Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Hemat Sebelum Krisis Energi

Dapatkah Indonesia mengantisipasi krisis energi dan beralih ke energi terbarukan?

29 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkap sumber minyak dan gas baru yang potensial.

  • Sumber baru itu mungkin dapat memenuhi kebutuhan energi saat ini.

  • Cepat atau lambat, energi fosil bakal habis dan kita harus beralih ke energi terbarukan.

Moh. Samsul Arifin
Pemerhati Energi Hijau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia sebenarnya sedang menghadapi ancaman krisis energi. Tiba-tiba Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengungkap temuan 70 cekungan (sumber minyak dan gas) potensial yang belum dijelajahi dan sedang ditawarkan kepada investor. Karena itu, pemerintah bakal mempercepat eksplorasi migas di Buton, Timor, Seram, Aru-Arafura, dan West Papua onshore. Bagaimana kita merespons kabar yang sekilas mungkin menggembirakan ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Per Januari 2022, cadangan minyak bumi di perut bumi kita cuma tersedia hingga 9,5 tahun mendatang. Adapun cadangan gas bumi tersedia hingga 19,9 tahun ke depan. Ini berarti cadangan minyak dan gas Indonesia sudah makin tipis.

Bonanza “emas hitam”, ketika Indonesia memproduksi minyak mencapai 1,5 juta barel per hari selama 1970-1980-an, sudah berlalu. Produksi minyak per hari kita terus turun. Belakangan, paling banter produksinya 700 ribu barel per hari, padahal konsumsi kita mencapai 1,66 juta barel per hari.

Indonesia bahkan menjadi net importer, sebutan bagi negara yang lebih banyak mengimpor daripada mengekspor minyak, sejak 2008. Pada 2021, nilai impor minyak dan gas Indonesia menembus US$ 25,53 miliar, sedangkan ekspornya hanya US$ 12,28 miliar. Dengan begitu, neraca perdagangan minyak dan gas Indonesia minus alias defisit US$ 13,25 miliar. Angka ini lebih dari dua kali lipat dibanding defisit pada 2020, tahun pertama pandemi Covid-19.

Yang lebih runyam, tren defisit minyak dan gas terus berlanjut serta membebani pemerintah. Data mutakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, selama Januari-Agustus 2022, defisit minyak dan gas telah menembus US$ 16,75 miliar atau setara dengan Rp 251,25 triliun. Dalam kondisi ini dan ditambah melonjaknya harga minyak mentah dunia, pemerintahan Joko Widodo tidak sanggup lagi mempertahankan harga Pertalite serta solar bersubsidi. Walhasil, harga dua jenis bahan bakar yang paling terjangkau oleh kalangan rakyat bawah itu dinaikkan 30-34 persen pada 3 September lalu.

Sebelum kenaikan harga BBM, Kementerian ESDM dan Pertamina mengimbau masyarakat mendaftar ke MyPertamina agar tercatat sebagai konsumen Pertalite dan solar. Secara eksplisit, ini menjelaskan bahwa pemerintah makin terbebani dengan subsidi bahan bakar karena konsumsinya meningkat seiring dengan makin normalnya kehidupan sosial setelah dikurung pandemi. Subsidi untuk energi (fosil) melompat menjadi Rp 502,4 triliun dan menjebol keuangan negara.

Namun, yang tidak terucap dan berada di bawah permukaan seiring dengan kenaikan harga BBM bersubsidi adalah kenyataan bahwa ketahanan energi negeri kita rentan. Dengan posisi sebagai net importer dan harga minyak mentah dunia yang cenderung naik sebagai imbas perang Rusia-Ukraina, negeri kita dapat terjatuh dalam krisis BBM dan bahkan krisis energi kapan saja.

Saat ini, krisis energi, seperti yang dialami sebagian negara di Eropa, memang belum terlihat di sini. Pasokan listrik kita masih terjamin. Demikian pula dengan gas elpiji dan BBM. Tidak seperti di Jerman, yang konsumsi gasnya dijatah. Di Inggris, saking frustrasinya, mereka memutuskan menggunakan lagi metode fracking untuk menggali bahan bakar fosil. Ini merupakan metode kontroversial karena dapat mencemari persediaan air, menyakiti hewan, dan tentu saja bertolak belakang dengan tekad bermigrasi ke energi terbarukan (bersih) secepat mungkin.

Dalam urusan listrik, negeri kita boleh sedikit lega. Musababnya, Perusahaan Listrik Negara (PLN) kelebihan listrik sejak 2020. Surplus ini bakal lebih berlanjut karena pembangkit listrik yang rampung, sebagai bagian dari proyek 35 ribu megawatt, mencapai 10.069 megawatt. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang selesai tersebut boleh dioperasikan karena telah direncanakan sebelum Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan terbit.

Namun ada satu hal yang wajib diperhatikan pemerintah, yaitu pasokan batu bara untuk PLN. Komoditas ini menjadi rebutan negara-negara di Eropa setelah pasokan energi ke Benua Biru itu macet. Harga batu bara beberapa kali menyentuh US$ 400 per ton. Jika dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, pengusaha batu bara sudah pasti lebih terdorong untuk mengekspornya daripada menyuplai kebutuhan di dalam negeri (PLN). Jika hal ini terjadi, hampir pasti tarif listrik di dalam negeri tidak bakal terjangkau seperti sekarang.

Sejauh ini instrumen kewajiban memenuhi pasar domestik (DMO) dan harga patokan batu bara sebesar US$ 70 per ton telah menjadi “senjata” ampuh yang menolong PLN menyediakan harga listrik yang terjangkau. Dengan cadangan sebesar 38,84 miliar ton, batu bara Indonesia masih tersedia hingga 64 tahun ke depan.

Harga energi, dari BBM, listrik, hingga gas elpiji, yang terjangkau adalah satu di antara empat aspek ketahanan energi. Tiga lainnya adalah kemampuan mengakses, ketersediaan, dan ramah lingkungan. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 menyebutkan bahwa ketahanan energi adalah kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Menurut Dewan Energi Nasional, dengan skor 6,57, negeri kita berstatus “tahan”. Artinya, ketahanan energi negeri kita tergolong aman. Namun kemampuan masyarakat mengakses energi masih sangat kurang. Dalam hal ini, kenaikan harga BBM bersubsidi dapat lebih menurunkan akses masyarakat terhadap energi.

Keterjangkauan harga berbanding lurus dengan kemampuan mengakses energi. Makin rendah kemampuan ekonomi masyarakat, kian rendah pula peluang mereka menjangkau energi. Makin terpencil atau pelosok sebuah wilayah, makin sulit pula menjumpai infrastruktur jaringan energi di daerah itu. Itulah mengapa pada 2016 Presiden Joko Widodo mencanangkan program BBM Satu Harga, yang diniatkan untuk memudahkan masyarakat di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) mengakses BBM.

Sebelum krisis menerjang, negeri kita harus mulai menghemat konsumsi energi. Pertamina menyebutkan, dalam dua pekan pertama setelah kenaikan harga, konsumsi Pertalite dan solar turun 12-13 persen. Apakah ini menandakan masyarakat hemat energi? Saya tidak yakin. Menurut saya, ini lebih banyak menjelaskan soal ketidakterjangkauan (faktor harga yang naik) dan kurangnya akses masyarakat terhadap energi.

Hemat energi mesti menjadi gerakan nasional dan bukan tindakan orang per orang. Saya teringat dengan apa yang pernah digaungkan Kementerian ESDM pada 2012 tentang “hemat energi dengan mengubah perilaku”. Mengubah perilaku membutuhkan teladan dan hal itu harus dari atas, dari pejabat dan instansi pemerintah. Meskipun PLN surplus listrik, kantor-kantor milik pemerintah wajib menghemat listrik. Gunakan listrik seperlunya. Matikan saat tidak dibutuhkan.

Dalam perspektif yang lebih-kurang sama, keputusan Sekretariat Presiden menggunakan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di lima Istana Kepresidenan layak diacungi jempol jika diniatkan menjadi teladan dan ikut mengubah perilaku masyarakat, dari yang bertumpu pada kendaraan berbahan bakar fosil menjadi berminat untuk bermigrasi ke kendaraan listrik. Di satu sisi, hal ini bakal menekan ketergantungan kita pada energi fosil yang kotor. Di sisi lain, hal ini berguna untuk menyelamatkan bumi yang makin panas akibat emisi gas karbon dari kendaraan bermotor.

Rakyat Indonesia, yang selama ini dimanjakan oleh berkah dari minyak, gas, hingga batu bara, wajib menyadari bahwa cepat atau lambat energi fosil itu bakal habis. Ganti persneling ke energi terbarukan merupakan keniscayaan. Untuk itu, kita perlu sokongan politik dari DPR agar secepat mungkin menelurkan dasar hukum pengembangan energi terbarukan. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan di DPR saat ini seyogianya berujung pada penguatan transisi ke energi hijau (bersih) serta bukan melanggengkan energi kotor yang "berbaju baru" (energi baru).



PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus