Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tim kuasa hukum yang mendampingi gugatan warga negara (citizen lawsuit) atas pencemaran udara Jakarta melaporkan majelis hakim persidangannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Ini adalah buntut penundaan sidang putusan yang terus terjadi hingga tiga bulan per jadwal sidang terkini pada Kamis, 9 September 2021, lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga hakim yang dilaporkan terdiri dari Saifudin Zuhri, Duta Baskara dan Tuty Haryati. Adapun pelaporan berisi dugaan penundaan perkara secara berlalrut-larut dan dinilai sudah pelanggaran Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaporan dibuat dan dikirim tim advokasi usai ketiga hakim menunda sidang putusan untuk ketujuh kalinya pada pekan lalu. Kamis pekan ini, penundaan kembali terjadi, menjadi kedelapan. “Kami sepakat untuk melaporkan majelis hakim atas dugaan pelanggaran kode etik, dan kita juga meminta pemantauan perkara kepada KY dan Bawas MA untuk memantau perkara ini,” kata Ayu Eza Tiara dari Manaf Law Firm seperti dikutip dari siaran pers dari keterangan yang diberikan Koalisi Ibukota, Kamis lalu.
Menurut Ayu, penundaan hingga tujuh kali itu tidak pernah terjadi di kasus hukum manapun. “Jika biasanya penundaan hanya satu kali dan rentang waktunya hanya satu minggu, tapi ini sudah lebih dari tiga bulan untuk pembacaan sidang putusan saja,” ujarnya menambahkan.
Menurut Ayu, Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri beberapa kali menyampaikan permintaan maaf karena kembali menunda sidang untuk kedelapan kalinya. Tidak hanya itu, hakim juga mengaku telah mendapat teguran dari Ketua Pengadilan. Tapi itu belum mengubah apa-apa karena rencana terbaru untuk menggelar sidang pada Senin depan, 13 September 2021, pun sudah dibatalkan kembali.
“Tanggal tersebut dibatalkan karena Majelis Hakim bilang Senin banyak agenda sidang kasus korupsi yang lebih urgent daripada polusi udara. Pernyataan itu tentu saja menyedihkan,” kata Ayu.
Tim kuasa hukum penggugat menilai, kasus pencemaran udara sesungguhnya adalah kasus yang juga mendesak karena berkaitan dengan hak asasi manusia. Terlebih jika dikaitkan dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini. Hak atas udara bersih ditegaskannya adalah hak yang seharusnya segera dipenuhi oleh pemerintah. “Dengan penundaan ini secara tidak langsung sama saja majelis hakim tidak memberikan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat.”
Jenny Sirait dari LBH Jakarta menambahkan bahwa putusan sidang gugatan ini menjadi sangat penting karena bisa menjadi legitimasi betapa sebenarnya baik itu pemerintah pusat dan daerah, harus memiliki kepedulian yang kuat terkait polusi udara di DKI Jakarta. “Karena tentu saja itu artinya pemerintah memiliki concern yang kuat juga terhadap kondisi kesehatan publik,” katanya.
Jenny menambahkan, di tengah pandemi saat ini, kondisi kesehatan publik tidak dapat dilepaskan oleh berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah. Termasuk juga polusi udara. “Jangan sampai di tengah pandemi kita sudah sesak akibat Covid, tapi juga harus sesak akibat polusi udara,” tutur Jenny.
Alghifari Aqsa dari AMAR Lawfirm yang juga hadir dalam tiap persidangan menambahkan, penundaan berlarut-larut dalam pembacaan sidang putusan perkara ini dikhawatirkan bisa memicu persepsi adanya lobi pihak-pihak yang berkepentingan di luar pengadilan. Dia mencatat, total sudah 742 hari proses gugatan ini berlangsung, sejak didaftarkan pada 4 Juli 2019.
Alghif juga menyebut, umumnya dari sidang kesimpulan hingga putusan hanya membutuhkan dua minggu. Penundaan putusan pun umumnya hanya 1-2 kali. “Hakim seharusnya tahu kasus ini sangat serius karena para penggugat adalah korban dari pencemaran udara,” katanya.