh akar permasalahan yang ada. Bahkan pada saat yang sama memperburuk keadaan manusia dan bumi di Papua akibat pendekatan pembangunan yang tak pernah melibatkan masyarakat setempat secara penuh, terutama dalam konteks pengambilan kebijakan.

Untuk menghindari pengulangan sejarah kolonialisme ini, pemerintah harus mengadopsi model kebijakan yang lebih partisipatif dengan melibatkan masyarakat Papua secara langsung. Pembangunan di bumi Papua wajib menghormati segala bentuk hak atas ruang hidup orang asli Papua, dan dilakukan sebagai upaya pemberdayaan, bukan sarana eksploitasi.

Artikel ini ditulis bersama M.A. Mahrus dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus