Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

Cuaca Basah Musim Kemarau Bikin Titik Panas Berkurang

Jumlah titik panas terpantau berkurang hampir di semua wilayah, termasuk Pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa

9 Juli 2023 | 09.12 WIB

Pengendara kendaraan bermotor melintas di tengah kabut asap akibat kebakaran lahan di Kecamatan Liang Anggang, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Jumat 23 Juni 2023. Berdasarkan tabel kualitas udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Jumat (23/6) kualitas udara di Banjarbaru mengalami kenaikan dari baik ke sedang hal ini diakibatkan salah satunya dampak kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mulai meluas di Kalsel. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Perbesar
Pengendara kendaraan bermotor melintas di tengah kabut asap akibat kebakaran lahan di Kecamatan Liang Anggang, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Jumat 23 Juni 2023. Berdasarkan tabel kualitas udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Jumat (23/6) kualitas udara di Banjarbaru mengalami kenaikan dari baik ke sedang hal ini diakibatkan salah satunya dampak kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mulai meluas di Kalsel. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pada bulan Juli sebagian wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau dengan pantauan satelit beberapa waktu lalu memperlihatkan titik panas (hotspot) di sejumlah pulau di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Namun, menurut Didi Satiadi, peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dengan kondisi cuaca belakangan ini lebih basah, hal ini membuat distribusi hotspot terpantau cenderung berkurang dalam tiga hari terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Jumlah hotspot terpantau berkurang hampir di semua wilayah, termasuk Pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa,” ujar Didi lewat pesan singkat, 7 Juli 2023. Data itu berdasarkan pantauan berbagai satelit pada 5-7 Juli, yaitu satelit Terra/Aqua/SNPP/NOAA2 yang diperoleh dari BRIN, KLHK, dan NASA.

Adanya hujan cenderung mengurangi jumlah hotspot karena hujan dapat membasahi vegetasi dan mencegah terjadinya kebakaran, mengendalikan atau bahkan menghentikan penyebaran api, serta mengurangi intensitas hotspot.

Menurutnya, walaupun hotspot mengindikasikan adanya panas/api, namun belum tentu berasal dari karhutla. Didi menjelaskan berbagai kemungkinan, seperti aktivitas gunung api, flare gas, aktivitas industri, aktivitas manusia, pantulan sinar matahari. Untuk memastikannya, perlu pengecekan langsung di lapangan.

Selain itu, suhu permukaan laut (SST) juga masih relatif tinggi di perairan Indonesia pada saat ini. “SST yang tinggi tersebut menghasilkan penguapan dan kelembaban yang relatif tinggi di wilayah Indonesia,” jelasnya.

Pantauan satelit juga memperlihatkan suplai uap air dan dinamika atmosfer mendorong proses konveksi, pembentukan awan dan hujan di sejumlah wilayah, termasuk Jakarta, Jawa Timur, dan Bali. Hal yang sama juga terjadi sejumlah wilayah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Sementara itu, angin selatan yang relatif kuat juga menyebabkan gelombang tinggi terutama di Samudra Hindia, sebelah selatan Pulau Sumatra, Jawa, dan Nusa Tenggara.

Cuaca Saat Ini

Menurut Didi, saat ini wilayah Indonesia juga menghadapi fenomena El-Nino, yang dapat meningkatkan kondisi kering saat musim kemarau. El-Nino merupakan fenomena yang dihasilkan oleh interaksi antara atmosfer dan lautan.

Pada saat ini kondisi atmosfer dan lautan belum sepenuhnya saling memperkuat secara konsisten, sehingga sirkulasi El-Nino belum sepenuhnya terbangun. Demikian pula kondisi IOD (Indian Ocean Dipole) saat ini masih netral, namun cenderung menguat dalam beberapa bulan ke depan. 

Apabila fenomena IOD positif dan El-Nino terjadi bersamaan, maka efek kering musim kemarau cenderung lebih kuat sehingga perlu diwaspadai. “Terutama terkait potensi kekeringan dan karhutla,” kata Didi. 

Namun, pengaruh dari fenomena gangguan dan gelombang atmosfer seperti sirkulasi siklonik, gelombang atmosfer ekuator, Madden Julian Oscillation (MJO), dan lainnya juga perlu mendapat perhatian karena dapat mengubah pola cuaca. Demikian pula pengaruh dari fenomena perubahan iklim yang semakin meningkat dapat menyebabkan perubahan pola cuaca dan musim yang lebih sulit untuk diprediksi. 

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus