Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Diskursus tentang masalah lingkungan hidup tidak populer, bahkan tak disebutkan dalam pidato pertama Presiden Prabowo Subianto.
Hasil survei PPIM UIN Jakarta menunjukkan mayoritas masyarakat, terutama kalangan muslim Indonesia, tidak mengetahui gerakan Islam hijau.
Ada lima hal yang menyebabkan pengetahuan masyarakat rendah terhadap isu lingkungan. Negara turut andil.
DARI pidato pertama Presiden Prabowo Subianto, setelah pelantikannya di Gedung Nusantara Kompleks MPR/DPR pada Ahad, 20 Oktober 2024, kita tidak mendengar narasi tentang persoalan-persoalan ekologi. Gejala tidak adanya perhatian terhadap isu tersebut sangat disayangkan karena kerusakan lingkungan hidup dan dampak negatif perubahan iklim amat jelas makin mengkhawatirkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deforestasi besar-besaran berlanjut akibat kegiatan ekonomi ekstraktif yang dikelola serampangan. Polusi udara, pencemaran industri, dan sampah yang menggunung tak kunjung teratasi. Tinggi muka air laut juga terus naik. Maka sudah sepatutnya rezim kepemimpinan yang baru memperbincangkan visinya tentang program pemulihan ekologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu mengapa Prabowo tidak sedikit pun menyinggung persoalan-persoalan ekologis dalam momen bersejarah setelah pelantikannya sebagai presiden tersebut?
Ada beberapa hal yang bisa menjadi jawabannya. Pertama, isu lingkungan belum atau bahkan tidak sama sekali menjadi prioritas Presiden dalam lima tahun pemerintahannya ke depan. Kedua, mungkin saja, masalah lingkungan hidup tidak populer, sehingga Presiden mengalihkan perhatiannya pada isu populis lain demi meningkatkan popularitas politik pemerintahan baru.
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 20 Oktober 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Kami merasa nihilnya diskursus “hijau” dalam pidato Presiden berhulu pada minimnya pengetahuan masyarakat, terutama di kalangan muslim Indonesia, tentang isu lingkungan.
Hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta menunjukkan gejala tersebut. Mayoritas masyarakat muslim di Indonesia, misalnya, tidak mengetahui tentang Islam yang berwawasan lingkungan atau dikenal sebagai Green Islam. Sederhananya, Green Islam muncul sebagai praktik yang berkaitan dengan upaya-upaya pemulihan ekologi berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam.
Survei yang melibatkan 3.045 responden muslim berusia 15 tahun ke atas dari semua provinsi di Indonesia tersebut menunjukkan hanya 12,15 persen responden yang mengetahui ihwal keberadaan pesantren ekologi atau eco-pesantren. Hanya 17,04 persen responden yang mengetahui fikih penanggulangan sampah plastik. Sedangkan fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang lingkungan hanya diketahui oleh 30,38 persen responden.
Bahkan masyarakat muslim yang mengetahui soal gerakan hijau berbasis Islam pada ormas kemasyarakatan keagamaan terbesar di Indonesia, seperti Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam dan Kader Hijau Muhammadiyah, jauh lebih rendah jumlahnya.
Lantas, mengapa Green Islam sebagai gerakan belum cukup populer di Indonesia? Dalam studi kualitatif yang kami lakukan, ada setidaknya lima hal yang menyebabkan gerakan tersebut belum dikenal publik.
Lima Penyebab Green Islam Belum Populer
Pertama, gerakan Green Islam masih terfragmentasi secara luas. Kami melihat belum ada kerja-kerja kolaboratif di antara gerakan yang bernapaskan Green Islam dalam menangani persoalan kerusakan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim.
Selain itu, meminjam penjelasan Alberto Melucci, kami menilai penting untuk membangun proses penghubung dalam fase pembentukan identitas kolektif. Dalam hal ini, perlu ada kesempatan agar individu-individu dalam gerakan Green Islam lebih mengenali dan terkoneksi dengan persoalan ekologis. Dengan begitu, mereka mampu memiliki orientasi yang sama sebagai modal untuk kemunculan tindakan kolektif.
Kesenjangan pengetahuan antara masyarakat dan aktivis lingkungan menjadi penyebab yang kedua. Imajinasi tentang kedaruratan lingkungan mereka belum satu frekuensi. Alih-alih menginkorporasi nilai-nilai Islam dalam gerakan hijau, tingkat kepedulian lingkungan masyarakat masih berbeda-beda.
Kedekatan (proximity) dengan wilayah rentan bencana tentu membuat manusia yang tinggal di sekitar area tersebut lebih peduli kepada lingkungan dan cemas dengan perubahan iklim. Sebaliknya, bagi mereka yang tinggal di daerah minim persoalan lingkungan, kekhawatiran tentang kedua hal tersebut tidak besar. Päivi Lujala, Haakon Lein, dan Jan Ketil Rød dalam Climate Change, Natural Hazards, and Risk Perception: the Role of Proximity and Personal Experience (2015) menemukan kesimpulan ini dari pengalaman Norwegia.
Untuk pengalaman Indonesia, salah satu praktik baik yang kami temukan ihwal penumbuhan kesadaran lingkungan adalah berangkat dari isu yang berkaitan dengan persoalan ekologi di daerah. Misalnya komunitas Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan mungkin merasa persoalan hutan merupakan isu lingkungan paling genting bagi mereka. Namun, bagi masyarakat pertanian di wilayah Pantai Utara Jawa, terendamnya lahan-lahan pertanian menjadi isu lingkungan yang amat terasa karena berdampak pada aspek sosio-ekonomi mereka.
Karena itu, para aktivis gerakan hijau, terutama gerakan Green Islam, perlu merajut satu metanarasi bahwa persoalan-persoalan lokal juga merupakan mata rantai dari masalah lingkungan yang lebih bersifat global.
Kondisi jalur utama Pantura Demak-Kudus yang terendam banjir di Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, 18 Maret 2024. ANTARA/Aji Styawan
Penyebab ketiga, sebagian besar gerakan Islam hijau belum mampu mengoptimalkan sumber daya organisasi yang mereka miliki. Jaringan merupakan salah satu kekuatan utama organisasi, apalagi bagi komunitas yang sudah berskala nasional. Karena itu, organisasi-organisasi yang berkecimpung dalam gerakan Green Islam perlu mentransmisikan pengetahuan tentang pengalaman ekologis ke tingkat yang lebih dasar di daerah.
Keempat, belum maksimalnya pelibatan perempuan di isu-isu lingkungan ternyata juga menjadi salah satu alasan kurang populernya gerakan Green Islam. Kaum perempuan merupakan agensi penting dalam gerakan ekologi secara umum. Di Indonesia, perempuan cenderung lebih banyak terlibat dalam kerja-kerja yang bergantung pada sumber daya alam secara langsung seperti pengelolaan air. Dalam diskursus feminist political ecology, salah satu argumen yang mengemuka adalah perempuan cenderung punya kontrol lebih tinggi dibanding laki-laki, terutama berkaitan dengan konservasi sumber daya yang berdampak pada penghematan ekonomi atau economics of care (Bauhardt & Harcourt 2018).
Kelima, dukungan negara untuk mempopulerkan gerakan Green Islam masih minim. Negara dapat memainkan peran penting sebagai fasilitator dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam hijau ke dalam kebijakan ekologi yang lebih besar.
Warga mengamati tumpukan sampah di bantaran Kali Cikarang Bekasi Laut (CBL) di Desa Muara Bakti, Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 15 November 2024. ANTARA/Fakhri Hermansyah
Lembaran Baru
Dukungan negara, tentu saja, bukan sekadar tentang ada atau tidaknya isu ekologi dalam pidato kepresidenan. Kami berharap persoalan ekologi bisa menjadi salah satu narasi positif dalam lembaran baru Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran.
Pemerintah perlu berperan menumbuhkan kepedulian ekologis. Agama, khususnya Islam yang dipeluk hampir 87 persen populasi Indonesia, dapat dipertimbangkan sebagai aspek penting dalam upaya tersebut. Penyebaran pengetahuan tentang Green Islam sebagai wawasan lingkungan berbasis agama penting dilakukan untuk menyulut semangat praktik-praktik pemulihan ekologi di akar rumput.
Lebih dari itu, pemerintahan lima tahun ke depan juga harus menginternalisasi wawasan ekologis dalam setiap tugas pokok dan fungsi kerjanya.
Sejauh ini, kami menilai komitmen dan arah kebijakan pemerintahan baru terhadap persoalan ekologi belum terang. Langkah awal Presiden Prabowo memisahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, misalnya, justru menimbulkan dua makna yang bertolak belakang: sebagai bagian dari kebijakan pro-lingkungan atau semata-mata untuk mendukung pembangunan nasional yang nir-etik. Wallahualam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Endi Aula Garadian, peneliti PPIM UIN Jakarta, berkontribusi dalam artikel ini. Artikel ini bagian dari Kolokium, program penulisan sains popular dan pengembangan komunitas peneliti yang dikelola Tempo. Sebagai rubrik, Kolokium terbit Sabtu.