Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mendorong migrasi ke energi ramah lingkungan melalui biodiesel.
Ada tarik-menarik antara kebutuhan minyak sawit dan permintaan biodiesel.
Namun pemerintah terus mendorong B35, yang mengandung 35 persen biodiesel.
Moh. Samsul Arifin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerhati energi bersih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan transisi ke energi yang ramah lingkungan pada akhirnya adalah pertaruhan melawan rasa cemas dan harapan sekaligus. Ini berlaku untuk program biodiesel, pencampuran energi nabati (tumbuhan) dengan solar (energi fosil), yang digeber pemerintahan Joko Widodo sejak 2015. Rasa cemas tak dapat dilepaskan karena, bagaimanapun, sumber nabati seperti minyak kelapa sawit (CPO) pada awalnya digunakan untuk menyuplai kebutuhan minyak goreng, yang dalam hal ini berperan sebagai sumber pangan.
Tatkala ada kebijakan untuk mendorong “pencampuran energi”, seperti biodiesel, pasokan CPO juga tersedot ke industri biodiesel. Dalam kredo revolusi energi, kelapa sawit, dan turunannya, CPO diandaikan sebagai substitusi bagi energi fosil, yang cepat atau lambat akan habis dan mencemari lingkungan.
Walhasil, CPO menjelma menjadi sumber energi sekaligus pangan yang kadang menerbitkan simalakama. Dalam kasus kenaikan harga minyak goreng pada awal 2022 dan Februari 2023, tersedotnya CPO untuk biodiesel dianggap sebagai biang kerok. Hal itu tak dapat dipisahkan dari kecurigaan tentang adanya penetapan dua harga CPO, ketika harga CPO untuk biodiesel lebih tinggi dibanding harga CPO untuk minyak goreng. Hukum besi ekonomi berlaku: produsen bakal menjual CPO kepada pihak yang mampu memberikan harga lebih tinggi demi meraup penghasilan lebih besar.
Apalagi ada insentif kepada produsen yang menjual CPO untuk biodiesel. Inilah dana yang dihimpun oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang dipungut dari setiap ton ekspor minyak sawit dan turunannya.
Dengan program biodiesel (campuran biodiesel dan solar) diberlakukan secara progresif selama 2015-2023, dari B15 (15 persen biodiesel), B20 (20 persen biodiesel), B30 (30 persen biodiesel), dan kini B35 (35 persen biodiesel), total dana untuk menomboki selisih harga pasar antara biodiesel dan solar menembus Rp 146,56 triliun. Porsi ini merampas dana pungutan sawit yang sebesar Rp 186,6 triliun. Bandingkan dengan dana untuk peremajaan sawit yang cuma secuil, hanya Rp 7,78 triliun.
Kecemasan berikutnya telah diingatkan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Studi mereka menyebutkan bahwa kebijakan biodiesel yang progresif berarti naiknya kebutuhan atas ester metil asam lemak (FAME). Walhasil, kebutuhan CPO juga terkerek sehingga mendorong pembukaan lahan sawit baru.
LPEM menyatakan implementasi biodiesel progresif hingga B50 berpotensi menyebabkan pembukaan lahan sawit baru seluas 9,29 juta hektare hingga 2025. Itu berarti harapan pegiat lingkungan agar pembukaan lahan sawit dapat dikendalikan sulit terwujud. Hal ini menambah rasa cemas karena kebijakan moratorium sawit, yang berakhir pada 19 September 2021, tidak diperpanjang oleh pemerintah. Padahal moratorium sawit yang dimulai sejak 2018 itu penting untuk memastikan tak ada ekspansi pembukaan lahan perkebunan sawit di kawasan hutan. Ingat, pembukaan lahan baru untuk sawit secara masif dan sembrono sering kali berarti deforestasi.
Di ranah ekonomi, nilai penghematan dari impor solar tidak seperti yang digembar-gemborkan. Pemerintah menyebutkan program B20 menghemat impor solar sebesar Rp 79,2 triliun. Realisasinya, menurut LPEM, hasil berhemat impor solar pada 2019 hanya Rp 48,9 triliun. Belum lagi menimbang turunnya ekspor CPO Indonesia akibat kebijakan progresif biodiesel yang rakus menyerap CPO. Program biodiesel diduga menyebabkan akumulasi kehilangan pemasukan dari ekspor CPO sebesar Rp 782 triliun selama 2020-2025.
Pemerintah jalan terus. Program biodiesel diklaim sukses. Pada 2022, contohnya, B30 dilaporkan menghemat devisa sebesar Rp 122 triliun, menyerap lebih dari 1,3 juta tenaga kerja, dan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 27,8 juta ton ekuivalen karbon dioksida (CO2). Dengan skenario itu, B35 dijalankan dengan target 13,15 juta kiloliter setahun dan akan ditingkatkan menjadi B40 pada masa mendatang.
Efek kebijakan biodiesel yang progresif itu kontan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat, pada 2022, konsumsi CPO di dalam negeri melompat hingga 20,9 juta ton, naik 13 persen dibanding pada 2021. Hampir 50 persen CPO (8,8 juta ton) disedot untuk program biodiesel. Itu berarti naik 20,4 dari 2021.
Pada 2022, volume ekspor CPO Indonesia melorot hingga tersisa 30,8 juta ton, yang merupakan rekor terendah sejak 2018. Meskipun volume ekspor CPO turun, Badan Pusat Statistik melaporkan nilai ekspor CPO masih naik 3,56 persen atau US$ 29,62 miliar pada 2022. Ini karena harga rata-rata per ton minyak sawit mentah lebih bagus dari 2021.
Program biodiesel yang progresif sudah pasti menyedot produksi CPO dalam negeri. Karena volume ekspor CPO turun, dana pungutan ekspor yang dapat dihimpun BPDPKS bakal turun juga. Ini pasti akan menggerogoti dana yang dapat dihimpun BPDPKS. Lantas, bagaimana agar program biodiesel dapat berlanjut?
Seharusnya subsidi itu ditanggung pemerintah. Artinya, berasal dari kantong pemerintah. Dengan mengambil dana dari BPDPKS, yang tergencet bukan hanya industri kelapa sawit, tapi juga petani kelapa sawit.
Hitung saja, misalnya, harga CPO global US$ 1.000 per ton. Beban pungutan ekspornya US$ 200 per ton. Berarti, nilai 1 ton CPO yang diterima eksportir cuma US$ 800. Beban ini akan dibagi rata ke bawah, ke mata rantai produksi, dari petani, koperasi tani, agen/tengkulak, hingga pabrik kelapa sawit. Akibatnya, harga tandan buah segar (TBS) yang dinikmati petani sawit tidak sebesar tanpa pungutan ekspor. Harus ada opsi lain untuk menombok selisih antara harga pasar biodiesel dan harga keekonomiannya.
Kenyataan bahwa Indonesia adalah produsen terbesar kelapa sawit merupakan anugerah. Tapi di baliknya ada kepentingan dan ekosistem yang harus ditata secara saksama. Pertama, mengatur secara cermat volume CPO untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Sebab, belakangan ini ada tarik-menarik antara industri minyak goreng dan program biodiesel dalam berebut jatah CPO. Dalam keadaan seperti apa CPO domestik seharusnya lebih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan industri minyak goreng atau malah untuk menyuplai program biodiesel?
Kedua, memastikan harga CPO secara transparan. Selama ini ada kecurigaan berlakunya dua harga, ketika harga CPO untuk program biodiesel lebih tinggi dibanding harga CPO untuk minyak goreng. Jika keberadaan biodiesel juga diniatkan untuk menciptakan harga CPO yang kompetitif di dalam negeri sehingga berdampak pada harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani, seharusnya petani senang. Tapi faktanya tidak selalu begitu.
Ketiga, program biodiesel telah berlangsung tujuh tahunan sehingga layak dievaluasi efektivitasnya. Apakah program itu cukup mujarab untuk menurunkan gas emisi rumah kaca? Betulkah ia menyehatkan kantong pemerintah (memangkas impor solar)? Bagaimana dengan dampak lingkungannya? Apakah pembukaan lahan sawit baru mengikuti kaidah ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang perlu dijawab pemerintah sebelum memutuskan soal kelanjutan program ini.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo