Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut hutan di Provinsi Gorontalo terancam mengalami deforestasi terkait dengan rencana pemerintah menggenjot proyek transisi energi di Indonesia melalui produk bioenergi berjenis pelet kayu (wood pellet).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru Kampanye FWI Anggi Prayoga mengatakan, berdasarkan data FWI, hutan alam yang tersisa di Gorontalo sekitar 693.795 hektare atau seluas 57 persen luas daratan, dengan tren deforestasi yang terjadi sepanjang 2017-2023 sudah mencapai 35.770,36 hektare. Sementara itu, sebanyak 10 izin konsesi hutan dengan luas 282.100 hektare akan dipersiapkan untuk proyek bioenergi di Gorontalo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ditambah lagi Gorontalo merupakan salah satu eksportir wood pellet terbesar di Indonesia," kata Anggi dalam "Roundtable CSO dan Media Menegakkan Transparansi: Peran Media dalam Mengawal Proyek Energi dan Deforestasi di Gorontalo" yang digelar di Jakarta, Kamis, 26 September 2024.
Anggi mengatakan ekspor pelet kayu dari Gorontalo selama ini menyasar negara Jepang dan Korea Selatan. PT Biomassa Jaya Abadi (BJA) merupakan satu-satunya eksportir yang tercatat sebagai perusahaan industri pengolahan kayu primer menjadi pelet kayu di Gorontalo.
BJA, disebutnya, mendapatkan sumber bahan baku kayu dari dua transformasi perusahaan sawit, yakni Inti Global Laksana (IGL) dan Banyan Tumbuh Lestari (BTL). "Hasil investigasi tim FWI, BJA menggunakan bahan baku berasal dari kayu hutan alam, bukan berasal dari kayu hutan tanaman," ungkapnya.
Menanggapi FWI, Direktur Operasional Biomasa Jaya Abadi, Burhanuddin, mengatakan bahwa perusahaannya telah memiliki legalitas untuk memproduksi dan mengekspor wood pellet, bahkan telah mendapatkan persetujuan dari KLHK untuk pengelolahan hasil hutan atas penggunaan areal konsesi. Dengan demikian, BJA telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk membangun industri yang berkelanjutan.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada periode Oktober 2023 - 20 Agustus 2024 BJA telah mengekspor sebanyak 82.273.691 kilogram dengan nilai ekspor sebesar US$ 11.199.637. Hal itu mengukuhkan Gorontalo sebagai provinsi terbesar pengekspor pelet kayu.
Juru Kampanye Trend Asia Amalya Reza Oktaviani mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun Trend Asia, Indonesia menempati posisi ketujuh sebagai negara pengekspor pelet kayu terbesar di dunia dengan 1.804 pengiriman, sementara Ukraina menempati posisi pertama dengan jumlah 78.509 pengiriman.
Menurut Amalya, dalam dua tahun terakhir volume dan nilai ekspor pelet kayu Indonesia mengalami tren kenaikan. Pada 2021, volume ekspor mencapai 367.942.425 kilogram dengan nilai ekspor US$ 36.320.863. Kenaikan signifikan terjadi di tahun selanjutnya di 2022 dengan volume ekspor mencapai 508.650.056 kilogram dengan nilai ekspor sebesar US$ 62.913.917.
"Permintaan pelet kayu industri mencapai 14 juta ton di 2017. Dalam 10 tahun ke depan diprediksi permintaan akan meningkat dua kali lipat menjadi 36 juta ton," katanya. Di sisi lain, bahan baku bioenergi diprediksi akan datang dari hutan-hutan dari negara berkembang seperti Indonesia, Vietnam, dan Brasil.
Saat ini, kata Amelya, bioenergi menjadi penyuplai sumber energi terbarukan terbesar secara global dengan kontribusi sebesar 55 persen, termasuk berkontribusi menyumbang 6 persen suplai energi global. Peningkatan tersebut diprediksi akan memengaruhi deforestasi hutan-hutan negara berkembang seperti Indonesia, Vietnam, dan Brazil. "Penggunaan bioenergi meningkat rata-rata 3 persen per tahun antara tahun 2010-2022, dan trennya meningkat," katanya.
Direktur Eksekutif Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Muhammad Ichwan mengatakan berdasarkan temuan di lapangan, pelanggaran terjadi dalam bentuk pemalsuan dokumen angkutan dengan melibatkan eksportir nonprodusen. Temuan tersebut menunjukkan perusahaan selama ini telah melakukan kecurangan dengan menyembunyikan jenis kayu sesungguhnya yang akan diekspor.
"Pinjam bendera perusahaan yang tidak memiliki V-Legal tetapi masih melakukan ekspor kayu olahan. Modusnya bekerja sama dengan PPJK, di sisi lain mekanisme penerbitan V-legal masih ada celah," ujarnya.
Pakar Hutan dan Lingkungan Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF) Marius Gunawan mengatakan modus ekspor ilegal pelet kayu dilakukan dengan menggunakan dokumen palsu dengan dalih menunjukkan legalitas bahan baku, termasuk di antaranya agar dapat memanipulasi nilai produk untuk menghindari pajak dan bea cukai.
Ekspor ilegal, kata Marius, dilakukan dengan pengiriman melalui jalur tidak resmi agar menghindari jalur bea cukai resmi. Salah satunya, melalui Gorontalo dengan titik ekspor ke Korea. "Kejatahan ekspor ilegal dalam konteks pelet kayu akan turut membuka kejahatan baru lainnya. Ini yang harus diwaspadai bersama," ungkapnya.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo mengatakan saat ini kawasan tidak berhutan di Indonesia mencapai 35 juta hektare, sementara kemampuan pemerintah melakukan reforestasi hanya 30.000 hektare per tahun. "Jika berhasil rehabilitasi 100 persen, maka diperlukan waktu lebih dari 1.000 tahun," ujarnya.
Akademisi Universitas Pertahanan, Laksda TNI (Purn) Suyono Thamrin mengatakan setiap aktivitas ekspor terbuka peluang terjadinya transhipment di tengah menuju negara tujuan ekspor. Transhipment merupakan proses pemindahan muatan atau barang dari satu kapal ke kapal lainnya.
Padahal, proses ekspor secara legal dilakukan dengan pemberhentian satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya (port to port). "Kemudian di pelabuhan itulah dilakukan pemeriksaan dokumen komoditi yang dibawa, kapal, crew, dan pajak atau bea cukai," katanya.