Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Nasib Kebebasan Berpendapat Lima Tahun ke Depan

UU ITE masih mengandung pasal karet yang multitafsir. Situasi kebebasan berpendapat tetap suram.

14 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 menjadi angin segar bagi masyarakat sipil sekaligus secercah harapan perbaikan kebebasan berpendapat. Amar putusan itu menyatakan Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putusan tersebut merupakan hasil permohonan pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi yang diajukan Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka mengajukan pengujian Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 mengenai penyebaran berita bohong yang menyebabkan keonaran, Pasal 310 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai pencemaran nama, serta Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dalam permohonan itu, mereka mendalilkan bahwa pasal-pasal yang diuji tersebut adalah pasal karet. Akibatnya, penguasa dapat dengan mudah menggunakan pasal-pasal tersebut untuk mengkriminalisasi aktivis, jurnalis, dan warga negara yang kritis terhadap kebijakan penguasa. Beberapa kasus, seperti kriminalisasi terhadap Haris-Fatia serta aktivis Desa Pakel di Banyuwangi, merupakan contoh nyata pemberlakuan pasal-pasal karet ini.

Dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946 adalah pasal karet yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Perkembangan teknologi informasi menyebabkan masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi tanpa mengetahui bahwa berita yang diperoleh merupakan berita bohong, berita benar, atau berita berlebihan.

Frasa "menciptakan keonaran" yang termuat dalam Pasal 14 UU No. 1/1946 juga dianggap mengandung ketidakjelasan ukuran atau parameter. Apakah onar yang dimaksudkan berarti kerusuhan yang menyebabkan bahaya negara atau pro-kontra di sosial media pun bisa masuk kategori onar.

Hal tersebut menyebabkan masyarakat tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritik kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat. Padahal kebebasan mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan, termasuk kebebasan berserikat serta berkumpul, dijamin oleh UUD 1945.

Perlu Advokasi Lanjutan

Meski Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 membawa angin segar untuk kebebasan berpendapat, masyarakat sipil tak boleh lengah. Saat ini masih ada tiga petani warga Pakel, Banyuwangi, yang sedang berjuang di tingkat kasasi.

Kasus ini seharusnya bisa segera selesai karena putusan MK bersifat final dan mengikat sejak putusan selesai dibacakan. Ketika putusan itu berlaku, Mahkamah Agung sebetulnya tak punya alasan lagi untuk tidak membebaskan para petani Pakel.

Adanya putusan MK juga belum menjamin kasus kriminalisasi bakal berkurang. Beberapa waktu lalu, kita menyaksikan aktivis lingkungan yang sedang mengadvokasi masalah tambak udang ilegal, Daniel Frits Tangkilisan, dinyatakan melanggar UU ITE. Ia divonis 7 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jepara.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik masih menjadi penghambat terjaminnya kebebasan berpendapat di Indonesia. Selain perubahan undang-undangnya bermasalah karena tidak melibatkan masyarakat secara bermakna, muatan pasal-pasal di dalamnya masih berpotensi menjadi pasal karet. Pasal-pasal ini mudah digunakan untuk mengkriminalisasi warga negara.

Dalam UU ITE terbaru tersebut, terdapat pasal yang menghidupkan kembali UU No. 1/Tahun 1946. Salah satunya Pasal 28 ayat 3 yang berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat."

Frasa "menimbulkan kerusuhan di masyarakat" masih ambigu, tidak jelas, dan multitafsir. Sifat setengah hati negara dalam memberikan akses kebebasan berpendapat bagi warga negara ini harus menjadi perhatian masyarakat sipil dan dikawal bersama.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Ibnu Syamsu

Ibnu Syamsu

Advokat Themis Indonesia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus