Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pilih Kasih Memangkas Anggaran

Pemerintah memangkas anggaran banyak kementerian dan lembaga negara karena cekak. Tak ada kejelasan penggunaan dana hasil penghematan.

7 Februari 2025 | 06.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Sejumlah lembaga negara terhindar dari kebijakan pemangkasan anggaran.

  • Belanja peralatan perang merupakan pemborosan.

  • Prabowo mewarisi utang sangat besar dari Jokowi yang hingga akhir 2025.

LANGKAH pemerintah memotong anggaran belanja besar-besaran mayoritas kementerian dan lembaga tidak sepenuhnya untuk penghematan seperti yang digembar-gemborkan. Terbukti kebijakan Presiden Prabowo Subianto itu sangat jelas pilih kasih karena terdapat sejumlah lembaga yang tidak terkena pemotongan, yakni lembaga penegak hukum, auditor negara, lembaga yudikatif dan legislatif, serta instansi yang mengelola program unggulannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pemangkasan anggaran dilakukan sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 1 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD yang diterbitkan Prabowo pada Rabu, 22 Januari 2025. Melalui regulasi itu, Prabowo memerintahkan pemangkasan anggaran sebesar Rp 306,6 triliun dari 16 pos pengeluaran. Total angka itu terdiri atas Rp 256,1 triliun untuk belanja kementerian/lembaga dan Rp 50,5 triliun untuk transfer ke daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ada 17 lembaga negara yang tak terkena pemotongan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Republik Indonesia, Kementerian Pertahanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Bendahara Umum Negara.

Selain itu, ada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Intelijen Negara, Mahkamah Konstitusi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Gizi Nasional, Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, serta Kementerian Ekonomi Kreatif.

Melihat postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, memang pemerintah sudah seharusnya melakukan penghematan. Penerimaan negara tahun ini ditargetkan sebesar Rp 3.005,1 triliun, yang diperoleh dari pendapatan perpajakan sebesar Rp 2.490,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp 513,6 triliun, dan hibah sebesar Rp 581 miliar.

Sedangkan belanja negara ditargetkan Rp 3.621,3 triliun, yang terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp 2.701,4 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 919,9 triliun. Walhasil, APBN tahun ini mengalami defisit Rp 616,2 triliun atau 2,53 persen terhadap produk domestik bruto.

Kementerian dan lembaga diberi waktu selama dua pekan sejak akhir Januari 2025 untuk memfinalkan rencana penghematan dengan mitra kerja masing-masing di Senayan. Hasil usulan revisi anggaran yang sudah disetujui DPR itu disampaikan kepada Kementerian Keuangan paling lambat 14 Februari 2025.

Namun alasan efisiensi guna menutup defisit itu menjadi lumer karena Prabowo memberi keistimewaan kepada sejumlah lembaga yang memakan alokasi APBN yang besar, seperti Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Polri. Di tengah kondisi negara yang tidak sedang berkonflik dengan negara lain, belanja peralatan perang jelas merupakan langkah pemborosan.

Sudah semestinya hasil penghematan anggaran negara dikelola secara transparan. Tidak tepat juga bila hasil pemangkasan anggaran dipakai untuk mengongkosi program-program populis secara besar-besaran layaknya sebuah negara kaya. Contohnya program makan bergizi gratis, bantuan sosial, dan cek kesehatan gratis untuk semua penduduk, yang tentunya memakan biaya besar.

Sikap inkonsistensi Prabowo dalam urusan pengelolaan anggaran sudah terlihat sejak awal pemerintahan. Sebagai anggota kabinet Presiden Joko Widodo—bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati—dia semestinya sangat paham soal tantangan anggaran negara pada 2025. Prabowo mewarisi utang sangat besar dari Jokowi yang hingga akhir 2025 harus membayar pokok dan bunga sekitar Rp 800 triliun.

Namun, alih-alih membuat organisasi pemerintahan yang ramping, Prabowo malah membentuk kabinet yang besar. Dengan 48 menteri, 5 kepala badan, dan 55 wakil menteri, Kabinet Merah Putih setidaknya membutuhkan anggaran rutin Rp 777 miliar setahun, naik hampir 50 persen dibanding pengeluaran kabinet di era Jokowi. Prabowo yang mulai lebih dulu mengajarkan pemborosan.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus