Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Joko Widodo sempat memotong subsidi BBM secara besar-besaran.
Hal ini tak dapat dipertahankan, terutama setelah ada mekanisme kompensasi atas penjualan Pertalite.
Pada 2024, Jokowi bakal terbebani subsidi dan kompensasi energi yang melangit.
Moh. Samsul Arifin
Pemerhati energi bersih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo berpotensi kalah perang melawan rezim subsidi energi yang mencekik duit negara, khususnya subsidi bahan bakar minyak (BBM). Tatkala pemerintahan periode pertamanya berumur kurang dari sebulan, tepatnya pada 17 November 2014, Jokowi menaikkan harga premium dan solar yang masing-masing Rp 2.000 per liter. Hal ini menandai perubahan drastis kebijakan energi pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Jokowi saat itu, ketimbang dihambur-hamburkan untuk sektor konsumtif, dana untuk subsidi BBM lebih baik dialihkan untuk anggaran infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Pemotongan besar-besaran subsidi BBM langsung terasa pada 2015, ketika subsidi BBM dipotong hingga tersisa Rp 43,9 triliun.
Keberhasilan “gunting subsidi BBM” ala Jokowi itu terasa betul hingga 2016, ketika subsidinya turun hingga Rp 172,3 triliun. Bersama dengan subsidi elpiji dan listrik, Jokowi secara fantastis menekan subsidi energi hingga 64 persen atau setara dengan Rp 419 triliun dalam dua tahun (2015-2016). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut hal ini sebagai keberhasilan dari reformasi subsidi energi—satu langkah yang bikin belanja negara menjadi lebih produktif.
Hal itu terjadi pada dua tahun awal di periode pertama pemerintahan Jokowi. Belakangan ini, kisah sukses itu tidak dapat dipertahankan, terutama setelah ada mekanisme kompensasi atas penjualan Pertalite. Jenis BBM dengan RON 90 ini pertama kali diluncurkan di Jakarta pada 24 Juli 2015. Kompensasi adalah duit yang harus dibayarkan pemerintah atas selisih harga keekonomian Pertalite dengan harga jualnya. Ini sesungguhnya subsidi juga karena pemerintah harus menombok atau menanggung sebagian pembayaran Pertalite kepada Pertamina.
Meskipun telah menaikkan harga BBM bersubsidi dan Pertalite pada 3 September 2022, besaran kompensasi Pertalite yang ditanggung pemerintah mencapai Rp 307,2 triliun. Ditambah subsidi solar sebesar Rp 15,2 triliun, total kompensasi dan subsidi BBM pada 2022 mencapai Rp 322,4 triliun. Apa bedanya dengan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono? Adapun subsidi energi pada 2022 meroket hingga Rp 551,2 triliun.
Pada 2004, bertepatan dengan tahun politik dan periode terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, subsidi BBM menembus Rp 191 triliun. Seperti periode akhir pemerintahan SBY, pada 2024, pemerintahan Jokowi bakal terbebani subsidi dan kompensasi energi yang melangit.
Pada tahun politik 2024, volume solar dan minyak tanah yang harus disubsidi naik, dari 17,5 juta kiloliter menjadi 18,735-19,58 juta kiloliter (Koran Tempo, 20 Juni 2023). Inilah ongkos politik yang wajib dibayar Jokowi agar stabilitas politik terjaga dan meredam potensi gejolak sosial-ekonomi. Di tahun politik itu, pemerintah akan cenderung baik hati, bahkan royal, alias jorjoran. Keadaan dikesankan seolah-olah baik, termasuk isi kantong pemerintah.
Untungnya, hingga Juni 2023, harga minyak mentah US$ 71-76 per barel. Bandingkan dengan harga pada pertengahan tahun lalu, ketika perang Rusia dan Ukraina mendongkrak harga minyak mentah hingga sekitar US$ 110 per barel. Bandingkan juga dengan harga minyak mentah sebelum masa pandemi Covid-19 yang hanya US$ 60 dolar per barel.
Meskipun harga minyak mentah pada Juni 2023 ini jauh lebih murah dibanding harga pada pertengahan tahun lalu, tak ada penurunan harga BBM bersubsidi dan Pertalite. Hitungan matematika dan logika ekonomi tak mampu menembus tembok tebal kebijakan pemerintah. Inilah yang menyebabkan sebagian ekonom, termasuk Faisal Basri, kerap mengkritik pemerintah: mengapa saat harga minyak mentah nyungsep, atau jauh dari harga mahalnya di masa puncak, pemerintah tidak menurunkan harga BBM bersubsidi?
Energi itu vital dan memenuhinya secara berkelanjutan hukumnya wajib. Wajib pula bagi pemerintah untuk memberikan akses yang sama kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk yang terluar, di pinggiran republik ini. Ini adalah amanah (atau “kutukan”?) di masa pemerintahan siapa pun.
Presiden Soeharto, yang diberkahi dengan bonanza minyak, pun menerapkan subsidi BBM. Ketika menaikkan harga BBM pada 5 Mei 1998, seiring dengan krisis moneter yang menggerogoti Asia Tenggara sejak pertengahan 1997, langkah itu justru menyulut demonstrasi lebih besar yang menghendaki penguasa Orde Baru itu turun dari kursi presiden. Seperti beras (pangan), bagi Soeharto, energi juga menjadi pilar yang menyangga kekuasaannya. Tatkala salah satu pilar itu roboh, gejolak politik dan sosial gampang tersulut, seperti rumput kering yang mudah terbakar.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo