MASA suram itu kini tinggal kenangan bagi 2.067 keluarga, warga asli dan transmigran lokal TNIAL, yang hidup di Desa Grati, Pasuruan, Jawa Timur. Kemiskinan yang menggigit mereka selama ini - akibat lahan 3.500 hektar di sana tak bisa ditanami apa-apa, kecuali kaktus dan semak - sirna berbarengan dengan berhasilnya upaya mengairi padang kerontang yang tadinya tempat latihan militer itu. Adalah Laksamana Waloeio Soeito (waktu itu kasal) yang menancapkan tekad pada 1981 untuk mengubah wajah Desa Grati. Menurut Waloejo, padang tandus lokasi latihan TNI-AL itu, yang sejak 1972 sudah menjadi areal transmigrasi lokal bagi purnawirawan, harus diairi dengan menaikkan air Kali Rejoso ke Bukit Semongkrong dan Awu, tempat padang itu membentang, yang tingginya 84 meter. Langkah ini, yang semula dianggap tak mungkin dilakukan, ditempuh karena usaha mengairi padang dengan sumur artetis gagal total. Desa Grati, pada masa lalu, memang menyedihkan. Tanahnya jenis sandy clay (tanah yang keras dan amat tinggi tingkat penyerapan airnya), yang berkombinasi pula dengan jenis gramusol dan latusol (tanah yang makin mengeras setelah menyerap air). Selain itu, curah hujan di padang tersebut rata-rata 900 mm per tahun. Padahal, untuk membuka lahan seperti itu dibutuhkan curah hujan paling sedikit 1.800 sampai 2.000 mm per tahun. Maka, dulu, angan-angan menjadikan padang itu sebagai lahan tadah hujan terpaksa ditinggalkan. "Ketika itu, kami semua menangis, dan sepakat mundur sampai mendapatkan akal untuk menaikkan air," tutur J. Hadi Santoso, direktur utama PT Kebun Grati Agung - yang bersama PT Bumi Grati Podo Makmur, milik Yayasan Bhumyamca kepunyaan TNI-AL, mengelola bekas padang itu. Akal memperbaiki kondisi tanah yang buruk itu muncul setelah diadakan survel bersama para ahli dari Balai Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula, Pasuruan. Menurut surYei, lahan itu bisa diperbaiki dengan jalan melimpahruahkan air ke sana, agar tanah yang terbentuk dari kumpulan batu padas itu mencapai kejenuhan penyerapan pada tingkat tertentu. "Itu hanya bisa dicapai dengan menaikkan air Kali Rejoso," kata Letnan Kolonel Drs. Rochadi, kepala Proyek Pemukiman AL. Bagaimana cara menaikkan air Kali Rejoso? Mula-mula kemiringan dasar kali diperdalam dan diubah pada bagian tertentu. Lalu di bagian saluran yang diubah tadi dibangun mulut saluran pembuang. Ke dalam saluran pembuang itulah air kali disedot. Kemudian, setelah melewati jarak 300 meter, ditampung dalam sebuah dam. Kesulitan untuk menaikkan air ke atas dipecahkan dengan membangun stasiun pompa, guna memompa air dari bawah dam agar masuk ke saluran di bagian atas. "Jika dihitung-hitung, maka total tinggi tanjakan air yang disalurkan dengan pompa tadi bisa mencapai 84 meter," kata Santoso. Untuk mewujudkan rencana itu, yang disebut gagasan "gila" oleh Menteri Tenaga Kerja Sudomo ketika berkunjung ke sana Desember 1983, bukan kerja ampang, dan butuh dana tak sedikit. Tak kurang Rp 10 milyar sudah dihabiskan. Dana sebesar itu, yang digunakan sejak 15 Juni 1981, saat tahap pertama proyek dimulai, antara lain, untuk membangun waduk penampung air seluas 5 hektar. Dari waduk berbentuk lingkaran di lokasi jurang-jurang padas inilah air kemudian disalurkan dengan tiga pipa, yang masing-masing berdiameter 60 cm, ke areal kebun tebu dan lainnya. Pengaliran air itu dibantu dengan pompa dari stasiun yang ada di tepi waduk, karena dua saluran pipa yang menuju arah timur harus melewati jarak 600 meter dengan tinggi tanjakan 26 meter. Begitu pula pipa untuk kebun di utara yang harus melewati jarak sepanjang 800 meter dengan tanjakan 28 meter. Tiga pipa itu masing-masing menyalurkan air sampai ke kolam pembagi, yang dibangun setinggi delapan meter di atas tanah. Selanutnya air itu disuplai untuk penyiraman dengan puluhan talang yang dibangun melintang di atas kebun. Panjang talang berkilokilo meter. Misalnya, talang yang menyuplai bagian timur kebun panjangnya mencapai 3,7 km dihltung dari olam pembagi sektor timur. "Dengan begitu, kelancaran penyiraman kebun bisa terjaga," kata Santoso sembari menunjuk areal kebun yang tampak seperti instalasi penjernihan air itu. Dengan sistem seperti itulah areal kebun tebu, bawang merah, dan jagung tersebut diairi. Sistem ini sempat mengundang decak Menteri PU, waktu itu, Poernomosidi ketika berkunjung ke sana, Mei 1982. "Ini bisa dijadikan proyek percontohan untuk daerah tandus lainnya di Indonesia," kata Poernomosidi seperti dikutip Santoso. Jerih payah menghijaukan Desa Grati tak sia-sia. "Hasilnya sudah bisa dirasakan sekarang," kata Rochadi. Misalnya tanaman tebu seluas 3.000 hektar menghasilkan 9.500 kuintal per hektar pada tahun lalu. "Hingga banyak penduduk membuat gula jawa sendiri," kata Santoso. "Lima tahun lalu semua ini masih mimpi," ujar panglima Daerah IV, Laksamana Muda Gatot Suwardi, membanggakan Desa Grati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini