Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pasar

Di australia, pengertian bangsa bukan lagi suatu kesatuan magis yg melebur kepentingan sendiri tapi justru menghimpun kepentingan diri. tak melihat masa lampau, tak punya satu setrum, logos dan mitos.

27 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASANYA, "bangsa" menjadi sebuah kata yang kian membingungkan. Suatu hari di bulan Maret 1992, saya berbelanja di Victoria Market, Melbourne, Australia. Di salah satu los pasar kuno itu, dua pria muda dari Kamboja berjualan arloji Swiss. Di seberangnya, seorang wanita Korea menggelar kaus Hugo Boss palsu dari Bangkok, jaket denim dari Bandung. Sebelah agak ke kanan, orang-orang Turki punya kios tekstil. Dua tiga kelompok lain menggunakan bahasa Spanyol, dan di sudut sana, sekelompok pedagang topi bulu untuk musim dingin, bercakap ribut dalam bahasa yang tak saya ketahui. . . . "Kami warga negara Australia sekarang," kata wanita dari Bandung yang saya temui di dekat toko daging. Barangkali penjual arloji dari Khmer itu, pedagang sayur dari Saigon itu, penunggu toko burung yang datang dari Kiev, dan pelbagai jenis manusia di Victoria Market itu saya tak tahu persis seberapa banyak variasinya sudah, atau segera akan, mengatakan hal yang sama: "Kami warga negara Australia. Tapi apakah mereka bangsa Australia? Mungkin bangsa adalah satu hal, dan warga negara adalah hal lain. Warga negara: sesuatu yang ada hubungannya dengan administrasi, pencatatan dan dokumen perjalanan tetapi belum tentu ada hubungannya dengan air mata yang merebak ketika melihat sebuah bendera berkibar dan sebuah tekad dibisikkan: "Padamu negeri, jiwa raga kami." Australia bukanlah Eropa Timur, di mana amarah dan passi, impian dan penghancuran, untuk sebuah wilayah dan sebuah "kaum", kini dianggap layak. Namun, perlukah sebenarnya itu? Tidak cukupkah sejumlah manusia punya lingkaran persatuan yang sama, hanya karena punya paspor yang sama, mengakui undang-undang perpajakan yang sama dan punya hak serta kewajiban yang sama tanpa kesamaan etnis yang dan perasaan bergelora? Dengan kata lain, kuranglebih seperti kalau mereka jadi anggota salah satu perhimpunan penyayang perkutut? Pada suatu malam di bulan Mei saya mendengarkan seorang penyair dan seorang sejarawan Australia berbincangbincang sambil makan malam. Sang penyair bercerita bahwa pernah ada usul untuk menggantikan bendera Australia yang sekarang (yang masih memakai bendera Inggris di sudut) dengan selembar plastik putih. Sang sejarawan berkata, "Mungkin itu justru ide yang cocok: Australia bisa jadi negeri pertama di dunia yang memandang ide 'negarabangsa' tanpa hasrat untuk punya satu sentrum, satu logos, dan satu mitos. Mungkin ini sebuah gejala "postmodernisme" dalam kebangsaan. Mungkin ini sesuatu yang bisa terjadi di negeri yang beruntung, yang orangnya bisa bergerak dengan mudah dari tempat ke tempat dengan pesawat jet, yang kesadaran dirinya tak merasa harus terancam oleh "Orang Lain" dan yang seluruh cakrawalanya bergerak antara rumah, mobil, pakansi, dan hal-hal yang bisa diperjual-belikan. Bila orang di Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Benelux, dan seterusnya memutuskan untuk jadi "bangsa Eropa" yang satu, mereka bukan untuk soal identitas yang menyangkut hidup dan mati. Mereka bukan makhluk abad ke18. Mereka orang menjelang abad ke21, yang melihat begitu banyak perang dan pembantaian dan memutuskan untuk menjadi sehimpun orang-orang yang mendaftarkan diri ke dalam organisasi yang bernama "Eropa" terutama karena satu hal: mereka melihat banyak fasilitas dalam organisasi itu. "Eropa" dengan demikian bukanlah suatu kesatuan magis yang, sebagaimana halnya pengertian "bangsa" yang dulu, melebur kepentingan diri. "Eropa" justru sehimpun kepentingan diri. Australia mungkin demikian pula. Bahkan akan lebih mudah. Sebab "bangsa" itu adalah bangsa yang terutama melihat ke depan, (apa yang tersedia untuk saya?) dan tak menengok ke masa lampau. Toh masa lampau itu tak bisa punya satu sentrum, satu logos. Sejarah seorang imigran dari Inggris yang telah hidup di Australia selama tujuh turunan akan berbeda dengan sejarah seorang imigran dari Vietnam yang tiba kemari setelah rezim Saigon kalah oleh rezim komunis. Dalam parade para veteran di "Hari Pahlawan" Australia, orang mengenang keikutsertaan tentara Australia di Galipoli ketika Inggris melawan Turki. Hari itu saya lihat sekelompok bekas tentara Republik Vietnam Selatan ikut berbaris: orangorang yang tak pernah ikut berkelahi untuk Tahta Britania dan tak pernah bernyanyi God Save The King. . . . "Walk proud, men! Walk proud!", seorang veteran Galipoli berseru memberi semangat bekas pasukan dari Saigon itu. Berbaris tegap untuk apa? Bangga untuk siapa? Satusatunya yang mengikat para peserta parade ini adalah kesediaan berkorban. Tetapi pada sebuah bangsa yang terhimpun oleh kepentingan diri, ketika kemungkinan perang praktis makin jauh dari kesadaran, untuk apa dan guna apa "berkorban" itu gerangan? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus