Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA banyak lirik lagu berbahasa Indonesia yang memanfaatkan lisensi puitika (licentia poetica) sehingga “seolah-olah” lirik lagu tersebut tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan. Menurut Encyclopaedia Britannica, lisensi puitika (licentia poetica) adalah hak yang diasumsikan oleh penyair ada padanya untuk mengubah sintaksis standar atau melakukan penyimpangan dari diksi ataupun pengucapan umum. Tujuannya adalah kecukupan aturan tonal dan metrum yang hendak dicapai dalam karyanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Contoh lirik lagu yang memanfaatkan lisensi puitika tersebut adalah karya grup musik Sheila on 7 yang berjudul “Dan” serta “Waktu yang Tepat untuk Berpisah”. Selain dua judul lagu itu, penyanyi Ebiet G. Ade sering memakai lisensi puitika untuk lirik lagu-lagunya. Salah satunya lagu yang diberi judul “Ayah Aku Mohon Maaf”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam lagu “Dan”, Eross Candra, penciptanya, menulis, “Dan... Dan bila esok datang kembali/Seperti sedia kala/Di mana kau bisa bercanda”. Adapun dalam lagu “Waktu yang Tepat untuk Berpisah” gitaris Sheila on 7 itu menggubah lirik “Dan bila kau harus pergi/Jauh dan tak 'kan kembali/'Ku akan merelakanmu/Bila kau bahagia". Sementara itu, Ebiet G. Ade menuliskan dengan liris lagu “Ayah Aku Mohon Maaf”: “Dan pohon kemuning akan segera kutanam/Suatu saat kelak dapat jadi peneduh/Meskipun hanya jasad bersemayam di sini/Biarkan aku tafakur bila rindu kepadamu”.
Lirik tiga lagu tersebut memiliki kesamaan, yakni memilih kata “dan” yang disematkan di awal lagu. Kata “dan” merupakan salah satu kata konjungsi koordinatif yang berfungsi menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat, yakni kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa (Anton Moeliono, 2003). Dalam tiga lirik lagu di atas, kata “dan” diletakkan di awal lagu, yang dengan sendirinya tidak menjadikannya konjungsi sesuai dengan definisi Anton Moeliono. Namun, jika memakai pisau telaah lisensi puitika, kata “dan” yang berada di awal lagu tersebut sama sekali tidak memunculkan perdebatan kebahasaan. Ketiga lirik lagu tersebut bahkan berhasil sebagai lagu yang enak didengar dan “ramah telinga”.
Yang berpotensi menjadi masalah kebahasaan dan layak dikritik adalah jika ada konjungsi “dan” pada susunan kalimat yang sebenarnya sudah sesuai dengan kaidah kebahasaan. Ia, misalnya, diletakkan sebagai penghubung klausa dengan klausa, tapi memiliki logika bahasa yang masuk angin. Apakah ada contoh kasus kebahasaan yang seperti itu? Tentu ada. Bahkan, dalam kasus yang dicontohkan di bawah ini, hal itu bisa serius.
Tahun ajaran baru di sekolah tidak hanya menyibukkan para peserta didik untuk menyiapkan alat-alat tulis dan peralatan sekolah lain. Wali murid pun harus mencari buku-buku pelajaran untuk anak-anaknya. Di saat mencari buku-buku pelajaran untuk tahun ajaran baru 2023/2024, saya baru sadar ternyata ada buku satu mata pelajaran yang menggunakan judul dengan logika bahasa yang masuk angin tadi. Judul buku itu adalah Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, buku pelajaran untuk kelas I-VI sekolah dasar, kelas VII-IX sekolah menengah pertama, dan kelas X-XII sekolah menengah atas.
Jika kita lihat dengan ugahari memakai teori konjungsi koordinatif, judul tersebut tentu tak bermasalah. Kata “dan” telah diletakkan secara benar di antara klausa “Pendidikan Agama Islam” dan “Budi Pekerti”. Namun, jika kita lihat dengan lebih cermat, ada masalah serius dalam hal logika bahasa di sana.
Peran logika dalam penggunaan bahasa sangatlah penting. Logika berbahasa berhubungan erat dengan kebenaran kalimat. Suatu kalimat dikatakan benar jika ia benar-benar melambangkan suatu peristiwa tertentu. Untuk menyusun kalimat logis, kita harus memperhatikan pemilihan kata (diksi), penggunaan kata bentukan, dan konjungsi.
Tanpa bermaksud memberikan tausiah di rubrik ini, saya merasa perlu menukil hadis riwayat Bukhari, Baihaqi, dan Hakim yang menyebutkan, “Tidak sekali-kali saya (Nabi Muhammad) diutus oleh Allah kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak”. Melalui hadis ini kita mafhum bahwa akhlak adalah bagian integral dari (pendidikan) agama Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti. Jadi bagaimana mungkin seorang penjual bakso menulis di geber warungnya: “jual bakso dan kuahnya”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dan"