Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kecemasan di Lereng Merapi

Masyarakat menentang kawasan Merapi menjadi taman nasional. Akibat kurang sosialisasi?

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matahari mulai meninggi. Tapi pagi itu kabut masih mengambang di lereng Gunung Merapi. Di jalan setapak, Kasiyo berjalan melintasi hamparan semak belukar. Tubuhnya berkeringat. Pria 36 tahun ini melangkah mantap menyusuri jalan setapak di lereng selatan gunung yang terletak di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah itu. Di pundaknya tergantung keranjang dari anyaman bambu berisi rumput untuk pakan sapinya.

Mencari rumput di hutan Merapi seperti dia lakukan Rabu pekan lalu adalah rutinitas Kasiyo pada musim kemarau. Ketika rumput di desanya telah meranggas, ia harus merambah ke kawasan hutan Merapi. Kadang, rumput segar begitu langka hingga ia pernah mencari sampai tinggal 500 meter dari puncak. "Tiap hari, satu orang harus mencari satu keranjang rumput untuk satu sapi," katanya.

Tapi kini Kasiyo mengaku khawatir. Ia bukannya cemas karena Merapi bakal meletus lagi, tapi karena keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 234/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004. Melalui SK yang ditandatangani Menteri M. Prakosa ini, pemerintah menetapkan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, cagar alam, dan taman wisata alam di kawasan Gunung Merapi menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Menurut rencana, peresmian taman nasional itu akan berlangsung pada bulan ini. "Apa nanti saya masih boleh ngambil rumput?" tanya Kasiyo.

Kasiyo memang cemas. Ia takut, jika Merapi menjadi taman nasional, ia tak lagi boleh keluar-masuk sesukanya ke kawasan itu. Artinya, dia bakal makin susah mencari rumput. Padahal, di dusun Kasiyo, Dusun Ngandong, Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Sleman, hampir semua keluarga menggantungkan pakan ternak di kawasan Merapi. Di dusun berpenghuni 213 kepala keluarga ini, tiap keluarga sedikitnya memiliki satu ekor sapi perah. Dan untuk mengenyangkan sapi, andalan mereka adalah padang rumput di sekitar gunung bertinggi 2.911 meter dari permukaan laut itu. "Jika tidak boleh lagi masuk ke Merapi, itu sama saja membunuh mereka," kata Ngadimin, Kepala Dusun Ngandong.

Dalam SK itu ditetapkan luas Taman Nasional Gunung Merapi adalah 6.410 hektare. Kawasan ini membentang di sembilan kecamatan, 26 desa, yang tersebar di wilayah Kabupaten Sleman di Provinsi Yogyakarta, serta Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten di Pro-vinsi Jawa Tengah.

Keputusan menjadikan Merapi sebagai taman nasional memang membuat banyak pihak terkejut. Apalagi bagi masyarakat di sekitar gunung itu. Mereka melihat keputusan itu terlalu mendadak, tanpa melibatkan mereka. Puncak ketidakpuasan masyarakat adalah ketika Juni lalu terjadi beberapa kali aksi demonstrasi menentang SK tersebut.

Penolakan tak hanya datang dari ma-syarakat. Lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, misalnya, menuding penetapan sebagai taman nasional itu tidak melalui prosedur yang seharusnya. Karena itu pula, Walhi Yogya mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara. Kamis pekan lalu, gugatan sudah memasuki tahap sidang ketiga.

Menurut Sofyan, Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta, tak selamanya pembangunan taman nasional memberikan kemakmuran bagi masyarakat sekitar. "Justru banyak taman nasional di Indonesia yang menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar," kata dia.

Sofyan mengingatkan, selama ini justru masyarakat yang berjasa menjaga Merapi dari kerusakan. Perusakan kawasan di sana, kata dia, lebih disebabkan maraknya pengerukan pasir yang notabene memberikan kontribusi pendapatan ke pemerintah daerah. Wilayah terparah akibat pengerukan adalah kawasan Jurangjero, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Data terakhir menyebutkan, seluruh kerusakan di wilayah itu mencapai 254 hektare, terdiri dari 170 hektare kerusakan yang terjadi pada 2003, dan 74 hektare selama periode Januari sampai Juni 2004. Kerusakan paling parah terjadi di hutan lindung petak 33 sampai petak 36.

Perhatian terhadap kelestarian kawasan Gunung Merapi sebenarnya sudah dilakukan sejak 1931, saat kawasan tersebut resmi menjadi hutan lindung. Tahun 1975, sebagian hutan lindung yang berada di DIY seluas 198,5 hektare ditetapkan sebagai Cagar Alam Plawangan Turgo, sementara sekitar 131 hektare dijadikan Taman Wisata Alam Plawangan Turgo.

Namun, setiap kali rencana menjadikan Merapi taman nasional disosialkan, selalu terjadi penolakan. Bahkan rencana ini sempat terhenti satu tahun setelah mendapat kritik keras ketika usul ini pertama kali dimunculkan pada 2001. Setelah ditentang dari berbagai pihak, pada 2002 pemerintah menjanjikan untuk membuat kajian kelayakan dan sosialisasi yang matang. Toh, kemudian Menteri Kehutanan sudah mengeluarkan surat keputusan.

Studi kelayakan memang pernah dilakukan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Tapi Dekan Fakultas Kehutanan Dr. Sofyan P. Warsito belakangan mengatakan studi yang dilakukan hanyalah sebatas studi kelayakan teknis selama enam hari. Dari studi tersebut disimpulkan kawasan Merapi perlu dikonservasi. "Tetapi saya tidak memberikan rekomendasi untuk dibuat taman nasional," katanya.

Menurut Sofyan, pada dasarnya konservasi bisa dibagi dua kelompok, yaitu yang betul-betul steril dari masyarakat sekitar, atau yang melibatkan masyarakat sekitar. "Kalau studi kelayakan itu untuk membuat taman nasional, mestinya disertai penataan manajemen. Lha, ini penataan manajemennya kan belum ada, jadi saya tidak bisa mengatakan setuju atau tidak," kata dia.

Tapi Transtoto Handadhari, Kepala Pusat Informasi Kehutanan Departemen Kehutanan, membantah bahwa taman nasional itu akan menggusur akses warga di kawasan Merapi. Ia menjelaskan, ide menjadikan Merapi sebagai kawasan taman nasional sebenarnya datang dari daerah. Gubernur DIY sudah mengajukannya pada 14 Juli 2001, sedangkan Gubernur Jawa Tengah dua tahun kemudian, pada 23 Mei 2003. "Jadi, bukan kami bertindak mentang-mentang," katanya kepada Tempo pekan lalu.

Pertimbangan Departemen Kehutanan, menurut Transtoto, adalah mengintegrasikan penanganan fungsi kawasan Merapi. Sebelumnya, hutan di sana sudah berfungsi sebagai hutan lindung, hutan suaka alam, cagar alam, dan taman wisata alam. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, kriteria kawasan konservasi untuk Gunung Merapi yang dianggap tepat adalah menjadi taman nasional. Apalagi di kawasan Me-rapi terdapat beberapa flora dan fauna langka, seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi atau javan hawk eagle), macan tutul jawa (Panthera pardus melas atau javan leopard), dan sekitar 22 jenis anggrek seperti anggrek bulan putih, anggrek vanda tricolor. Ihwal kesempatan bagi warga sekitar untuk memanfaatkan kawasan Merapi sebagai lahan pakan ternak, menurut Transtoto, itu bisa dilakukan di zona penyangga (buffer zone). "Kita hanya ingin melakukan pengelolaan secara terpadu, tidak satu-satu seperti sekarang," katanya.

Karena itulah, menurut Transtoto, penetapan taman nasional adalah salah satu upaya mempertahankan hutan yang kian hari kian berkurang akibat penjarahan. Sekarang, Indonesia baru memiliki 45 taman nasional dengan luas total sekitar 150,5 juta hektare. Tahun ini, Departemen Kehutanan tengah mengkaji 12 calon taman nasional lainnya dengan luas sekitar 2,392 hektare (lihat tabel). "Jumlah ini terbilang sangat kecil untuk ukuran Indonesia," katanya.

Sayangnya, penjelasan seperti ini tak cukup gencar disampaikan ke masyarakat. Akibatnya, yang muncul adalah kecemasan dan penolakan.

Raju Febrian, L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus