Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kata Walhi tentang Pemutihan Sawit Kawasan Hutan yang Diduga Sebabkan Kejagung Geledah KLHK

Menurut Walhi, kurun waktu 2016-2024 terdapat dua kebijakan yang dikeluarkan terkait dengan pemutihan sawit dalam kawasan hutan.

6 Oktober 2024 | 14.48 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Uli Arga Siagian, saat diwawancara di Kantor Eksekutif Nasional Walhi di Jakarta, pada Selasa 23 Januari 2024. (Alif Ilham Fajriadi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan penggeledahan ini terkait dengan tata kelola sawit dalam kawasan hutan, hampir bisa dipastikan berkaitan dengan pelepasan kawasan hutan untuk dijadikan perkebunan sawit. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, menyampaikan meski Kejaksaan Agung belum menyatakan secara spesifik terkait penggeledahan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tetapi melihat kurun waktu 2016-2024 terdapat dua kebijakan yang dikeluarkan terkait dengan pemutihan sawit dalam kawasan hutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian dalam Kawasan Hutan. "Mengenai izin perusahaan dalam kawasan hutan," ucap Uli pada Ahad, 6 Oktober 2024. Kedua, pasal 110 mengenai penyelesaian mekanisme atau penyelesaian perizinan dalam kawasan hutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menjelaskan yang dimaksud dengan pemutihan sawit adalah perubahan kawasan yang tadinya hutan menjadi lahan sawit. “Bahasa pemutihan sebenarnya, karena seharusnya kalau kita berangkat dari undang-undang sendiri itu gak boleh yang namanya sawit dalam kawasan hutan. Dia harus melalui proses perubahan status dari hutan menjadi bukan hutan,” ucapnya.

Uli menyebut dalam peraturan yang sudah diterbitkan, pemerintah memberikan waktu enam bulan untuk pengusaha sawit mengurus perizinan usaha jika belum memiliki legalitas. Harusnya, kata Uli, korporasi yang lewat dari enam bulan diberikan konsekuensi hukum sebagaimana yang telah diatur dalam PP itu. Bukan malah memberikan perpanjangan waktu dengan menerbitkan peraturan baru.

“Nah, bukannya memberikan sanksi, justru kan pemerintah menerbitkan lagi peraturan pemerintah nomor 104 tahun 2015. Poinnya sama penyelesaian tadi ya, penyelesaian dalam kawasan hutan dan diberikan waktu tiga tahun sejak PP diterbitkan,” ucapnya. “Berarti sampai 2018." Namun, kata Uli, yang seharusnya jatuh tempo pada 2018, menjadi lebih lama lagi setelah diterbitkan UU Cipta Kerja pasal 110 A dan 110 B. Melalui UU Cipta Kerja ini, perusahaan diberikan waktu sampai dengan November 2023.

“Sebenarnya, pemerintah kita itu berkali-kali melakukan penerbitan kebijakan untuk mengakomodasi perusahaan-perusahaan yang melanggar. Dan pemerintah sendiri nggak pernah mengikuti aturan yang mereka buat,” tuturnya.

Uli juga menyampaikan ada dua hal yang salah dari KLHK. Pertama, mekanisme perizinan perusahaan ini sangat tertutup dan tidak ada akses yang bisa dibuka untuk publik. Sehingga tidak bisa diketahui keabsahan data yang digunakan oleh korporasi saat mendaftar.

“Kalau misalnya self-reporting pakai data perusahaan, apakah dilakukan tuntas untuk melihat kebenarannya? Bisa jadi misalnya datanya itu tidak benar, tidak sama dengan data pemerintah. Itu kan juga menjadi problem,” ucap Uli. “Dan tidak ada ruang untuk verifikasi kebenaran dari itu."

Kesalahan kedua, Uli mengatakan tiba-tiba dalam perjalanannya Menteri LHK mengeluarkan  Peraturan Menteri SK.661 yang berkaitan dengan model atau mekanisme perhitungan denda. Menurutnya, kalau mengacu pada aturan sebelumnya harusnya perhitungan sanksi dan biaya denda itu berbasis dengan keberagaman jenis pohonnya.

“Yang tentu kalau jenis pohonnya berbeda, harganya juga berbeda.Tapi peraturan menteri ini dia menyamakan semuanya,” jelas Uli.

Selain itu, ia menyampaikan bahwa denda perusahaan dengan menggunakan beleid ini jauh lebih kecil dibandingkan ketika menggunakan aturan sebelumnya. Misalnya, landscape hutan di Sumatera dengan landscape hutan di Papua itu jauh berbeda. Sehingga tegangan dan jenis pohonnya juga berbeda. “Harga semak belukar dengan pohon yang bagus sekali dan mahal harganya itu disamakan semua,” tutur Uli.

Dari dua alasan ini, kata Uli, Walhi menyimpulkan bahwa proyek tersebeut rentan praktik korupsi dan gratifikasi. “Pertanyaannya adalah siapa yang mempromosikan harus dibentuk atau harus diterbitkan peraturan menteri menghitung jenis pohon disamakan,” ucap manajer kampanye lingkungan itu.

Tim penyidik Kejaksaan Agung sebelumnya menggeledah kantor KLHK di di Gedung Manggala Wanabakti, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 3 Oktober 2024. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengatakan penggeledahan tersebut terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola perkebunan kelapa sawit tahun 2016-2024.

Dari pantauan Tempo, Kejagung mengangkut empat boks beserta dua kardus kecil saat keluar dari kantor KLHK. "Kalau sudah ada infonya kami sampaikan, ya," ujar Harli saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 5 Oktober 2024.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus