Bahan kimia tak hanya mencemarkan air permukaan, tapi juga merembes sampai ke air tanah. Penangkalnya ada, yaitu mikroba pembersih. SEJAUH ini manusia masih hidup secara relatif aman kendati udara, air sungai, dan air laut sudah tercemar. Namun, bagaimana kalau air yang disedot oleh jet pump Anda ikut tercemar? Mungkin kucuran air itu tampak jernih tanpa noda, tapi boleh jadi ada kandungan kimia di dalamnya. Tak percaya? Masalahnya, air yang tampak bersih mungkin sekali sudah tercampur bahan beracun yang tidak berwarna. Bahan ini tak hanya menyerang air di permukaan, tapi sanggup merembes ke air tanah sampai kedalaman 100 meter. Air itu digunakan sebagai bahan baku air minum. Erni Martani, dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, membuktikan hal itu dalam disertasinya untuk meraih gelar doktor dari Tokyo University of Agriculture and Technology, lima bulan lalu. Dalam disertasi ini, Erni sekaligus membuktikan, tercemarnya air tanah akibat bahan kimia bisa dinetralkan secara alami, dengan mikroba pembersih yang ada di alam. Untuk penelitiannya itu, ibu dua anak ini meraih doktor mikrobiologi lingkungan yang ijazahnya baru diserahkan oleh Rektor UGM, Juli lalu. Penelitian Erni dilakukan tahun 1988-1991 di Distrik Hachioji, sekitar 50 kilometer sebelah barat Tokyo, Jepang. Hachioji dipilih karena kawasan ini merupakan kawasan peralihan desa ke kota. Selain masih memiliki bukit, hutan, sungai, dan sawah, Hachioji sudah membangun kompleks-kompleks perumahan. Pada daerah seperti ini, penyebaran bahan pencemar dari rumah tangga dan pertanian dapat diamati lebih saksama. Dalam upaya mengetahui bisa tidaknya air tanah tercemar, penelitian dilakukan pada air yang berada di kedalaman 200 meter dari permukaan tanah. Untuk itu, tiga sumur pompa dibangun di puncak bukit, persawahan, dan satu lagi di lokasi perumahan. Dari 15 sampel air tanah yang diambil dari tiga sumur itu, tiga sampel dari tiga sumur terbukti mengandung bahan pencemar. "Dengan demikian, anggapan bahwa air tanah tidak akan menyebabkan gangguan kesehatan karena selalu sehat dan steril tidaklah benar," demikian Erni menyimpulkan. Zat yang mencemari air tanah ini berasal dari bahan-bahan kimia yang kerap digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh, dichloro diphenil trichlorethane alias DDT, yang umum dipakai sebagai insektisida. Contoh lain yaitu herbisida pembasmi gulma, sampai limbah pabrik. Sebenarnya, alam sudah dilengkapi mikroba pembersih yang bekerja membersihkan air tanah itu dari pencemaran. Namun, kerja memecahkan rangkaian senyawa kimia berbahaya menjadi molekul yang tak berbahaya membutuhkan waktu lama. Jangka waktu pembersihan makin panjang, bila zat kimia itu berkombinasi dengan zat kimia lain, hingga membentuk rangkaian baru. Banyak mikroba di alam yang bisa dimanfaatkan dalam proses pembersihan ini, selain bisa juga dipakai mikroba hasil rekayasa genetika. Namun, untuk penelitian ini Erni memilih mikroba yang paling banyak terdapat di semua bagian bumi, yakni lima jenis bakteri pembersih dari spesies pseudomonas, yang kemudian diberi kode Et-4, 5, 6, 13, dan 14. "Kelompok ini umum dipakai untuk membersihkan lingkungan yang terkena polusi bahan kimia dengan struktur dasar kimia 2,4 dichlorophenol (DCP) seperti insektisida, herbisida, freon, limbah pabrik, sampai pencemaran minyak bumi," kata Erni. Bakteri ini akan menguraikan DCP menjadi air dan karbondioksida. Untuk mempercepat kerja bakteri, Erni menambahkan unsur hara dari golongan nitrogen, fosfat, dan karbon yang merupakan makanan bakteri tersebut. Hasilnya, tiga bakteri mampu menguraikan satu mikrogram DCP dalam satu mililiter cairan hanya dalam waktu 1-2 minggu. Namun, secara alami penguraian ini memakan waktu tahunan. Penguraian terbaik dilakukan oleh bakteri Et-14, yang dengan penambahan fosfat, mampu menguraikan seluruh DCP. Bakteri lain hanya bisa menguraikan sebagian DCP. Namun, pembersihan air tanah dengan cara ini sulit dilakukan secara langsung dengan memasukkan bakteri dalam sumur karena, bila dipakai cara ini, harus dilakukan pemblokingan lingkungan di sekitar air tanah yang tercemar. Cara yang terbaik adalah dengan memasukkan bakteri langsung ke sumber pencemaran, misalnya di penampungan limbah pabrik sebelum limbah itu dibuang. Cara seperti ini sudah banyak dipraktekkan kalangan industri di Jepang. Rupanya, mereka sadar bahwa Hachioji yang merupakan daerah pedesaan saja sudah tercemar, apalagi daerah industri. Kendati cara pembersihan seperti itu sudah dipraktekkan, masih saja terjadi kasus pencemaran air tanah di Tokyo. Menurut Erni, tahun lalu ada sebuah sumur air minum tercemar zat kimia sehingga puluhan anak yang minum air itu muntah-muntah. Sumur itu langsung ditutup dan mikroba pembersih dikerahkan. Jepang juga sudah menyiapkan diri bila terjadi pencemaran di satu-satunya sumber air untuk perusahaan air minum di sana. Ikhtiarnya berupa penyaringan air yang dilakukan berkali-kali dengan bahan kimia atau filter khusus. Filter ini ada yang mampu memisahkan air dari zat kimia berbahaya, ada juga yang sanggup menceraikan air dari mikroba pembawa penyakit. Tampaknya, masih jauh jalan yang harus ditempuh agar cara ini teradopsi di Indonesia. Apalagi banyak pemilik pabrik yang mengingkari bahwa limbah industrinya telah mencemari lingkungan. Di sisi lain, perangkat hukum dan sikap masyarakat belum banyak berperan. Perihal, kualitas air minum pun, konsumen Indonesia masih jarang mempersoalkannya. Jangankan pencemaran yang tidak terlihat dengan mata telanjang, air minum hitam dan tercampur ulat pun masih bisa ditenggang. Diah Purnomowati dan M. Faried Cahyono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini