Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penanggung Jawab Tim Diseminasi Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Septa Anggraini, mengatakan isu megathrust bukan sesuatu yang baru diperbincangkan. Isu tersebut sudah dibahas berkali-kali dengan adanya gempa besar yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia maupun luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebelum tahun 2004, 2018, dulu pernah ramai isu megathrust, kemudian lama-lama isu itu kembali hilang,” kata Septa dalam webinar "Side Event KN PRBBK: Kesiapsiagaan Masyarakat Urban Menghadapi Ancaman Gempa Bumi", Selasa, 1 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu faktor yang membuat isu ini ramai kembali adalah peristiwa gempa magnitudo 7,1 di Jepang, pada Agustus 2024. Septa mengatakan gempat tersebut terjadi di zona megathrust Nankai.
Gempa terakhir di zona megathrust Nankai terjadi pada tahun 1946 dengan magnitudo 8,4. Kemudian ilmuwan di Jepang melihat ada pola keterulangan gempa dalam puluhan hingga ratusan tahun, serta akan terjadi lagi di masa mendatang.
Dengan budaya mencatat yang baik, negara tersebut mempersiapkan mitigasi bencana semaksimal mungkin. “Menunggu waktu dengan menyiapkan mitigasi. Momentum ini dimanfaatkan lagi oleh para pakar untuk mengingatkan,” ucap Septa Anggraini.
Wilayah Indonesia pun juga memiliki potensi gempa yang sama, bahkan BMKG mencatat ada 13 segmentasi sumber gempa zona megathrust. Faktor ini, kata Septa, dikarenakan Indonesia terletak di empat lempeng dunia yang bergerak satu sama lain, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Filipina, serta patahan aktif lainnya.
Hal yang perlu diperhatikan adalah lempeng bergerak dengan hitungan sentimeter per tahun. “Kita ini berdiri di atas lempeng yang bergerak dengan hitungan 10-14 sentimeter per tahun,” ujarnya.
Megathrust adalah sumber gempa subduksi lempeng, di mana terdapat bidang kontak antar dua lempeng tektonik di kedalaman dangkal kurang dari 50 kilometer. Megathrust dapat dianalogikan sebagai patahan dengan dorongan naik yang besar, karena mampu mengakumulasi energi medan tegangan gempa sangat dan memicu gempa kuat yang menimbulkan rekahan panjang dan bidang pergeseran yang luas.
Dengan adanya fakta-fakta tersebut, kata Septa, maka informasi potensi gempa megathrust bukan prediksi atau peringatan dini. Gempa tersebut tidak ada yang bisa memprediksi dengan detail kapan dan di mana akan terjadi.
Namun yang perlu diketahui adalah adanya pola keterulangan gempa. “Yang harus kita sikapi adalah menyiapkan diri, bagaimana mempersiapkan dari sisi mitigasi struktur dan kultur,” tuturnya.
Pilihan Editor: Google Maps Hadirkan Fitur Pelaporan Insiden pada Android Auto