Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hiruk-pikuk Pemilihan Umum 2004 akan segera berakhir. Kita patut bersyukur karena seluruh rangkaian pemilu, dari pemilu legislatif hingga pemilihan presiden, berjalan lancar. Rakyat Indonesia terbukti semakin matang berdemokrasi. Rakyat juga telah mengetuk palu politik. Mereka ingin perubahan di segala bidang, termasuk dalam kebijakan ekonomi. Untuk itu, amanah diberikan kepada Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla (SBY-MJK) sebagai presiden dan wakil presiden 2004-2009.
Saya tidak akan berbasa-basi. SBY, selain Jenderal TNI, adalah seorang ekonom karena baru saja menyelesaikan ujian doktor ekonomi pertanian di Institut Pertanian Bogor. Disertasinya pun menarik, mengenai bagaimana pembangunan pertanian dan pedesaan dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Sementara itu, MJK adalah pengusaha yang cukup berhasil.
Jadi, keduanya sangat paham bahwa di bidang ekonomi sama sekali tidak ada waktu untuk berbulan madu. Apalagi ekspektasi masyarakat terhadap keduanya sangatlah tinggi. Karena itu, 100 hari pertama menjadi sangat menentukan.
Selama masa itu, setidaknya ada tiga ranjau ekonomi yang harus ditangani. Pertama, pengangguran dan dunia usaha yang mati suri. Kedua, korupsi dan berbagai kejahatan ekonomi lainnya. Ketiga, terancamnya stabilitas fiskal. Ini masih ditambah tekanan eksternal berupa potensi kenaikan suku bunga The Fed dan tingginya harga minyak dunia.
Sebagian ekonom mungkin berpandangan bahwa persoalan di atas bersifat jangka panjang. Bahkan korupsi dipandang sebagai "given", sehingga disarankan agar kita merumuskan kebijakan ekonomi dalam kondisi "second best".
Saya sangat tidak setuju dengan pandangan seperti ini. Korupsi memang penyakit kronis dan mewabah di Indonesia. Tapi pemerintah bisa memberikan sinyal "tiada ampun bagi koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi lainnya", antara lain dengan segera memenjarakan pelaku utama pembobolan BNI atau segera mengusut kasus penjualan tanker Pertamina dan Karaha Bodas atau segera menangkap pelaku penyelundupan kayu di Kalimantan.
Karena itu, SBY-MJK akan menghadapi banyak ujian dalam 100 hari pertama. Untuk masalah pengangguran dan dunia usaha, misalnya, ujiannya adalah apakah pasangan ini benar-benar akan melakukan perubahan kebijakan yang mendasar. Atau keduanya akan seperti Presiden Megawati, mengikuti mazhab ekonomi ultrakanan, yang sangat neoklasikal dan moneteris. Jika ini terjadi, resep generik IMF seperti stabilisasi makro, liberalisasi, dan privatisasi akan tetap dilakukan tanpa memperhatikan kondisi lokal dan dampaknya bagi masyarakat.
Masalahnya, secara politik, justru mazhab itulah yang menjauhkan Presiden Megawati dari "wong cilik" pendukungnya. Mengapa demikian? Karena mazhab ini menyakralkan stabilisasi makro dan tolok ukur elitis lainnya. Sedangkan rakyat merasakan pemutusan hubungan kerja yang makin banyak, harga bahan pokok yang kian menanjak, dan tolok ukur "jelata" lain.
Apakah mazhab ini berhasil memperbaiki nilai tukar rupiah, inflasi, dan suku bunga? Tidak juga. Faktanya, rupiah menguat karena selama Februari 2002-Februari 2004 dolar AS mengalami depresiasi 31,3 persen terhadap euro. Inflasi dan SBI lalu mengikuti rupiah.
Di pihak lain, deretan kegagalannya sangat panjang. Aset dijual murah. Pengangguran terbuka naik dari 4,29 juta jiwa (1996) menjadi 10,3 juta jiwa (2003). Selama 2003, terdapat 1,3 juta pekerja sektor formal yang kehilangan pekerjaan—lebih dari setengahnya di perkotaan. Lima dari sembilan sektor industri dengan kode dua digit mengalami kontraksi. Kapasitas industri merosot hingga 46 persen. Dari 30 komoditas ekspor unggulan, hampir setengahnya mengalami pertumbuhan negatif. Utang luar negeri pemerintah naik US$ 9,48 miliar selama 2001-2003. Penerbitan obligasi baru naik dari Rp 2 triliun (2002) ke Rp 11,3 triliun (2003), Rp 32,5 triliun (2004), dan Rp 50,2 triliun (2005) jika BI tidak berbelas kasihan.
Jadi, salah besar jika SBY-MJK mengikuti mazhab ini. Justru sebaliknya, mereka perlu mengambil langkah kecil tapi konkret, sebagai sinyal pro-pertumbuhan dan pemerataan, bukan hanya stabilitas. Misalnya membabat kebijakan Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan peraturan daerah yang menghambat perdagangan antardaerah.
Ujian lain adalah RAPBN 2005. Dengan kondisi harga minyak dunia, tingkat produksi, sistem bagi hasil pusat-daerah, dan rezim migas saat ini, subsidi bahan bakar minyak bisa sekitar Rp 60 triliun. RAPBN 2005 jelas perlu direvisi total. Jika tim ekonomi SBY-MJK hanya ikut mazhab ultrakanan, solusinya pasti menaikkan harga BBM—jika perlu 100 persen sesuai dengan pasar. Yang dilupakan, kenaikan harga BBM pada beberapa bulan ke depan akan kontradiktif dengan revitalisasi dunia usaha dan lapangan kerja.
Jadi, tim ekonomi SBY-MJK perlu mencari solusi yang lain, misalnya dengan memperbaiki tingkat produksi, sistem bagi hasil, rezim migas, atau rasionalisasi pos pengeluaran lain di RAPBN 2005. Saya melihat masih banyak celah untuk mengurangi beban pengeluaran, antara lain melalui berbagai rekayasa finansial. Tapi itu semua memerlukan kepemimpinan yang kuat, dan keberanian memilih kebijakan ekonomi yang lebih pro-masyarakat. Jadi, memang tidak ada waktu untuk berbulan madu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo