Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Populisme

Kata “populis” pada awalnya tak dinilai negatif. Lalu berubah: “populis” cenderung dikotomis: ada “elite” dan ada “rakyat”.

27 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA mulanya adalah letak tempat duduk—sejak Revolusi Prancis di tahun 1789.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini revolusi yang mengumandangkan perubahan dunia secara radikal dan berniat membikin sejarah baru. Pengaruhnya sampai di pojok yang jauh di abad yang sangat berbeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagaimana lazim dalam tiap revolusi, apalagi revolusi yang mengumandangkan dunia sudah dan harus berubah, selalu ada dua kubu yang bertentangan. Sering dengan sengit dan habis-habisan. Dalam Revolusi Prancis, ada wakil-wakil rakyat yang tak ingin perubahan itu—persisnya ingin melanjutkan kekuasaan raja untuk memveto hasil undang-undang yang disusun majelis perwalian. Para pembela status quo ini duduk di sebelah kanan kursi ketua. Lawannya, yang menentang kekuasaan itu dan ingin menghapuskannya, duduk di sebelah kiri.

Salah satu hasil revolusi itu yang paling langgeng—dan juga kemudian hasil revolusi Marxis—adalah kosakata. Revolusi ini memproduksi slogan, sebutan, semboyan, sebagai bagian dari perlawanan. Kata “kanan” bukan lagi menunjuk tempat duduk, melainkan “ideologi”. Dan dalam hal ini, “kanan” jadi stigma dan kata “kiri” diberi aura.

Perjuangan dimulai dengan mempertajam “kiri”: “kiri” adalah yang berkata “tidak”. “Tidak kepada yang mapan, yang kuno dan kolot. “Tidak kepada pikiran dan tindakan yang mengabaikan yang telantar di bawah.

Tapi, di abad ke-21, ternyata kata “tidak” bukan hanya karakter “kiri”. “Tidak” juga datang dari “kanan”.

Kini ada sikap curiga yang menyebar: awas, ada satu lapisan di atas menguasai kehidupan kita. Mereka berada dalam pimpinan sosial-politik dan kebudayaan. Posisi ini terbentuk dari anggapan bahwa untuk memimpin sebuah masyarakat (yang di abad ini makin muskil) diperlukan pengelola yang mahir—bahkan sebuah manajemen yang “ilmiah”.

Para pengelola inilah yang merasa tahu apa yang “baik” dan yang “buruk” bagi masyarakat. Proses politik demokratik pun digantikan “pakarikrasi”. Dan para “pakar”, kaum profesional, menjadi “elite” baru. Pada saat yang sama, mereka yang dianggap bukan pakar, bukan “pengelola yang mahir”, tersingkir. Sebagai protes, terutama di negeri-negeri Eropa dan Amerika, tumbuhlah “populisme”.

Kata “populis” pada awalnya tak dinilai negatif. Bahkan mudah diterima, sebab tersirat kesetaraan antarwarga di sana. Tapi kemudian berubah. Lahir dari kontradiksi, sikap “populis” cenderung melihat dikotomi yang antagonistis: ada “elite” dan ada “rakyat”.

“Rakyat” dibayangkan sebagai satuan yang homogen dan bersih, tanpa pamrih. “Elite” sebaliknya korup dan serakah kekuasaan.

Dengan dikotomi itu—disebarluaskan melalui pidato di mimbar dan di media sosial—terbentuklah penilaian yang mengeras. Populisme cenderung memusuhi apa saja yang menggerogoti “jati diri”. Anti-asing jadi thema yang muncul dalam pelbagai variasi. Paranoia memproduksi ribuan theori konspirasi: ungkapan rasa cemas dan waspada kepada “komplotan” yang jangan-jangan pintar menyamar, yang hendak menghancurkan nilai-nilai yang hidup sejak nenek moyang.

Dengan rasa cemas itu gerakan populis bersikeras merawat kemurnian etnis dan agama, melanjutkan hukum-hukum lama (misalnya mengharamkan LGBT)—atau menjaga tata yang didukung mayoritas. Mayoritas, yaitu “rakyat” yang dibayangkan sebagai kebersamaan yang sepi ing pamrih, harus dimuliakan sebagai yang serba benar. Mereka harus diprioritaskan karena mereka itulah yang lama “tertindas”, atau “teperdaya”, oleh “elite”.

Sudah tentu, semua itu campuran fantasi. Ketika ia membahas populisme kaum Fasis, Umberto Eco mengatakan, bagi Fasisme, “rakyat”, il popolo, hanyalah sebuah fiksi teatral, una finzione teatrale. “Rakyat” diletakkan sebagai tokoh “si baik” dalam melodrama politik.

Tapi jangan-jangan kita memang perlu politik sebagai melodrama: pergulatan yang intens untuk sebuah nilai atau cita-cita bersama, bukan cuma politik sebagai arisan reguler para politisi dan juragan mereka.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus