Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
LSM Amerika Serikat, Mighty Earth, menjalin lobi dengan bos PT NSHE yang membangun PLTA Batang Toru.
Mighty Earth adalah NGO yang lantang mengkritik pembangunan PLTA Batang Toru.
Mighty Earth menawarkan pendanaan baru di luar Cina.
MESKI sudah lewat empat tahun, Anton Sugiono masih mengingat detail pertemuannya dengan Glenn Hurowitz pada 6 Maret 2019. Komisaris Utama PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) itu bertemu dengan Hurowitz selaku Chief Executive Officer Mighty Earth, lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan asal Amerika Serikat, di restoran Nishimura, Hotel Shangri-La Jakarta. “Diskusi kami sangat menarik,” kata Anton, 66 tahun, pada Kamis, 13 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hurowitz datang ke Jakarta dan bertemu dengan Anton untuk menanyakan mitigasi PT NSHE dalam mencegah kerusakan habitat ekosistem Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, akibat pembangunan bendungan buat pembangkit listrik tenaga air (PLTA). PT NSHE waktu itu baru tiga tahun membuat bendungan Batang Toru sebagai sumber tenaga pembangkit berkapasitas 510 megawatt.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemakaian dinamit untuk terowongan air dan kehadiran manusia di hutan itu ditengarai membuat kehidupan orang utan Tapanuli terganggu. Padahal orang utan Tapanuli baru saja ditetapkan—setahun setelah NSHE membangun bendungan—sebagai spesies baru orang utan dalam jurnal Current Biology. Namanya Pongo tapanuliensis, menambah panjang daftar jenis orang utan, setelah orang utan Kalimantan dan Sumatera.
Publikasi peneliti Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, di Current Biology itu menjadi dasar para pegiat dan pencinta lingkungan untuk mengkritik pembangunan dam PLTA Batang Toru oleh NSHE. Memakai lahan seluas 122 hektare dengan dana pinjaman Bank of China sebesar Rp 21 triliun, proyek ini masuk daftar proyek strategis nasional yang harus selesai pada 2022—lalu direvisi menjadi pada 2026.
Glenn Hurowitz/www.linkedin.com/posts/glenn-hurowitz
Sebagai LSM lingkungan, Mighty Earth getol menyoroti pembangunan PLTA Batang Toru. Beberapa jam sebelum bertemu dengan Anton di Shangri-La, Hurowitz bersama Panut Hadisiswoyo, pendiri Orangutan Information Centre, menjadi narasumber konferensi pers kontroversi PLTA Batang Toru di Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta.
Dalam siaran pers seusai acara itu, Mighty Earth, Orangutan Information Centre, Sumatran Orangutan Conservation Programme, dan Center for Orangutan Protection membentuk Koalisi Perlindungan Orangutan Tapanuli. Koalisi ini menulis surat kepada Presiden Joko Widodo agar menghentikan pembangunan PLTA itu.
Anton Sugiono mengatakan suasana pertemuan dengan Glenn Hurowitz di Shangri-La itu sangat cair. Ia ditemani dua koleganya, Tito Pranolo dan Agus Djoko Ismanto, mengobrol tentang Batang Toru selama tiga jam. Selesai berbincang, Anton menyimpulkan Hurowitz menerima penjelasannya mengenai dampak pembangunan PLTA terhadap habitat orang utan. “Saya antarkan dia ke Hotel Westin di kawasan Kuningan tempat dia tinggal selama di Jakarta,” tutur Anton.
Selepas berpisah di Westin, Hurowitz mencatat obrolan dalam pertemuan tersebut dan mengirimkannya tengah malam itu juga kepada Anton lewat surat elektronik. “Sepertinya dia langsung membuat draf ‘joint commitment'," ucap Anton.
Ada tiga poin penting dalam catatan Hurowitz. Ia menulis bahwa Mighty Earth dan NSHE berkomitmen melindungi orang utan Tapanuli dan ekosistem Batang Toru, membentuk tim ahli untuk mengevaluasi dampak pembangunan PLTA terhadap orang utan dan masyarakat sekitar proyek, serta menawarkan opsi pembiayaan proyek PLTA dan energi bersih di Sumatera.
Hurowitz juga meminta Anton tidak membuka lahan atau melanjutkan penggarapan konstruksi bendungan selama para ahli menggelar studi dampak PLTA. Ia meneruskan surat elektronik untuk Anton Sugiono itu kepada Tempo. Anton mengartikan Hurowitz memintanya menghentikan proyek untuk sementara waktu.
Anton menyatakan menyepakati hampir semua poin Hurowitz melalui surat elektronik, terutama tentang peluang pendanaan baru proyek. Bagi Anton, tawaran Hurowitz mengenai opsi pendanaan ini menarik karena sejak 2008 ia sudah menawarkan skema pendanaan proyek PLTA kepada pelbagai bank. Bank-bank Amerika Serikat memberikan bunga tinggi karena belum ada kepastian bisnis listrik energi terbarukan. Anton memilih Bank of China yang bersedia memberikan bunga yang lebih masuk akal.
Di luar poin-poin mitigasi dampak pembangunan PLTA terhadap orang utan dan pendanaan, Anton tak setuju dengan permintaan Hurowitz menghentikan proyek. Menurut dia, penghentian proyek merupakan keputusan pemerintah sebagai pemberi izin atau PT Perusahaan Listrik Negara sebagai pembeli listrik. “Memangnya dia siapa? LSM, kok, minta proyek berhenti?” ujarnya.
Walhasil, “joint commitment” itu batal. Kedua belah pihak tak sepakat menjalankan perjanjian berbasis obrolan itu. Sejak mengirimkan e-mail penolakan, Anton mengaku tak pernah lagi berkontak dengan Hurowitz. Sampai akhirnya ia mendapat pelbagai pemberitaan yang menyebut perusahaannya perusak lingkungan ekosistem Batang Toru dari LSM ataupun media lokal dan Jakarta.
Anton menduga pelbagai kampanye buruk itu adalah akibat langkahnya menolak memenuhi keinginan Hurowitz. Usahanya berkeliling mengajak bicara banyak orang tak membuahkan hasil. Hanya beberapa aktivis lingkungan, seperti pendiri Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Emmy Hafild, serta mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Wimar Witoelar, yang bergabung dengan NSHE sebagai komunikator.
Pongo tapanuliensis atau orang utan Tapanuli/Reuters/ Andrew Walmsley
Hurowitz mengklaim menjalin kerja sama dengan sejumlah LSM lokal memantau perkembangan PLTA Batang Toru. Setelah bertemu dengan Anton membicarakan penundaan proyek, ia mengatakan selalu membagikan informasi kepada jaringan LSM di Indonesia. Namun Panut Hadisiswoyo dari Orangutan Information Centre membantah punya kerja sama dengan Mighty Earth dalam advokasi orang utan Tapanuli. “Mereka klaim sendiri,” tuturnya.
Direktur Yayasan Ekosistem Lestari, Muhammad Yakob Ishadamy, juga menolak jika disebut menjalin kerja sama dengan Mighty Earth dalam advokasi orang utan. Ia mengatakan hanya bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Paneco Foundation dalam advokasi orang utan Batang Toru. “Kami bekerja sama dengan NSHE sejak Agustus 2019,” kata Yakob.
Lembaga lain yang mengkritik pembangunan PLTA Batang Toru adalah Walhi Sumatera Utara. Dana Tarigan memimpin organisasi ini pada 2016-2020. Ia mengatakan PLTA itu merugikan ratusan ribu penduduk yang tinggal di hulu Sungai Batang Toru karena cara kerja pembangkit yang menutup air selama 18 jam serta mengalirkannya enam jam lantaran hanya menyuplai listrik pada saat puncak pemakaian setrum (peaker).
Menurut Anton Sugiono, kritik Dana tak berbeda dengan hasil studi PT ESC Environment Indonesia pada April 2018. PT ESC merupakan konsultan lingkungan PT Agincourt Resources, perusahaan tambang emas seluas 130 ribu hektare yang bersebelahan dengan PLTA Batang Toru. Anak usaha Astra Group itu memiliki saham di perusahaan tambang emas yang acap disebut konsesi Martabe ini.
Hasil studi PT ESC menyebutkan, selama pengumpulan air, debit air berkurang menjadi 2,5 meter kubik per detik. Sedangkan aliran minimum Sungai Batang Toru 25 meter kubik per detik. Menurut Anton, laporan tersebut keliru karena NSHE tak sepenuhnya menutup bendungan. “Hasil studi itu sudah ditarik Agincourt,” ujarnya.
Dana Tarigan menyangkal kritik lembaganya terhadap PLTA Batang Toru sama dengan hasil studi konsultan tambang emas Martabe. “Sampai sekarang kami enggak tahu siapa konsultan Martabe,” katanya. “Jadi enggak mungkin kami berkoordinasi apalagi mendapat salinan hasil studi.” Adapun juru bicara Astra Group, Boy Kelana Soebroto, mengatakan studi itu dibuat jauh sebelum Astra membeli saham PT Agincourt.
Selain berita tentang habitat orang utan Tapanuli yang terancam, ada beberapa demonstrasi. Namun arahnya bukan ke kantor NSHE di Jalan Dharmawangsa, Jakarta Selatan, melainkan ke kantor Bank of China. “Tak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia,” ucap Anton. Para demonstran meminta Bank of China menghentikan pendanaan untuk NSHE yang merusak hutan dan mengancam habitat orang utan Tapanuli.
Mendapat gempuran dari pelbagai penjuru, Bank of China luluh. Menurut Anton, mereka mengancam akan menghentikan kredit jika NSHE tak bisa meredam kampanye buruk tentang lingkungan. Pilihan lain: NSHE menjual semua sahamnya kepada perusahaan Cina agar Bank of China bisa leluasa memberikan pinjaman. “Ada aturan jika masih ada entitas swasta di luar Cina mereka tak bisa memberikan dana,” tutur Anton.
Pengambilan sampel air dari Sungai Batang Toru untuk memastikan kualitas air sisa proses dari Tambang Emas Martabe/Antara/HO-dok. PTAR
Pilihan yang sulit bagi Anton. Proyek yang tetap berjalan memerlukan pendanaan. Jika proyek dihentikan, PLN bisa memberikan sanksi karena mereka ingkar memasok listrik. Di tengah kebuntuan itu, Anton mengontak Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, yang dekat dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. “Elfian ini teman Glenn,” ucap Anton.
Menurut Elfian, Anton bersedia melepas sebagian besar saham di PT North Sumatera Hydro Energy kepada investor hijau. Ia diminta menghubungi Glenn Hurowitz ihwal kemungkinan masuknya investor sesuai dengan janjinya dalam pertemuan di Shangri-La pada 6 Maret 2019. Apa kata Hurowitz? “Dia bilang akan sulit mencari investor hijau di PLTA yang berada di habitat orang utan,” ujar Elfian.
Hurowitz membenarkan adanya kontak Elfian tentang rencana PT NSHE menjual saham. Ia berdalih tidak ingin membahas apa pun dengan NSHE selama pembangunan PLTA tidak dihentikan dulu, seperti permintaannya kepada Anton. Menurut dia, proyek PLTA harus dijeda selama ahli dari Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) menilai dampak pembangunan PLTA terhadap orang utan. “Elfian mencoba menengahi,” tutur Hurowitz pada Sabtu, 8 Juli lalu.
Ihwal pertemuan di Shangri-La pada Maret 2019, Hurowitz mengaku telah membujuk Anton agar menghentikan proyek PLTA. Ia mengkonfirmasi kabar penolakan Anton terhadap permintaan itu. “Yang dia inginkan kami mengatakan bendungan itu bagus,” katanya.
Perihal ia menawarkan pendanaan baru di luar Cina, Hurowitz tak membenarkan atau menyangkalnya. Ia mengatakan Mighty Earth adalah lembaga swadaya masyarakat, bukan investor. Lembaganya, dia menjelaskan, hanya bisa mendatangkan donor internasional, lembaga keuangan, bahkan pemerintah Amerika Serikat untuk membiayai sebuah proyek hijau. “Kami bisa mendesak mereka berinvestasi,” ucapnya.
Anton Sugiono kian terjepit: oleh waktu, oleh keengganan Bank of China meneruskan pembiayaan, oleh ketiadaan investor yang sudi membeli sahamnya untuk melanjutkan proyek PLTA yang harus mulai beroperasi pada 31 Juli 2022. Ia hanya mendapat satu pilihan: menjual saham kepada pemegang saham lain di konsorsium NSHE.
Pemilik saham NSHE adalah PLN melalui PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi sebesar 25 persen, PT Dharma Hydro Nusantara 52,8 persen, dan Fareast Green Energy 22,2 persen. Anton menjadi salah satu pemilik saham PT Dharma Hydro. Pada akhir 2021, Dharma Hydro menjual semua sahamnya kepada Fareast dan Asia Ecoenergy Development, yang kemudian dijual kepada State Development and Investment Corporation, badan usaha milik negara Cina.
Para aktivis lingkungan hidup berdemonstrasi di depan kantor Bank of China di Jakarta, 1 Maret 2019/Antara/Rivan Awal Lingga
Meski menolak disebut pengambilalihan paksa (hostile takeover), Anton mengatakan penjualan saham adalah cara terbaik agar proyek ini tak berhenti. Menurut dia, Indonesia sudah seharusnya beralih ke energi terbarukan. PLTA merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang digenjot untuk menaikkan bauran energi hijau nasional sebanyak 25 persen pada 2025.
Rupanya, setelah penjualan saham itu pun kampanye bahwa PLTA Batang Toru merusak ekosistem dan mengancam habitat orang utan tak berhenti. Awal tahun ini, kolaborasi sejumlah media di Jakarta menurunkan kembali liputan tentang Batang Toru, dengan sudut pandang dugaan korupsi dalam penyertaan saham PLN. Dasarnya adalah laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan atas “Pengelolaan Independent Power Producer (IPP) 2016-2020”.
Setelah penerbitan secara serempak liputan Batang Toru itu, media dan LSM yang mendukungnya, seperti Satya Bumi, membuat diskusi tentang masa depan orang utan Tapanuli pada 9 Maret lalu. Diskusi itu sempat ricuh karena hendak dibubarkan oleh orang tak dikenal.
Glenn Hurowitz mengatakan Satya Bumi salah satu kolega Mighty Earth di Indonesia. Meski begitu, dia menambahkan, Satya Bumi adalah lembaga independen, tak mewakili Mighty Earth di Indonesia. “Kami telah membantu mereka, tapi mereka tidak bergantung kepada kami,” ujarnya. Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien membenarkan adanya kerja sama dengan Mighty Earth dalam advokasi isu Batang Toru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Udang di Balik Orang Utan"