Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Editorial Tempo.co
Cara Holywings menarik pengunjung dengan mempromosikan minuman keras gratis untuk nama Muhammad dan Maria merupakan tindakan kebablasan. Selain tidak sensitif terhadap penganut agama yang mensakralkan dua nama tersebut; promosi kafe berkonsep klub malam, restoran, dan bar ini merupakan tindakan sembrono yang sangat mungkin dinterprestasikan merendahkan simbol keagamaan. Tak heran kalau ada yang tersinggung dan marah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Poster promosi minuman keras itu diunggah di media sosial Holywings pada Rabu pada 22 Juni 2022. Dalam poster itu tertulis pengunjung yang bernama Muhammad dan Maria akan mendapatkan minuman keras gratis berlaku satu hari setelah pengumuman promosi. Memang nama Mumammad dan Maria sudah umum di Indonesia, tapi ketika dipakai untuk promosi minuman keras, maka kesan yang muncul di publik justru negatif dan memancing polemik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tindakan Manajemen Holywings segera minta maaf atas tindakan promosi yang teledor itu, bahkan hingga dua kali, adalah langkah tepat. Apalagi mereka berjanji tidak akan lepas tangan dan akan menjadi lebih baik. Kendati hal tersebut tak mengakhiri gelombang protes kalangan yang tersinggung dan marah. Karena di sisi lain, promosi seperti itu menjadi insentif untuk kelompok yang selama lni menunggangi isu agama untuk berbuat gaduh. Tapi, sekeras apapun protes terhadap promosi itu, penyampaiannya harus tetap mengedepankan cara-cara yang santun dan bertanggung jawab. Unjuk rasa mengecam promosi tersebut hingga munculnya reaksi yang menyerukan boikot merupakan respons wajar menyikapi promosi tersebut.
Namun, ketika protes itu diwujudkan dengan cara menggeruduk kafe Holywings, bahkan melakukan penyegelan, ini adalah tindakan yang tidak patut dan melanggar hak asasi. Cara bar-bar dan main hakim sendiri sudah tidak ada tempatnya di negeri ini. Tindakan tiga ormas seperti Sapma Pemuda Pancasila (PP), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), serta Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK) melaporkan manajemen Holywings ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya adalah langkah berlebihan.
Celakanya, kadang dalam urusan-urusan seperti ini, polisi begerak super cepat. Beberapa jam setelah laporan itu , polisi menetapkan 6 tersangka yang merupakan karyawan di bagian kreatif Holywings. Mereka dijerat dengan pasal penodaan agama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur larangan ujaran kebencian terkait Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Ancaman hukumannya 10 tahun penjara. Dua pasal yang dikenakan adalah pasal karet yang bisa menyasar siapapun karena tolak ukur tuduhannya tak jelas sehingga memunculkan multitafsir. Ada kesan polisi memaksakan kasus ini untuk “mendinginkan” situasi.
Promosi Holywings memang tidak etis dan kurang sensitif sehingga menimbulkan kegaduhan. Tapi terkesan dipaksakan kalau kemudian dianggap memenuhi delik penistaan agama. Misalnya, dari pengakuan tersangka, pembuatan poster itu semata-mata untuk menarik pengunjung, tak ada kesengajaan menghina atau melecehkan simbol agama. Motif tersebut tentu tak bisa dikategorikan sebagai niat jahat atau mens rea, unsur yang harus harus ada untuk mengukur ada atau tidaknya tindak pidana.
Oleh karena itu, kasus Holywings ini adalah ujian dari kedewasaan sikap beragama masyarakat Indonesia. Cara-cara berbau kekerasan hingga kriminalisasi bukan tindakan yang dibenarkan untuk menyikapi kasus tersebut. Muatan promosi Holywings memang terkesan provokatif, tapi bukan sebuah kejahatan.