Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Janji Normatif Calon Presiden

Tiga calon presiden mulai memaparkan program ekonomi masing-masing. Banyak rencana yang umum dan kurang tajam.

2 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga pasangan calon presiden-wakil presiden mulai menebar janji manis untuk mencuri perhatian rakyat. Jika terpilih kelak, ketiganya menjanjikan pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen, yang berarti jauh melampaui realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2023 yang hanya sebesar 5,17 persen. Sayangnya, semua proposal mereka masih terlampau umum dan normatif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam dokumen visi dan misinya, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md., misalnya, berani menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming memasang target 6-7 persen. Sedangkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar bersikap lebih moderat dengan target 5,5-6,5 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengumbar janji manis boleh-boleh saja dilakukan sebagai bagian dari strategi memikat calon pemilih. Tapi wajib diingat bahwa janji pertumbuhan setinggi langit mestilah disokong oleh program-program ekonomi yang brilian pula. Ini penting untuk menghapus "kutukan" pertumbuhan 5 persen selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan terakhir kalinya Indonesia mencapai pertumbuhan di atas 6 persen terjadi pada 2012. Setelah itu, gerak maju perekonomian tertahan di angka 5 persen. Kita tahu, untuk lepas dari jerat negara berpendapatan menengah, Indonesia harus menggapai pertumbuhan 6-7 persen.

Persoalannya, program-program ekonomi para calon tampaknya belum mendukung pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen. Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran terlihat ingin melanjutkan program pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang sekarang saja sudah kontroversial. Sedangkan Anies-Muhaimin, yang mengusung narasi perubahan, menyodorkan program ekonomi yang normatif, jauh dari terobosan inovatif yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan di atas rata-rata.

Semua pasangan calon sama-sama menawarkan resep utama pertumbuhan ekonomi berupa industrialisasi, pengubahan struktur ekonomi dari berbasis sumber daya alam menjadi berbasis pengetahuan, investasi dan pembukaan lapangan kerja baru yang berkualitas, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan mutu pendidikan dan layanan kesehatan.

Resep tersebut secara normatif sudah benar. Tapi the devil is in the details. Tidak ada satu pasangan pun yang mau pusing-pusing memaparkan secara detail apa yang akan mereka kerjakan untuk mencegah deindustrialisasi dini, memutus ketergantungan terhadap ekspor komoditas primer, mengatasi rendahnya kualitas angkatan kerja, serta melebarnya ketimpangan sosial.

Padahal, tanpa bekal rencana kebijakan ekonomi yang mendetail, pemerintahan mendatang hanya akan tenggelam dalam rutinitas, bekerja "seperti biasa", dan akhirnya gagal mewujudkan janjinya. Belum lagi jika harus berhadapan dengan para pemburu rente ekonomi yang selama bertahun-tahun telah merusak struktur ekonomi Indonesia.

Apalagi ada faktor eksternal yang pasti menghadang target pertumbuhan tahun depan. Perekonomian global diperkirakan masih berada pada tren perlambatan. Penyebab utamanya adalah konflik geopolitik yang masih berlanjut di Ukraina dan Palestina, fluktuasi harga komoditas, serta terjadinya fenomena deglobalisasi. Belum ada calon presiden yang menawarkan resep yang jitu untuk menghadapi kondisi ini.

Satu hal yang jelas: presiden terpilih nanti tak akan memiliki waktu senggang untuk menikmati kemenangannya. Puncak bonus demografi Indonesia akan berakhir pada 2030, dan ketika itu Indonesia mulai memasuki fase dewasa. Di fase ini, usia penduduk akan semakin tua dan mengalami tantangan finansial.

Tentu masih ada waktu untuk berbenah. Para calon presiden dan wakil presiden masih bisa mendetailkan konsep transformasi ekonomi Indonesia menuju ekonomi berbasis pengetahuan. Tidak cukup hanya melakukan penghiliran seperti yang dilakukan Jokowi, tapi transformasi ekonomi harus bermakna lebih luas, yakni penguasaan terhadap teknologi tinggi dan kemampuan menciptakan produk yang mengandung teknologi tinggi pula.

Jika Indonesia gagal menjadi negara berpendapatan tinggi sebelum puncak bonus demografi berakhir, pada 2045 kita akan "menua" sebelum makmur.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus