SEORANG penyair Cina menulis dengan sebuah nama samaran, di sebuah majalah gelap yang beredar di Beijing, Jintian. Sekitar 1979. Kita tak akan bisa tahu siapa sebenarnya dia. Tapi puisinya, yang ringkas dan sugestif, menyentuh seperti haiku Jepang. Lurus, mantap, meskipun sayu: CINTA Diam. Angsa liar yang terbang melintasi tanah gersang. Pohon-pohon tua yang tumbang, suara retak. Hujan tajam yang asin, bertaburan. KEMERDEKAAN Mengapung. Serpih-serpih kertas, yang cabik. NASIB Anak-anak sekenanya memukuli terali. Terali sekenanya memukuli malam. Ada sajak pendek seperti itu: gambaran alam dan suasana yang seakan-akan tak bicara apa-apa, tetapi terasa mengisyaratkan sejumlah asosiasi yang punya arti. Bukan lambang, melainkan sesuatu lebih kaya, lebih sayup lebih bebas. Dan karena itu bersifat "subversif". Dengan tanpa berteriak, malah dengan berbisik, puisi semacam itu berdiri menampik untuk diatur oleh Mao ataupun oleh Deng. Ia bahkan seperti menegaskan dirinya bukan sebagai tulisan Marxis - bila sebuah tulisan Marxis memang seperti yang dikatakan Roland Barthes: sebuah tulisan yang tiap katanya merupakan "satu acuan sempit ke arah seperangkat asas". Pada saat acuan menjadi ddemikian sempit, tak heran bila puisi menjadi cara untuk melawan - setidak-tidaknya bertahan diri. llya Ehrenburgh adalah seorang penyair besar Soviet. Pada suatu hari di kereta api Trans Siberia ia membacakan sepotong sajaknya kepada rekannya, Pablo Neruda, penyair Chili. Sajak itu ternyata sebuah nyanyian untuk Prancis, negeri kkecintaan Ehrenburg, dan Neruda terpesona. Sajak pendek itu, katanya kemudian, "menyimpan kelembutannya bagi dirinya sendiri, seperti sekuntum kembang yang sembunyi." Tersembunyi, Neruda bahkan menyebutnya sebuah "sajak rahasia", klandestin, seakan bagian dari gerakan di bawah tanah. Sebab, yang seperti itu memang tak diperkenankan, barang haram yang sejajar dengan pornografi di depan Stalin. Bahkan ia telah membasminya. Kekuasaan yang ada menghendaki tiap kata merupakan satu acuan yang telah digariskan, dan politik sebagai panglima .... Pengertian "politik sebagai panglima" juga pernah terdengar 20 tahun yang lalu di Indonesia. Ketika dulu Partai Komunis menggunakannya buat pertama kali, yang diniatkan adalah suatu pengerahan segala hal (termasuk sajak, bedil, cangkul, dengkul) untuk perjuangan. Mobilisasi memang perlu. Tapi dalam perkembangannya, prinsip " politik sebagai panglima" kemudian hanya berarti sikap taat pada pertimbangan suatu kekuasaan politik - di atas pertimbangan lain apa pun. Pertimbangan keindahan? Marxisme-Leninisme, seperti kata Mao sendiri ketika harus membela posisinya menghadapi suara para penulis yang resah pada tahun 1942, "tak punya keindahan". Yang pokok ialah ia berguna. Masalahnya tentu kemudian: berguna bagi siapa, dan ditentukan oleh siapa. Akhirnya, tentu hanya Mao yang bisa bilang. Akhirnya, mungkin Deng, atau tuan humpapa lain yang duduk di kursi dan ditakuti .... RAKYAT Bulan telah dicincang dalam untai biji, ditebarkan ke langit dan tulus bumi. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini