Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 14 aktivis pertanahan dari Asia mengunjungi Kampung Damara (Desa Maju Reforma Agraria) di Gunung Anten, Kabupaten Lebak, Banten, untuk mempelajari sejumlah kearifan lokal. Para peserta konferensi Asia Land Forum 2025 ini berada di Damara 16-18 Februari 2025, didampingi aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perwakilan KPA, Junarcia Molisna Naibaho, mengatakan, dalam kunjungan ini para peserta bisa saling belajar dengan masyarakat setempat. Kampung Damara memiliki organisasi bernama Pergerakan Petani Banten (P2B) yang punya pengalaman memperjuangkan lahan milik mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Belajar bersama dan juga belajar dari mereka," kata Molisna soal tujuan dari kunjungan ini, saat memberikan sambutan dalam acara di Kampung Damara itu, Senin, 17 Februari 2025. "Mereka ingin tahu banyak dari P2B (Pergerakan Petani Banten)."
Berdasarkan pantauan Tempo, para peserta datang sejak Ahad sore. Mereka disambut dengan musik angklung yang dimainkan warga lokal, kemudian mendapatkan ikat kepala campuran warna biru dan hitam untuk laki-laki dan selendang untuk perempuan.
Dalam kegiatan ini, para peserta mencicipi kudapan nasi kuning dengan lauk tempe orek, telur dadar, telur ceplok, mi goreng, dilengkapi tumis buncis, sambal dan kerupuk. Untuk makanan ringan, mereka mencicipi rambutan rapiah yang menjadi buah khas lokal, selain berbagai kue jajanan pasar. Mereka juga mencicipi minuman dari pohon aren atau yang biasa disebut air nira.
Setelah itu, mereka berbagi cerita mengenai kesan pertama ketika berada di lokasi. Lalu berdiskusi dengan warga soal kearifan lokal mulai dari makanan, hingga konflik lahan yang dialami petani Kampung Damara.
Peserta dari Srilanka, Ahamath Nuzaik, mengatakan, kearifan lokal yang baru ditemuinya dalam kunjungan ini adalah soal anyaman bambu yang menjadi bagian dari rumah warga. Dia merasa ini tidak umum dan merupakan hal baru. Apalagi ketahanan anyaman bambunya bisa sampai 15 tahun.
Nuzaik juga mencicipi buah dukuh manis dari hasil bumi petani Kampung Damara. Dukuh di sini lebih manis daripada di Bangladesh. "Di negara saya buahnya lebih kecil dan rasanya asam. Tapi di sini manis," ucapnya.
Peserta dari Mongolia, Aggie Altantuya, juga melihat anyaman bambu sebagai hal yang baru, apalagi untuk atap rumah. Kondisi ini sangat berbeda dengan rumahnya yang memiliki dinding tebal dan harus menyediakan penghangat ruangan.
Tetapi di Kampung Damara hanya menggunakan anyaman bambu. "Di tempat saya suhunya -10 hingga -20 derajat celcius. Di sini lebih hangat, hanya 20 derajat lebih. Lebih leluasa beraktivitas," kata Aggie.
Peserta dari Bangladesh, Asif Ahmed, mengatakan, salah satu kearifan lokal yang ia temui adalah soal adanya masjid di tengah permukiman. Di negaranya, hal seperti ini tidak umum, apalagi ada beduk yang menjadi alarm ketika masuk waktu salat.
Biasanya, kata Asif, penanda masuk waktu salat umat Islam adalah kumandang azan. "Ada alarm di sini yang harus dipukul. Ini baru bagi saya," tuturnya.
Kunjungan ke Damara ini merupakan rangkaian acara Asia Land Forum 2025 yang puncaknya akan dilaksanakan di Jakarta pada 19-21 Februari 2025. Sebelum acara itu, sejumlah perwakilan organisasi non-profit dari berbagai negara mengunjungi wilayah di Jawa Barat yang punya pengalaman berurusan dengan soal reforma agraria.
Peserta konferensi Asia Land Forum 2025 ini sekitar 500 orang dari 14 negara di Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Mereka berasal dari lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang agraria.