Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Penurunan tanah (land subsidence) tidak hanya berlaku di wilayah pesisir. Di Bandung yang jauh dari laut, amblesan tanah juga terjadi di wilayah cekungan (basin) Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Terutama di wilayah endapan bekas danau purba,” kata Andiani, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Beberapa kawasan dataran Bandung yang merupakan daerah endapan danau purba di antaranya punya ciri khas. Namanya memakai ranca dalam bahasa Sunda yang artinya rawa. Kawasan danau purba Bandung kata Andiani berwilayah luas. “Cicalengka, Rancaekek, utara Majalaya, Ciparay, Dayeuhkolot dengan endapannya didominasi oleh lempung hitam,” katanya di Museum Geologi Bandung, Jumat, 13 Desember 2019.
Sedangkan dari Dayeuhkolot ke barat sampai daerah Katapang endapannya dipengaruhi oleh material vulkanik. Sifat dari lempung hitam ini sangat lunak dan mempunyai kompresibilitas yang sangat tinggi. “Sehingga secara alami dengan beban ketebalan lapisan lempungnya sendiri lempung ini akan mengalami penurunan,” ujarnya.
Sejauh ini Badan Geologi yang berada di Bandung belum pernah melakukan riset khusus untuk mengetahui kondisi penurunan atau amblesan tanah di wilayah cekungan Bandung.
Tim peneliti dari Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) mencatat penurunan tanah di Bandung menjadi salah satu yang tercepat dan terluas di dunia. "Terjadi penurunan tanah yang sangat masif," kata ketua tim riset Irwan Gumilar.
Tim yang beranggotakan Heri Andreas dan Hasanuddin Z. Abidin itu mencatat penurunan tanah di beberapa titik di Bandung ada yang berkisar 5-10 sentimeter juga 15-20 sentimeter per tahun. Lokasinya tersebar di daerah Cekungan Bandung yang bertanah sedimen atau endapan. "Seperti Cimahi, Dayeuh Kolot, Gede Bage, Kopo, Banjaran, Majalaya, dan Rancaekek," ujarnya di Bandung, Sabtu, 1 Desember 2019.
Riset itu sudah berjalan sejak 2000. Daerah Leuwigajah, misalnya, laju penurunan tanahnya per tahun 12 sentimeter. Dalam sepuluh tahun bisa ambles sedalam 1,2 meter. Sementara di daerah Gedebage penurunan tanahnya berkisar 8-10 sentimeter per tahun.
Tim menggunakan dua metode pengukuran, yaitu dengan citra satelit dan memasang alat Global Positioning System (GPS). Mereka juga banyak mengumpulkan bukti-bukti penurunan tanah di lokasi, seperti jalan pecah, bangunan miring, jembatan hancur, retakan dari lantai hingga tembok.
Tim Geodesi ITB yakin penurunan tanah itu akibat penyedotan air tanah terutama di kawasan industri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini