Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASI bintang Salib Selatan itu da-tang tanpa isyarat. Ketika malam mulai merayap di pebukit-an Lem-bang, Bandung. Dalam balut-an- cuaca dingin, seorang lelaki menunggu dengan seribu rasa pena-sar-an. Pria itu, Amrizal, berdiri di balik teleskop besar berwarna putih di gedung Observatorium Bosscha. Berkali-kali dia menatap langit yang cerah melalui teleskopnya, tapi rasi bintang yang diburunya- tetap tak tertangkap mesin pemindai teleskopnya.
Sudah berhari-hari Amrizal begadang, memburu bintang yang juga bernama Alpha Crux itu. Ia sudah mengarahkan teleskop Cassegrain GOTO dengan lensa berdiameter 450 milimeter. Toh, bintang itu sulit ditangkap. ”Terlalu banyak cahaya dari rumah-rumah di sekitar Bosscha,” ujarnya kesal.
Padahal, tutur Amrizal, si Crux itu semestinya bisa ”ditangkap” dengan gampang karena dia bintang dengan magnitudo empat (4 m). Teleskop Cassegrain yang ia pakai sebetulnya sanggup me-min-dai bintang dengan magnitudo sam-pai enam (6 m). Magnitudo adalah ting-kat kecemerlangan suatu bintang. Semakin kecil magnitudo suatu bintang maka semakin cemerlang ia terlihat dari muka bumi. Sebaliknya, semakin tinggi angka magnitudo suatu bintang, maka semakin redup ia tampaknya.
Itulah sebabnya, saat teleskop putih itu digeser-geser, diutak-atik, Si Salib Selatan yang dicari tetap berpendaran di lensa bidik. ”Akibatnya, persentase ke-salahan dalam hasil penelitian saya me-ningkat,” ujar Amrizal yang tengah membantu penelitian skripsi salah satu rekan sejurusannya.
Kisah yang terjadi pada 2005 itu, kata Amrizal kepada Tempo pada Rabu dua pekan lalu, bukanlah satu-satunya. Sebelum penelitian itu, pada tahun yang sa-ma, dia juga kesulitan mengamati planet Jupiter yang bermagnitudo satu. ”Pla-net yang mestinya memiliki warna putih agak krem itu berubah menjadi keungu-unguan,” katanya.
Gejala ini dirasakan Amrizal sudah se-jak 2003. Saat itu dia menyaksikan pe-nampakan beberapa obyek di dekat horizon langit mulai memudar. Menurut Amrizal, itu terjadi karena pencemaran cahaya di Bosscha telah membuat panjang gelombang cahaya merah dan ungu dari obyek tak jatuh pada satu titik.
”Bosscha telah tercemar cahaya!” Ka-limat itu yang kini menyebar di milismi-lis pencinta astronomi. Para astro-nom-, baik yang tulen maupun yang ama-tir, gundah. Bahkan pakar lingkung-an Profesor Otto Soemarwoto ”berteriak”: selamatkan Bosscha!
Ketua Observatorium Bosscha Taufik Hidayat mengakui bahwa pencemaran cahaya itu telah membuat lima teleskop di Bosccha: Refraktor ganda Zeiss, Reflektor Schmidt ”Bima Sakti”, Reflektor Cassegrain, Reflektor Bamberg, dan Refraktor Unitron, menurun kemampuannya. Akibatnya, kata dia, pengamat dan peneliti bintang kian sulit mengamati bintang.
Ia mencontohkan, bintang yang ting-kat kecemerlangannya 9 m kini tak mudah diamati setiap waktu. Bintang-bintang seperti itu hanya bisa diamati saat langit benar-benar bersih, dan itu pun hanya terjadi pada Juni atau Juli setiap tahun.
Taufik menuturkan, pencemaran caha-ya itu terjadi karena daerah di sekitar observatorium dipadati permukiman. Li-hatlah Lembang di waktu malam. Kerlap-kerlip lampu akan tampak mengular di sepanjang kawasan pebukitan Lem-bang. Bosscha, kini bahkan dikepung tiga permukiman, yakni Kampung- Pencut, Kampung Teropong Bintang, dan Kampung Sternwacht. Tiap kampung dihuni sekitar 76 sampai 100 kepala keluarga. ”Idealnya, radius 2,5 kilometer dari Bosscha itu bersih dari permukim-an,” keluh Taufik.
Ketua Himpunan Astronom Amatir- Jakarta Tersia Marsiano malah ber-ha-rap lebih jauh. Seyogianya, kata dia, radius 5 sampai 10 kilometer dari Bosscha bebas dari permukiman, sehingga daerah itu tetap gulita.
Mungkinkah itu? Anjuran itu agaknya mustahil. Apalagi, Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung malah berencana merevisi ketentuan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) sehingga malah membolehkan penduduk membangun rumah di kawasan Bandung Utara, termasuk Lem-bang. Sekarang saja kawasan itu sudah padat dengan rumah, vila, dan hotel.
Karena mustahil Bosscha melarang penduduk membangun rumah, maka me-nurut Tersia, satu-satunya jalan adalah mewajibkan rumah atau gedung yang berada dalam radius itu untuk menggunakan lampu bohlam berdaya rendah. Bila penduduk ngotot menggunakan ne-on yang terang, maka lampu-lampu itu wajib ditudungi agar cahaya tak berpen-daran ke segala arah, terutama ke la-ngit.
Ahmad, 56 tahun, penduduk Desa Pen-cut yang tinggal dekat gerbang masuk kompleks Bosscha, mengatakan, ketentu-an yang disebut Tersia itu sebetul-nya sudah dipatuhi warga yang tinggal ber-dekatan dengan Bosscha. Menurut dia, masyarakat sudah sadar bahwa penggunaan lampu yang terlalu terang akan mengganggu pengamatan bintang.
Oleh sebab itu, kata Ahmad, kebanyak-an penduduk menggunakan lampu ber-kekuatan 5 watt untuk penerangan luar rumah. ”Kalau pakai neon harus memakai tudung,” kata pria yang menggelar dagangan miniatur teropong di gerbang masuk Bosscha ini.
Ahmad mengaku pernah ditegur langsung oleh ketua Bosscha karena memasang lampu yang cukup terang di taman di depan rumahnya. ”Akhirnya, saya gan-ti dengan yang lima watt saja,” katanya.
Dia menuding pencemaran di Bosscha lebih banyak berpangkal dari kawasan Lembang yang tak pernah berhenti menggeliat dengan pembangunan fisik berupa perumahan mewah dan hotel. Ahmad mengenang, lembah Lembang puluhan tahun yang silam adalah kawasan lembah yang hijau sejauh ma-ta memandang. Kini semuanya telah ber-ubah menjadi gemerlap di waktu malam dan membuat teleskop-teleskop Bosscha ”mandul”.
Permasalahan Bosscha ini telah me-nuai sorotan, namun tak satu pun pihak- yang berani menjanjikan perbaikan dalam waktu singkat. Bu-pati Bandung Obar Sobar-na me-ngatakan, penyela-mat-an tempat penelitian yang menjadi aset dunia itu sedang dipikirkan bersama-sama. ”Pe-merintah pusat dan pro-vinsi juga harus duduk bersama untuk memi-kirkan ini. Kami siap membicarakannya,” kata Obar.
Masalahnya, pemerintah pu-sat, meski memberi perhatian besar, belum memili-ki cetak biru perbaikan Bosscha. Bambang Sapto Prato-mosunu, Deputi Menteri Ri-set dan Teknologi, menga-takan, pemerintah masih me-nunggu hasil kajian tim yang telah dibentuk oleh Institut Teknologi Bandung selaku pihak yang bertanggung ja-wab atas observatorium yang berdiri pada 1923 itu.
Tim itu, kata Bambang, akan mene-gaskan masalah kepemilikan tanah di sekitar Bosscha yang sampai saat ini masih tak jelas statusnya. Karena status tak jelas itulah beberapa orang menye-robot dan mendirikan rumah di sana.
”Bila sudah jelas, akan disertifikasi segera,” katanya. Tim itu juga mengkaji- masalah peruntukan lahan di sekitar Bosscha yang menurut kajian 2003 diang-gap- telah melanggar rencana umum tata ruang Kabupaten Bandung. Bambang -me-ngatakan, lingkungan sekitar Bosscha semestinya menjadi kawasan per-u-mah-an rendah, artinya tak ada ke-padat-an perumahan di setiap 500 meter per-segi.
Kenyataan yang ada malah sebalik-nya. Meski belum menghitung pasti, ka-ta Bambang, citra satelit membuktikan ka-wasan di sekitar Bosscha telah menjadi permukiman yang padat. Hasil kajian itu, menurut dia, nanti akan menjadi cetak biru untuk memulihkan Bosscha.
Bagaimana bila semua solusi itu buntu? Bambang mengakui ada wacana memba-ngun observatorium baru. Namun, ob-servatorium baru itu mesti mengikuti per-sya-ratan, antara lain, dibangun di atas lahan yang stabil dan bukan daerah w-isata, sehingga tak ada yang tertarik me-ngembangkan kawasan; serta harus bermitra dengan universitas.
Untuk sementara, Bosscha terpaksa harus bersabar dikepung lautan cahaya.
Deddy Sinaga, Efri Ritonga, Ahmad Fikri (Lembang), Rana Akbari Fitriawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo