Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAHWA pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru berdampak terhadap hidup dan perilaku orang utan Tapanuli di Sumatera Utara terbukti secara ilmiah. Tapi menunggangi desakan agar pengusaha dan pemerintah melindungi spesies terbaru orang utan yang terancam punah di Indonesia itu dengan motif bisnis, membuat tujuan baik menyelamatkan keanekaragaman hayati menjadi ternoda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu yang terjadi dalam kampanye pelindungan orang utan Tapanuli sejak 2019. Tiba-tiba saja sejumlah media dan lembaga swadaya masyarakat mempublikasikan lagi bahaya pembangunan PLTA terhadap orang utan di ekosistem Batang Toru pada awal tahun ini. Selain lima tahun terasa sia-sia karena tak ada mitigasi serius terhadap kerusakan habitat orang utan, liputan media gagal menemukan bukti baru bahaya proyek ini terhadap ekosistem Batang Toru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan terjadi justru di PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), perusahaan patungan Perusahaan Listrik Negara dan dua perusahaan swasta Indonesia serta Singapura, yang mengoperasikan PLTA. Kampanye masif bahwa PLTA merusak ekosistem Batang Toru membuat Bank of China ogah menyalurkan kredit ke perusahaan ini. Terjepit tak memiliki dana melanjutkan operasi pembangkit, perusahaan menjual saham. Kini saham PLTA mayoritas dimiliki perusahaan negara Cina.
Kampanye pelindungan orang utan Batang Toru digerakkan oleh Mighty Earth, lembaga swadaya masyarakat dari Amerika Serikat. Rupanya, dalih lingkungan itu ditunggangi kepentingan bisnis merebut pembiayaan dan kepemilikan saham perusahaan. Penelusuran majalah ini menengarai Mighty Earth meminta NSHE menghentikan proyek lalu menawarkan skema pendanaan kredit sindikasi bank-bank Amerika Serikat.
Gagal menawarkan pendanaan, Mighty Earth kian gencar mengkampanyekan bahwa PLTA Batang Toru merusak lingkungan. Mereka tak terlalu mengusik operasi tambang emas Martabe di sebelah PLTA yang wilayah konsesinya lebih luas dan mencemari Sungai Batang Toru. Kesaksian masyarakat sekitar area tambang menyebutkan perusahaan diduga membuang limbah saat hujan lebat.
Bagi Indonesia, pembangunan PLTA berkapasitas 510 megawatt senilai Rp 21 triliun itu adalah upaya meningkatkan bauran energi terbarukan yang ditargetkan mencapai 25 persen pada 2025. Peralihan sumber energi dari fosil ke energi bersih adalah upaya Indonesia ikut berperan mencegah krisis iklim yang tengah terjadi sekarang. Maka menghalangi pembangunannya dengan dalih merusak lingkungan menjadi sebuah oksimoron yang menggelikan.
Baca liputannya:
- Penawaran Mighty Earth dalam Pendanaan PLTA Batang Toru
- Dampak PLTA Batang Toru dan Tambang Emas Martabe Terhadap Orang Utan Tapanuli
Seharusnya Mighty Earth dan kolega-koleganya di Indonesia mendesak perusahaan menjalankan tata kelola yang baik agar pembangunan PLTA tak merusak lingkungan. Caranya adalah mengawal dan memastikan operasi perusahaan tak berdampak buruk terhadap masyarakat sekitar, hutan, dan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Di masa krisis iklim, pembangunan PLTA penting, melindungi hutan dan ekosistem jauh lebih penting. Menyelaraskan keduanya adalah bentuk pembangunan berkelanjutan yang menjadi praktik bisnis hijau. Namun menunggangi advokasi dengan kepentingan ekonomi seperti yang dilakukan Mighty Earth membuat gerakan ini kehilangan kemuliaannya sehingga membahayakan aktivisme pelindungan hutan, orang utan, dan lingkungan secara umum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo