Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Salah satu metode pendataan biodiversitas yang tengah berkembang adalah environmental DNA atau eDNA.
Keunggulan metode eDNA dibanding metode konvensional sensus visual adalah proses pendataan yang cepat, menjangkau area yang lebih luas, dan ramah lingkungan.
Teknik ini bisa menjadi solusi bagi pendataan keanekaragaman hayati laut Indonesia yang lebih akurat.
KEANEKARAGAMAN hayati laut Indonesia adalah salah satu yang terkaya di dunia. Namun efektivitas pengelolaannya masih menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah keterbatasan data biodiversitas yang akurat. Data yang ada saat ini belum cukup memadai atau representatif untuk mendukung penyusunan kebijakan konservasi yang efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses pendataan biodiversitas laut di Indonesia masih bergantung pada sensus visual—sebuah metode konvensional yang melibatkan pengamatan langsung di lokasi. Metode ini memiliki banyak keterbatasan, seperti prosesnya yang memerlukan waktu lama, hanya efektif di perairan dengan kondisi tertentu, dan hasilnya sangat bergantung pada keahlian penyurvei. Akibatnya, data yang dihasilkan tidak cukup lengkap dan sejumlah jenis spesies kerap terlewatkan. Hal semacam ini berpotensi menimbulkan bias yang berdampak pada akurasi data.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan metode alternatif. Kami mempelajari salah satu metode pendataan biodiversitas yang saat ini tengah berkembang dan sudah dipakai di berbagai negara, yaitu environmental DNA atau eDNA.
Hasil penelitian kami yang baru saja terbit dalam jurnal Regional Studies in Marine Science dengan judul "eDNA Uncovers Hidden Fish Diversity in the Coral Reef Ecosystems of Karimunjawa National Park, Indonesia" menunjukkan metode eDNA memiliki sejumlah keunggulan dibanding metode konvensional, seperti proses pendataan yang cepat, bisa menjangkau area yang jauh lebih luas, dan lebih ramah lingkungan. Teknik ini bisa menjadi solusi untuk pendataan keanekaragaman hayati Indonesia yang lebih akurat.
Apa Itu Environmental DNA?
Environmental DNA adalah metode untuk mendeteksi berbagai organisme melalui jejak DNA yang mereka tinggalkan di lingkungan sekitarnya, seperti air, tanah, dan udara. DNA ini bisa berasal dari sel, kotoran, kulit, atau bagian lain dari organisme, seperti sisik yang tertinggal di laut.
Jadi, kita cukup mengambil sampel air laut untuk menganalisis keberadaan organisme tersebut sehingga proses deteksi bisa lebih cepat. Selain itu, metode ini lebih ramah lingkungan karena kita tidak perlu menangkap atau menyentuh organisme secara langsung.
Dalam penelitian ini, kami mengambil sampel air laut di sekitar ekosistem terumbu karang pada empat lokasi survei pemantauan tahunan ekosistem laut di Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah. Kami membandingkan hasil temuan antara metode eDNA dan sensus visual, dengan kelompok ikan sebagai obyek penelitian.
Hasilnya, kami menemukan hampir 60 persen spesies dan 30 persen famili ikan yang terdeteksi melalui metode eDNA belum pernah tercatat sebelumnya dalam metode sensus visual. Artinya, eDNA bisa mendeteksi spesies yang lebih luas dibanding sensus visual, seperti spesies ikan nokturnal—ikan yang aktif pada malam hari—serta migrasi ikan yang sulit diamati dengan metode sensus visual.
Dengan hasil ini, kami menilai eDNA sangat menjanjikan sebagai metode alternatif untuk melengkapi metode standar pemantauan tahunan di kawasan konservasi laut. Banyak negara sudah menerapkan metode eDNA untuk memaksimalkan pendataan biodiversitas. Salah satunya Amerika Serikat.
Dalam dokumen “National Aquatic Environmental DNA Strategy” yang dirilis oleh National Science and Technology Council (NSTC) Amerika pada Juni 2024, tercatat negeri Abang Sam memanfaatkan metode eDNA untuk mendukung kebijakan berbasis sains.
Tantangan Metode Environmental DNA
Meskipun menjanjikan, penerapan metode eDNA ini masih perlu penyempurnaan. Dalam praktiknya, keakuratan hasil pendataan biodiversitas dengan metode eDNA bergantung pada metode analisis data yang tepat.
Studi kami yang diterbitkan dalam Marine Biodiversity Journal membandingkan empat metode analisis (pipeline) yang digunakan untuk memproses data eDNA, yaitu Anacapa, kombinasi QIIME2 dengan DADA2, kombinasi QIIME2 dengan Deblur, dan Galaxy.
Hasil penelitian menunjukkan pemilihan metode analisis berpengaruh pada jumlah dan komposisi spesies atau famili yang terdeteksi. Analisis dengan pipeline Anacapa terbilang lebih andal karena bisa mendeteksi beberapa taksa—kelompok organisme—yang tak dapat terdeteksi oleh tiga metode lain, meski perbedaan jumlah taksa antarmetode tersebut tidak terlalu jauh.
Studi selanjutnya yang kami lakukan bersama sejumlah rekan peneliti lain menunjukkan penerapan eDNA sebagai metode standar di dunia—terutama di negara-negara Asia—masih terhambat berbagai tantangan, seperti biaya dan aksesibilitas.
Indonesia, seperti kebanyakan negara-negara di Asia, belum bisa memproduksi alat-alat dan bahan laboratorium yang dibutuhkan untuk memproses eDNA sehingga masih harus mengimpor. Selain itu, teknologi yang digunakan dalam proses identifikasi DNA spesies, yang disebut sequencing, hanya tersedia di beberapa institusi sehingga aksesnya sangat terbatas.
Wisatawan menikmati keindahan bawah laut di Pulau Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Mei 2024. ANTARA/Suwarjono
Kombinasi Metode untuk Masa Depan
Menimbang berbagai tantangan untuk mengadopsi metode eDNA dalam skala luas, metode lama, yaitu sensus visual, tampaknya memang masih akan terus dipakai sebagai standar dalam pendataan dan pemantauan kawasan konservasi laut di Indonesia. Namun akan lebih baik jika pemerintah mengupayakan eDNA sebagai metode pelengkap.
Sampai saat ini, pemerintah telah membentuk kawasan konservasi laut (KKL) seluas 29,28 juta hektare untuk menjaga agar biodiversitas laut tetap lestari. Pemerintah menargetkan akan memperluas kawasan ini hingga 32,5 juta hektare atau 10 persen luas laut Indonesia pada 2030 dan 97,5 juta hektare atau 30 persen luas laut Indonesia pada 2045.
Namun riset evaluasi terhadap 61 lokasi kawasan konservasi laut menunjukkan sekitar 61 persen kawasan masih dikelola pada tingkat minimal dan 39 persen dikelola pada tingkat optimal. Dengan kata lain, sebagian besar kawasan konservasi hanya memenuhi standar pengelolaan dasar atau minimal.
Riset yang sama menunjukkan tidak ada satu pun lokasi penelitian yang berhasil mencapai status dikelola secara berkelanjutan. Hal ini berarti, meskipun beberapa kawasan telah dikelola secara optimal, belum ada yang mampu memenuhi standar pengelolaan yang benar-benar menjamin keberlanjutan ekosistem laut dalam jangka panjang.
Integrasi metode eDNA berpotensi meningkatkan akurasi serta cakupan data keanekaragaman hayati laut. Dengan demikian, pengelolaan kawasan konservasi bisa lebih efektif, mendukung capaian target pemerintah, serta memastikan kelestarian kekayaan laut Indonesia untuk generasi mendatang. ●