Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGENAKAN kaus berga-ris- warna hijau dan berjaket hi-tam-, Mulyono Eko berjalan gontai menuju ruang reserse Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya. Wajahnya kusut. Pria 41 tahun ini terlihat kelelahan setelah dikeler ke Pasuruan, Malang, dan Sidoarjo. Pada Rabu pekan lalu, Mulyono diperiksa secara intensif karena mengakui sebagai perusak wajah Siti Nur Jazilah, istrinya.
Siti Nur Jazilah alias Lisa, 22 tahun, sejak dua pekan lalu tergolek di Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya, setelah menjalani operasi bedah plastik di wajah-nya (Tempo, 3 April 2006). Lisa harus menjalani operasi karena wajah-nya rusak akibat disiram cairan sejenis- air keras. Siapa pelakunya, saat itu tak ada yang bisa menjelaskannya. Lisa juga tutup- mulut. ”Tanya saja kepada dia (Lisa),” kata Mulyono saat mengantarkan Lisa ke RS Dr Soetomo dua pekan lalu.
Tapi, sekuat-kuatnya Mulyono -me-ngunci mulut, toh polisi berhasil mem-bukanya. Ia menyerah setelah polisi memeriksanya secara maraton selama empat hari. ”Sayalah pelakunya,” kata Mulyono lirih. Untuk bisa mengorek ke-terangan Mulyono, polisi bekerja ekstrakeras. Sekitar 14 saksi diperiksa, termasuk kakaknya, Ida Rosyida, dan ayah Lisa, Saring.
Mulyono semakin tak berkutik setelah dia dikonfrontasi dengan keterangan Salsa, 25 tahun, kawan dekat Lisa. Salsa bercerita, setahun lalu Lisa menele-pon-nya. Sambil terisak, di ujung telepon- Lisa menyebut dirinya kini seperti ber-ada dalam gua persembunyian dan malu keluar rumah karena wajahnya hancur akibat disiram air keras. ”Suami saya pelakunya,” kata Lisa kepada Salsa.
Keterangan Salsa menguak tabir rahasia kehidupan Lisa selama ini. Bak dalam sinetron televisi, Mulyono pun akhirnya berkisah, mengapa dia tega melukai wajah istrinya. ”Saya jengkel, maka saya siram dia,” kata Mulyono memberikan alasan.
Peristiwa nahas itu terjadi empat tahun silam. Saat itu Mulyono baru saja berhasil membawa pulang Lisa, yang sebelumnya minggat bersama Sugiono ke Pontianak. Sugiono, kata polisi, adalah mantan pacar Lisa yang diduga pernah menjual Lisa ke kompleks pelacuran Bangunrejo, Surabaya.
Mendengar Lisa ke Pontianak, Mulyono menyusul ke Pontianak. Di kota kha-tulistiwa itu, Mulyono mendapat kabar bahwa Lisa menjadi wanita panggilan dengan tarif Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta untuk sekali kencan. Mulyono pun berpura-pura tertarik memakai jasa Lisa di sebuah kamar Hotel Flamboyan. Di sana keduanya bertemu, dan Mulyono berhasil membawa pulang Lisa ke rumah me-reka di Gondanglegi, Beji, Pasuruan.
Lisa rupanya tetap belum mantap de-ngan Mulyono, meski tinggal serumah. Lebih-lebih lelaki yang pernah memiliki usaha salon itu dianggapnya tak mampu lagi mencukupi kebutuhannya. Pertengkaran kerap terjadi di antara mereka. Pada 24 Desember 2002 Lisa berusaha kabur dari rumah Mulyono. Kali ini Mulyono tak bisa lagi menahan amarahnya. Ia menyambar semangkuk cairan pembersih lantai dan menyiramkannya ke wajah istrinya.
Lisa langsung menjerit-jerit karena- wajahnya langsung melepuh. Inilah awal kerusakan wajahnya. Kepada polisi Mulyono mengaku cairan sejenis air keras itu dibelinya di pasar Bangil, Pasuruan, dengan harga Rp 25 ribu. ”Itu untuk membersihkan lantai dan toilet,” ujarnya.
Saat itu juga Lisa dilarikan Mulyono ke RSUD Sidoarjo. Tapi hanya dua hari Lisa di rawat di rumah sakit karena Mulyono waswas polisi mengetahui ulah-nya. Sejak itu luka di wajah Lisa semakin parah. Parasnya yang semula cantik perlahan mulai ”meleleh”.
Hanya, rahasia yang mereka simpan selama tiga setengah tahun akhirnya terkuak setelah Mulyono membawa Lisa berobat lagi ke RSUD Dr Soetomo. Kali ini Lisa berobat ke RSUD Dr Soetomo karena dia sulit bernapas akibat ke-ru-sakan wajahnya. Dan awal Februari la-lu Lisa bersedia dioperasi wajahnya oleh tim yang diketuai Dr M. Sjaifuddin Noer. Karena tergolong langka, operasi ini mendapat perhatian besar dari media massa.
Meskipun dianiaya, Lisa memilih tetap bersama Mulyono. Hanya, sejak itu ia tak pernah keluar rumah. Kalaupun keluar- bersama Mulyono, Lisa menyembunyi-kan wajahnya dengan helm model ter-tutup. Kegiatannya sehari-hari di rumah adalah mengaji atau bercengkerama de-ngan 12 kucing kesayangannya.
Dari sinilah polisi tergerak untuk mencari siapa penganiaya Lisa. Kepada- polisi, Mulyono mengaku tega melukai wajah istrinya agar Lisa tidak lagi ming-gat dari sisinya. ”Setelah wajahya rusak, Lisa sangat bergantung pada Mulyono,” kata Kepala Unit Penyidikan I Satuan Reskrim Polwiltabes Surabaya, AKP Arbaridi Jumhur.
Arbaridi benar. Sebab, sejak umur tiga tahun, Lisa telah hidup sebatang ka-ra karena ditinggal cerai dua orang tua-nya-, Siti Zulaikah dan Saring. Awalnya Zulaikah bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. Di sana wanita ini kawin lagi. Belakangan Saring kawin juga dan bekerja sebagai penjual bakso di Surabaya.
Alhasil, Lisa dibesarkan Winoto Kusnoto dan Wakinah, kakek dan nenek Lisa, di Desa Jeru, Kecamatan Turen, Malang. Karena miskin, Winoto ha-nya bisa menyekolahkan Lisa hingga di bangku kelas dua madrasah tsanawiyah di Turen. Mengetahui kakek dan neneknya hidup serba kesulitan, Lisa mrotol dari sekolah dan pamit bekerja di Malang. Winoto tak tahu di mana Lisa bekerja. ”Kalau pulang, saya diberi uang Rp 25 ribu,” kata Winoto.
Hanya tiga bulan Lisa di Malang dan setelah itu dia pergi mengadu nasib ke Surabaya. Di Kota Buaya ini ternyata Lisa bekerja melayani para buaya darat di rumah bordil Pondok Ijo, Bangunrejo, Surabaya. Di sinilah pada 1999 ia kepincut pada Mulyono, yang waktu itu membuka usaha penyewaan VCD dan Play Station. Sejak itu keduanya hidup bak suami-istri.
Tapi hubungan mereka tak direstui keluarga Lisa, juga keluarga Mulyono. Sebab, di Gondanglegi, Pasuruan, Mul-yono telah punya istri, Sulastri nama-nya. Karena sering mengajak Lisa pulang, pada 2001 Mulyono diminta me-ngawininya secara siri. ”Nggak enak sama tetangga,” kata Budi Santoso, kakak kandung Mulyono.
Sejak menikah dengan Lisa inilah, ja-lan hidup Mulyono mulai berubah. ”Usaha-nya bangkrut,” kata Budi. Padahal-, sebelum hidup dengan Lisa, Mulyono punya usaha berjualan klepon (sejenis makanan kecil) dengan merek ”Wahyu Klepon”, mempunyai salon kecantikan bernama ”Mul King”, dan usaha penyewaan biliar. Dari usaha ini, Mulyono berhasil membeli dua truk dan dua mobil.
Namun, setelah mengawini Lisa, har-ta- Mulyono ludes. Truk dan mobilnya di-lego. Salon kecantikan dan meja biliar juga tak terurus. Menurut Mulyono, beristrikan Lisa ternyata ”berat di ongkos”. Setiap bulan dia harus mengeluar-kan uang Rp 3 juta untuk biaya kecantikan istrinya. Uang itu, antara lain, untuk membuat hidung dan dagu Lisa menjadi lancip dan lebih indah.
Karena keadaan Mulyono yang mabuk kepayang pada Lisa itulah, setahun kemudian Sulastri mengajukan cerai. ”Saya tak mau dimadu,” kata Sulastri. Setelah cerai, jiwa Sulastri terguncang. Dia sesekali kembali ke rumah Mulyono. ”Kalau kembali ke sini, Lastri kayak- orang kalap. Apa pun yang ada di depannya dirusak,” kata Budi.
Meskipun telah bercerai dengan istri- pertamanya, ternyata hubungan Mul-yono dengan Lisa tetap tidak bisa harmonis. Keduanya malah sering cekcok, bahkan Lisa pernah pulang ke Malang sampai satu bulan. ”Dia ingin menghindari Mulyono,” kata Winoto. Sepekan- kemudian Lisa pergi, tapi Winoto tak tahu cucunya pergi ke mana.
Saat kebingungan mencari Lisa, Wi-noto mendapat kabar dari Sugiono bahwa Lisa berada di Pontianak. Berdasarkan keterangan Winoto inilah Mulyono langsung ke Pontianak. Menurut Mul-yono, Sugiono yang membuat hidup Lisa rusak. Siapa Sugiono? Tunggu, bak cerita sinetron khas Melayu, polisi kini sedang memburu Sugiono.
Zed Abidien, Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Bibin Bintariadi (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo