Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Habitat orang utan Tapanuli terimpit tambang emas dan pembangunan PLTA Batang Toru.
Orang utan kerap mendatangi kebun penduduk untuk mencari makanan.
Rawan konflik dengan manusia.
TANGAN Bullah Hutasuhut menunjuk sebuah rumah orang utan Tapanuli setinggi 25 meter di dua pohon rambutan dan kemenyan di kebunnya di Dusun Sitandiang, Desa Bulu Mario, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, di ekosistem Batang Toru. Sarang Pongo tapanuliensis yang terbuat dari dedaunan itu sudah kosong, tinggal sampah kulit buah rambutan yang berserakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bullah, 68 tahun, sudah terbiasa melihat kulit buah berserakan di kebunnya. Tandanya tadi malam ada pesta makan orang utan di kebunnya. Ia mengatakan penduduk Dusun Sitandiang tak pernah merasa terganggu oleh kehadiran orang utan yang mencuri buah dari kebun mereka. Karena itu, tak ada penduduk yang memburu atau menangkap satwa tersebut. “Pernah sekali ada yang coba menembaknya, tapi peluru tidak tembus,” kata Bullah pada Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penduduk menyebut orang utan dengan sebutan “mawas”. Pada 2017, publikasi di jurnal Current Biology menggolongkan mawas sebagai spesies baru di luar orang utan Kalimantan dan Sumatera. Temuan orang utan Tapanuli menambah spesies baru orang utan yang ada di hutan tropis Indonesia. Habitat orang utan Tapanuli di ekosistem Batang Toru tersebar di tiga blok seluas 163 ribu hektare.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pada 2018 populasi orang utan Tapanuli sebanyak 800 individu. Para peneliti khawatir populasi itu berkurang lantaran habitat mereka menyempit karena pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang memakan lahan 122 hektare serta tambang emas Martabe seluas 130 ribu hektare.
Area pembangunan PLTA Batang Toru berada di koridor blok barat dan timur. Menurut Zulkan Hutasuhut, tetangga Bullah, lokasi PLTA dulu rimbun oleh pohon buah-buahan. Karena itu, orang utan membangun rumah di sana. Sejak 2016, sejak PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), pemilik PLTA Batang Toru, membangun dam dengan bom untuk menghancurkan tebing-tebing sebagai jalan air Sungai Batang Toru, makin banyak orang utan yang mencari makan di kebun penduduk.
Bullah Hutasuhut/Tempo/ Mei Leandha
Pernyataan Zulkan terkonfirmasi oleh catatan KLHK. Sepanjang November-Desember 2022 saja, menurut survei Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, dua kali orang utan tepergok makan di kebun warga Desa Bulu Mario. “Sedikit-banyak ada dampak pembangunan PLTA terhadap perilaku orang utan,” ucap Wanda Kuswanda, peneliti KLHK yang kini menjadi peneliti ahli utama Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Wanda meneliti orang utan Tapanuli sejak awal 2000. Ia juga pernah meneliti dampak pembangunan PLTA terhadap orang utan di Batang Toru. Dalam penelitian, ia pernah berserobok dengan orang utan yang berjalan di tanah. Orang utan adalah primata arboreal yang menghabiskan hidup di atas pohon. “Apakah itu semacam keterpaksaan atau perilaku alami yang belum terungkap?” tanya Wanda.
Perilaku lain orang utan yang berubah adalah cara mereka membuat sarang. Menurut Wanda, biasanya orang utan bersarang di pohon dengan ketinggian 4-5 meter. Di area penggunaan lain yang masuk radius lokasi bendungan PLTA, ketinggian sarang orang utan umumnya 5-25 meter. Wanda menilai sarang yang makin tinggi menunjukkan orang utan perlu lebih leluasa memantau sekelilingnya. Artinya, mereka menilai ada potensi ancaman di sekitar.
Kapasitas PLTA Batang Toru sebesar 510 megawatt. PT NSHE berkantor di Jalan Dharmawangsa VII, Jakarta Selatan. Pemilik sahamnya korporasi asal Singapura, Fareast Green Energy, serta PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi—anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)—dan PT Dharma Hydro Nusantara. Fareast bersama Asia Ecoenergy Development merupakan pemilik PT Dharma.
Pembangunan PLTA Batang Toru menelan biaya Rp 21 triliun, pinjaman dari Bank of China. Konstruksi pembangunannya digarap Sinohydro, perusahaan negara Cina yang mengerjakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. PLTA Batang Toru masuk daftar proyek strategis nasional yang harus rampung pada 2026.
Selain PLTA Batang Toru, di ekosistem ini ada aktivitas pertambangan emas Martabe milik PT Agincourt Resources yang beroperasi pada 2012. PT Agincourt bagian dari Astra Group. Mayoritas saham PT Agincourt dimiliki PT Danusa Tambang Nusantara, anak usaha United Tractors. Sisanya milik PT Artha Nugraha Agung, perusahaan kongsi antara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Analisis citra satelit oleh Greenpeace Indonesia, lembaga swadaya masyarakat lingkungan, mencatat area terbuka konsesi PT Agincourt hingga Maret 2023 seluas 482,64 hektare. Area itu terdiri atas tambang terbuka 316,47 hektare, bendungan 101,55 hektare, serta bangunan 64,61 hektare. Dari 130 ribu luas lahan konsesi tambang emas Martabe, sebagian masuk kawasan hutan.
Menurut Greenpeace Indonesia, lahan konsesi PT Agincourt dan PLTA Batang Toru merupakan habitat orang utan Tapanuli dan harimau Sumatera. Analisis Greenpeace terhadap Agincourt diperkuat hasil studi Wanda Kuswanda. Menurut dia, salah satu habitat orang utan di area konsesi Agincourt berada di Bukit Purnama.
Pada kurun 2003-2005, Wanda pernah menjelajah bukit tersebut dan menemukan banyak kawanan orang utan. Seiring dengan pembukaan tambang emas di Bukit Purnama, Wanda mengungkapkan, orang utan di sana perlahan menghilang. “Ada dua kemungkinan: orang utan bermigrasi atau mati dengan berbagai sebab,” tuturnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara pada 2016-2020 juga menganalisis secara spasial lahan konsesi Martabe untuk melihat dampak penambangan emas terhadap habitat orang utan. Dana Tarigan, pemimpin Walhi periode itu, mengatakan wilayah kerja PT Agincourt seluas 27 ribu hektare tumpang-tindih dengan ekosistem Batang Toru yang menjadi rumah bagi orang utan Tapanuli, harimau Sumatera, tapir, serta 60 jenis mamalia lain.
Berdasarkan analisis spasial wilayah kerja Agincourt, kata Dana, area konsesi tambang emas Martabe tumpang-tindih dengan lima daerah aliran sungai yang merupakan sumber air bagi 100 ribu penduduk di hilir. Menurut dia, Sungai Batang Toru juga terkena dampak aktivitas tambang emas Martabe. “Kami menemukan limbah diduga dibuang ke sungai,” ucap Dana, kini Direktur Green Justice Indonesia.
Lubang pembuangan limbah di sekitar Sungai Batang Toru, 14 Mei 2023/Tempo/ Mei Leandha
Penelusuran Tempo di area tambang menemukan lubang berdiameter lebih dari 50 sentimeter menyembul di gigir Sungai Batang Toru, tak jauh dari tiang bercat merah bertulisan "AR 658". Beberapa penduduk yang tinggal tak jauh dari lokasi lubang itu mengatakan lubang tersebut biasanya menyemburkan limbah penambangan emas saat turun hujan lebat.
Boy Kelana Soebroto, Head of Corporate Communications Astra Group, menyanggah kabar bahwa perusahaannya membuang limbah penambangan emas ke Sungai Batang Toru. Boy mengatakan semua limbah dibuang ke fasilitas penampungan tailing untuk diolah kembali. “Tempat itu aman meski di bawah curah hujan ekstrem dan kondisi seismik serta dioperasikan sesuai dengan praktik industri terkemuka,” katanya.
Boy mengirim tautan laman https://agincourtresources.com/biodiversity. Dalam laman itu, PT Agincourt menyatakan perusahaan turut berkontribusi melestarikan dan melindungi keanekaragaman hayati ekosistem Batang Toru, termasuk orang utan Tapanuli.
Adapun PT NSHE, diwakili Vice President Corporate Communications PT PLN Nusantara Power Fenny Nurhayati, mengatakan perusahaannya berkomitmen menjaga ekosistem lingkungan, termasuk orang utan Tapanuli. “Kami melakukan beragam upaya untuk menjaga ekosistem orang utan bersama pemerintah,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mei Leandha dari Tapanuli Selatan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cemas Kehilangan Mawas"