Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Reshuffle kabinet Jokowi untuk kali ketiga tak bertujuan memperbaiki kinerja pemerintah.
Perombakan hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik menjelang Pemilu 2024.
Bagi-bagi kekuasaan akibat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.
HARI-HARI ini kita banyak melihat pertunjukan politik. Yang terbaru: perubahan susunan atau reshuffle kabinet. Seperti biasa, kita hanya menjadi penonton, sembari berpikir, apakah menteri baru akan bisa menurunkan harga-harga yang makin mencekik? Apakah hidup kita akan berubah setelah menteri berganti?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sistem presidensial, penentuan kabinet memang hak prerogatif presiden. Namun hak itu berada dalam arena pilihan tentang bagaimana hak tersebut dilaksanakan. Presiden bisa memilih menjalankan negara secara demokratis dengan tata kelola yang baik (good governance) atau memakai hak prerogatif itu untuk kepentingan pragmatis menjalankan pemerintahan yang stabil agar pembangunan berjalan lancar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak salah jika kita menduga perombakan kabinet tak bertujuan membuat kehidupan masyarakat lebih baik. Tak ada keterangan tentang evaluasi kinerja menteri lama dan rekam jejak menteri baru. Proses pemilihannya pun sangat tertutup. Kita hanya bisa melihat berita tentang siapa yang datang ke Istana Negara, pertemuan-pertemuan elite partai politik, juga makan siang bersama para ketua partai pada hari pelantikan menteri. Selebihnya, kita hanya bisa menduga-duga dan bergosip berdasarkan gerak-gerik atau berprasangka setelah mendengar tanggapan komentator politik.
Dari sini terlihat bahwa penentuan kabinet bukan soal siapa yang punya kapasitas mengelola isu terkait dengan wewenang kementerian, melainkan siapa yang harus mendapat kursi sebagai balas jasa atas kerja politik. Praktik ini terjadi karena sistem tata negara kita punya dua masalah mendasar: ambang batas pencalonan presiden dan partai politik yang tidak demokratis.
Kelindan antara penentuan kabinet dan ambang batas pencalonan presiden terlihat dari motivasi pemilihan menteri dan wakil menteri. Ada dua kemungkinan alasan penentuan kabinet: menjaga keseimbangan politik dan menyiapkan pemilihan presiden.
Di atas kertas, sistem presidensial sebenarnya membuka peluang pembentukan kabinet yang terdiri atas menteri-menteri yang punya kapasitas dan integritas. Dalam sistem presidensial, presiden memilih sendiri menteri tanpa melihat asal partai seperti pada sistem parlementer. Namun, dalam sistem multipartai, presiden terpilih harus mengelola koalisi seperti dalam sistem parlementer karena partainya tidak mungkin mendapatkan suara mayoritas (Mainwaring, 1993; Shugart & Carey, 1992; Stepan & Skach, 1994; Hanan, 2012). Bila tak dikelola, kepentingan-kepentingan politik akan menyebabkan presiden sulit membuat kebijakan. Cara efektif mengelola kepentingan politik adalah berbagi kekuasaan. Karena itu, jabatan menteri dan wakil menteri menjadi alat tukar dalam negosiasi.
Dalam konteks Indonesia, ada motivasi lain yang mungkin timbul dari bagi-bagi kekuasaan eksekutif, yakni ambang batas pencalonan presiden. Ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold menentukan batas kuantitatif tentang siapa yang bisa maju menjadi calon presiden. Undang-Undang Pemilihan Umum mengatur hanya partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara 20 persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen dari suara sah nasional yang bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akibatnya, partai-partai itu punya hak istimewa menentukan siapa yang bisa maju menjadi calon pemimpin negara ini.
Privilese yang terbentuk oleh ambang batas pencalonan presiden ini membuat partai-partai berlaku seperti kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Tak ada urusan dengan visi dan program kerja. Calon yang terpilih menjadi presiden kemudian membagi kekuasaannya melalui kursi menteri dengan partai pendukung pencalonannya dalam ambang batas itu. Menjelang pemilihan berikutnya, kabinet kembali dirombak untuk menggaet sekutu potensial 20 persen. Kursi menteri pun menjadi komoditas politik, bukan sarana pelayanan publik dalam sistem demokrasi.
Tak berhenti sebagai komoditas, wewenang menteri kerap disalahgunakan untuk kepentingan ekonomi, baik keuntungan langsung melalui korupsi maupun pembuatan kebijakan guna memudahkan kegiatan bisnis oligarki. Fenomena ini terlihat dari kasus-kasus korupsi para menteri yang melakukan state-capture corruption, perampokan uang negara dan sumber daya alam secara sistematis melalui kebijakan. Contoh paling jelas adalah pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja serta Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Ambang batas pencalonan presiden yang menjadi akar masalah komoditas politik ini diatur undang-undang yang dibuat DPR dan presiden. Sayangnya, saat masyarakat sipil mengujinya, Mahkamah Konstitusi malah memberi pembenaran. Sanggahan konstitusional tentang ambang batas pencalonan presiden pertama kali ditolak hakim konstitusi pada 2008, berlanjut hingga 20 perkara pengujian. Bila kita cermati, konstitusi hanya memberi ruang bagi pembuat undang-undang untuk mengatur tata cara pelaksanaan pemilihan (pasal 6A) dan persyaratan calon presiden (pasal 6). Artinya, pengaturan bersifat teknis belaka, bukan bertujuan membatasinya secara substantif.
Persoalan menjadi lebih pelik karena Mahkamah Konstitusi, pada 2013, menetapkan pemilihan anggota legislatif yang seharusnya menjadi penentu ambang batas pencalonan presiden digelar berbarengan dengan pemilihan presiden. Akibatnya, suara dan kursi hasil pemilihan sebelumnya menjadi dasar penentuan calon presiden. Dampaknya, partai-partai politik punya waktu makin panjang untuk bernegosiasi. Tawar-menawar terjadi tak hanya dalam satu-dua bulan setelah pemilihan legislatif, melainkan dua-tiga tahun.
Tawar-menawar kekuasaan antar-partai politik bukan fenomena Indonesia. Partai politik sama sekali bukan musuh demokrasi. Justru ia bagian penting dalam demokrasi perwakilan. Masalah terletak pada bagaimana partai politik itu dikelola. Tata kelola partai mencerminkan tujuan pendiriannya: berperan mewujudkan tujuan bernegara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 atau sekadar mengeruk keuntungan dari jabatan publik.
Partai politik yang didirikan untuk menopang demokrasi akan dikelola pula secara demokratis dalam pengaderan, penentuan pengurus, hingga penentuan calon-calon wakil di lembaga legislatif. Partai juga berperan penting dalam pendidikan politik. Partai seharusnya membongkar pemahaman dan perilaku politik masyarakat yang terpaku pada popularitas. Partai harus mengajari rakyat bagaimana memilih wakil-wakil mereka berdasarkan kapasitas dan integritas. Alih-alih melakukan tugas demokrasi itu, partai politik malah memanfaatkan keawaman masyarakat untuk mendulang suara dengan memenuhi ruang publik dengan baliho dan slogan.
Partai seharusnya membuat mekanisme pencalonan presiden secara transparan dan akuntabel, misalnya, melalui konvensi nasional seperti yang kita lihat dalam model pemilihan calon presiden sebuah partai di Amerika Serikat. Para elite partai tidak menentukan secara tertutup siapa yang menjadi calon presiden partainya. Para calon presiden itu yang berpromosi menyampaikan visi, misi, program kerja.
Rekam jejak dan kemampuan para calon presiden dibuka luas dan diperbincangkan secara luas oleh pemilihnya. Memang, pada akhirnya, tak semua anggota partai ataupun publik bisa menentukan nama calon presiden. Tapi keterbukaan proses dan mekanisme yang terang membuat rakyat tak hanya menjadi penonton belaka, yang harus menerima begitu saja gambar foto calon presiden di hari pencoblosan.
Sudah cukup banyak kajian mengenai reformasi partai politik, tapi tak banyak perbaikan berarti. Dalam pendekatan rekayasa konstitusional (constitutional engineering), reformasi partai politik bisa “dipaksa” oleh undang-undang. Tapi kita akan kembali membentur tembok penghalang karena undang-undang dibuat oleh partai-partai politik yang enggan keluar dari zona nyaman. Siklus ini membuat kualitas demokrasi kita terus merosot.
Mungkin kita sudah muak dan apatis terhadap keadaan ini. Namun menanggalkan perhatian pada politik hanya akan membuatnya berada di tangan politikus busuk, sementara politikus yang tak busuk tersingkir karena tak mendapat dukungan publik. Perlu ada kesadaran bersama untuk merombak sistem agar dua tahun menjelang Pemilu 2024, kita tak kembali menjadi penonton.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo