Tua-tua kelapa, seorang kakek dari Sumatera Utara mengaku menyebadani dua ratus perempuan muda. Ia pasrah menerima hukuman. NAMANYA memang elok: San Suardi Martareja. Namun, perbuatan onar kakek berusia 61 tahun ini tak terbayangkan. Meski sudah bercucu tujuh, kelakuannya auzubillah. Percaya atau tidak, Pak San mengaku menzinahi dua ratus perempuan muda. Karena tingkahnya itu, San Suardi dituntut Jaksa Mahyiddin H.P. dengan hukuman lima tahun penjara. Hingga Selasa pekan lalu, sidangnya berlangsung di Pengadilan Negeri Tanjungbalai, Sumatera Utara. Rekor yang pantas masuk buku Guinness Book itu tersibak 14 April lampau. Ketika itu San Suardi Martareja tertangkap basah menyebadani gadis cilik berusia 12 tahun, sebut saja namanya Yayuk. Itu dilakukannya di rumah Pak San sendiri. Maka, tak ayal, penduduk Bandar Pulau di Asahan, Sumatera Utara, menjadi riuh seusai ia diringkus polisi, dan akhirnya digiring ke meja hijau, seperti sudah disebut tadi. Daftar mangsa lelaki tua itu mungkin akan bertambah panjang seandainya kasus Yayuk tidak cepat terungkap. Maklum, dengan mengamalkan ilmu pelet jorat goyang, selama ini korban Kakek San merasa lebih aman kalau tutup mulut saja. Maklum, aib. "Semua mereka datang menyerah padaku," katanya dengan nada blong kepada wartawan TEMPO yang menemuinya di tahanan. Bahkan, Yayuk, yang duduk di kelas V SD itu, mengaku sudah lima kali dijailinya. "Saya seperti selalu terpanggil mendatanginya," kata si cilik itu di persidangan. Namun, perbuatan tidak senonoh tadi kemudian tersibak melalui omongan San sendiri. Suatu malam bersama temannya sesama gaek, Nardin, 61 tahun, ia mabuk tuak. Dengan mata nanar dan lidah memendek, San Suardi segera pula "menyanyi". Dari mulutnya terceplos, "Itu si Yayuk anak Polan sudah kumakan, Nardin." Ternyata, ia tak perlu merayu begini-begitu. "Nggak payah, karena anak itu menyerah sendiri," ujar San Suardi Martareja. Nardin memancing lelaki tua-tua kelapa yang berminyak itu. "Bagaimana bisa awak hebat kali," tanyanya. "Ya, dengan ilmu jorat goyang," sahut San, seraya terkekeh-kekeh. Ia kemudian menceritakan harus puasa lebih dahulu enam hari. Usai itu baru ia nyebleng, tak makan dan minum satu hari satu malam. "Pokoknya, sudah dua ratus perempuan kutaklukkan dengan jorat goyang," oceh San lagi. Mendengar kisah itu, rupanya Nardin tidak tega melihat nasib Yayuk. Lalu ia membisikkan cerita itu pada Syamsudin Panjaitan, kepala desa mereka. Irianto, 32 tahun, ayah Yayuk, dikabari juga. Mereka kemudian bersepakat mencari bukti yang akurat. Ya, dengan cara menangkap basah: Kakek San diumpan dengan Yayuk. Tak pelak, ia tentu sulit mengelak. Hasil visum dokter juga menunjukkan bahwa Yayuk tidak lagi tingting. Sebenarnya, Irianto selama ini menganggap San Suardi sudah sebagai keluarganya. Karenanya, sesekali lelaki tua itu suka bertandang tidur di rumahnya. Namun, sejak San bebas berkunjung ke rumah Irianto, adik Yayuk, yaitu Nining, 10 tahun, melihat orang yang dipanggilnya kakek itu pernah menyingkap selimut kakaknya yang sedang tidur. Padahal, Yayuk terbilang berwajah sedang-sedang saja, dan agak kurus. Dasar sudah terbalut semangat tak terkendali, Pak San tanpa malu mengaku tertarik kepada Yayuk. Ia ibarat pagar makan tanaman. "Nafsuku suka merajalela, dan tidak bisa kulawan," ia mengakui. Apalagi waktu itu istrinya, Nisyam, 40 tahun, sudah dua bulan tak di rumah. Istrinya pergi ke tempat anaknya di Pulau Raja, masih di Asahan. Demikian juga keempat anaknya (tiga di antaranya sudah berkeluarga) tak pula tinggal di rumahnya. Pada saat San sendirian itulah, Yayuk, yang memang biasa datang ke rumah Suardi, jadi picu kisah ini. Suatu petang, Februari 1991, selagi ia asyik membahas kode SDSB, Yayuk muncul. Karena jorat goyang telah dimainkan, gadis kecil itu pasrah ketika San mengumbar niatnya. Setelah itu Yayuk diberinya duit Rp 1.000. Sepekan kemudian Yayuk datang lagi. Begitulah berulang, hingga kemudian San Suardi tertangkap basah. Dalam pengakuannya kepada TEMPO, sikap pasrah seperti Yayuk juga dilakukan oleh korbannya yang berjumlah dua ratus orang itu. "Aku menaklukkan perempuan sejak usiaku 12 tahun," kata lelaki yang lahir di Maja Tengah, Purbalingga, Jawa Tengah, itu. Mirip dengan San Suardi Martareja, tersebutlah kisah sejenis yang menggemparkan Sumatera Utara pada 1980. Waktu itu aktornya Ali Nasib. Lelaki ini pernah punya istri 121 orang. Gara-gara ulah itu ia dihukum tujuh bulan penjara. Namun, begitu keluar dari penjara, dengan cara yang sama, ia memerangkap lagi tujuh perempuan muda. Usai itu, ia kembali dipenjara tujuh tahun. Resep yang dipakai Nasib juga ilmu pelet. Sehabis bertatapan mata dengan calon korbannya, kemudian ia komat-kamit membaca mantra. Kalau "bait-bait magis" itu dibacakan, si korban malah menurut bak kerbau dicucuk hidung. Hanya berbeda dengan San Suardi, justru Nasib menikahi korbannya meskipun sepekan berselang ia meninggalkannya begitu saja, sehabis menjual emas perhiasan para perempuan yang dimangsanya. Nasib yang sekolah hanya kelas 2 SD itu memang keluarga rusak. Selain hidup dalam gelimangan kemiskinan, ternyata ayahnya juga tukang kawin-cerai. Tak heran, di masa remajanya Nasib merasa rendah diri bergaul dengan wanita. Maklum, raut mukanya pun tak menolong. Ketika usianya 17 tahun, ia menuntut ilmu pelet pada seorang dukun. Tujuannya adalah untuk menaklukkan hati perempuan yang dijumpainya. "Tapi saya jadi lupa diri hingga harus masuk bui," katanya, waktu itu, kepada TEMPO. Lain pula San Suardi yang sehari-hari bekerja sebagai penyapu jalan di Bandar Pulau. Ia pernah punya dua istri. Pertama, Sutar yang dinikahinya pada 1950. Karena tidak punya anak, mereka kemudian bercerai. Kedua, pada 1958, San Suardi mengawini Nisyam. Namun, karena sibuk dengan ilmu pelet yang dimilikinya, ia bersemangat mengamalkannya. Maka, dengan Nisyam, katanya, ia bersebadan hanya sekali sebulan. Pada malam-malam lain, Pak San merayap sesukanya mencari mangsa. Namun, kini kelakuannya berubah. Di kamar tahanan, San Suardi suka menyenandungkan lagu-lagu pilu. Ia, bahkan, mengaku merasa dikucilkan anak-istri, karena tak seorang pun mau menjenguknya. Mungkin merasa sudah sepatutnya harus masuk penjara, kakek ini pasrah sudah. "Berapa pun dihukum hakim, saya menerimanya," ujarnya. Keluarga Irianto sekarang sedang merencanakan pindah dari Bandar Pulau. Maksudnya, agar trauma itu tidak lagi menghantui Yayuk terus-menerus. Bersihar Lubis dan Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini