Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ketika Sukma Berpulang

Tak lama setelah dibawa pulang, Sukma Ayu meninggal. Penyakitnya terbilang langka.

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH tayangan tak lazim terpampang di saluran TV7 Sabtu pagi dua pekan silam. Judulnya pun tak biasa, Eksklusif: Sukma Ayu Pulang. Kondisi Sukma, sang bintang sinetron, yang terbaring koma, disiarkan secara langsung dari rumahnya di kawasan Bukit Sentul, Bogor, Jawa Barat. Si pembawa acara tak henti-hentinya meminta penonton memanjatkan doa bagi kesembuhan putri bungsu pasangan Misbach Yusa Biran dan Nani Wijaya ini.

Itulah pertama kalinya Sukma dibawa pulang ke rumah setelah dirawat di Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Medistra, Jakarta, selama sekitar lima bulan. Selama itu pula ia tak sadarkan diri. Dengan memakai ambulans yang berperalatan komplet, Sukma dibawa ke rumahnya pada Jumat malam, sehari sebelumnya.

Di layar kaca, suasana makin mencekam ketika keadaan Sukma kian kritis. Dokter Sutarman, yang menanganinya, berkali-kali melihat mesin ventilator seharga Rp 400 juta yang membantu pernapasan Sukma. Perawat mengecek alat pengukur tensi, suction (alat untuk membersihkan saluran pernapasan), syringe pump (alat yang mengatur pemberian obat lewat infus) yang dibeli keluarga Misbach seharga Rp 17 juta, dan beberapa alat lain.

Semua peralatan itu seolah tak menolong. Ketika kondisi Sukma kian buruk pada pukul 10.30, terlihat Dokter Sutarman merunduk, membisikkan sesuatu, atau berdoa. Tayangan itu akhirnya memang menjadi sangat eksklusif karena merekam detik-detik kepulangan Sukma Ayu untuk selamanya.

Menurut diagnosis dokter, Sukma menderita aneurisme. Ini merupakan kelainan pembuluh darah yang mengakibatkan perdarahan berat pada rongga subarachnoid, ruang antara penampang otak dan tulang kepala.

Pada pembuluh darah yang normal, terdapat tiga lapisan, yaitu lapisan endotel, lapisan media (otot) di bagian tengah, dan lapisan adventisia. Nah, penderita aneurisme tak memiliki lapisan media di pembuluh darahnya. Akibatnya, aliran darah yang terus melewatinya lama-lama mempertipis pembuluh di situ, yang lalu menggelembung seperti balon sebelum akhirnya pecah.

Gejalanya sakit kepala terus-menerus atau seperti migrain. Rokok dan alkohol bisa menjadi stimulan yang memicu pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi). Di Amerika Serikat, prevalensi penderita aneurisme adalah 3 persen dari jumlah penduduk. Peluang untuk bisa bertahan hidup dari penyakit ini, menurut ahli saraf Universitas Cornell, Gary L. Bernardini, hanya 50 persen.

Di Indonesia, penderita aneurisme juga amat langka, hanya 3-4 pasien per tahun. "Aneurisme yang dialami Sukma merupakan penyakit bawaan, tapi baru diketahui setelah Sukma terjatuh," ujar Prof. Dr. Yusuf Misbach, ahli saraf yang pernah ikut menangani Sukma.

Menurut Yusuf, jika hal itu diketahui secara dini, penanganannya dapat dilakukan melalui proses pembedahan atau dengan memasang katup untuk memperkuat dinding pembuluh darah. "Prosesnya mirip kateterisasi jantung," katanya.

Semula orang menduga kematian Sukma itu karena keluarganya nekat membawanya pulang untuk dirawat di rumah. Soalnya, selama ditangani Rumah Sakit Medistra, Sukma selalu dibantu dengan mesin ventilator, alat pembersih saluran napas, dan sejumlah peralatan canggih lainnya agar bisa bertahan. Dan begitu dia dibawa ke rumah, kondisinya langsung anjlok.

Hanya, menurut seorang anggota tim dokter yang pernah merawatnya, perlengkapan selama di ambulans yang membawanya pulang, dan juga di kamarnya di rumah, sama dengan di rumah sakit. "Tak ada perbedaan fasilitas," ujarnya.

Hal itu dibenarkan oleh Farry Hanif, salah seorang kakak kandung Sukma Ayu. Selama di ambulans dan di kamar rumah berukuran 3 x 5 meter persegi yang dirancang seperti kamar ICU, semua peralatan itu tetap digunakan. Bahkan peralatan seperti ventilator dan syringe pump sudah dipasang tiga hari sebelum Sukma dibawa ke rumah.

Kini keluarga Sukma telah mengikhlaskan kepergiannya. "Kami sekeluarga sepakat, apa pun yang terjadi, ini semua sudah kehendak Tuhan," kata Farry.

Akmal Nasery Basral, Eni Saeni, Nunuy Nurhayati


Jejak Perjalanan Sukma

9 April 2004 Sukma Ayu menjalani sesi pemotretan di studio Darwis Triadi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Belum selesai sesi pemotretan, Sukma dijemput Cut Keke. Mereka pergi ke sebuah kafe. Sukma terjatuh saat memegang gelas. Pecahan gelas itu masuk ke siku tangan kanan. Tulangnya retak. Saraf motorik antara jari manis dan kelingking mati.

Dia lalu dibawa ke Rumah Sakit Medistra, Gatot Subroto, untuk menjalani pembedahan. Sempat siuman sebentar, dia kemudian mengeluh kesakitan, napasnya tersengal-sengal, dan tak sadarkan diri, koma. Hasil CT scan menunjukkan terjadi perdarahan otak.

Lima bulan lebih Sukma berada dalam keadaan koma. Pada bulan ketiga, muncul ide untuk merawat Sukma di rumah, tapi harus menunggu kondisinya dinyatakan stabil.

24 September 2004

21.00 WIB Kondisi Sukma dinyatakan stabil. Kepulangan tertunda karena jalan di depan rumah sakit masih macet.

23.00 WIB Ambulans yang membawa Sukma meninggalkan kompleks rumah sakit, memasuki area jalan tol. Perjalanan sempat terhambat sejenak karena ambulans terhenti di pintu tol untuk membayar tiket.

23.50 WIB Waktu perjalanan yang diperkirakan 30 menit menjadi 50 menit.

25 September 2004

10.00 WIB Kondisi kritis, denyut nadi dan tekanan darah menurun.

10.30 WIB Denyut nadi Sukma sudah tak terdeteksi secara manual oleh Dokter Sutarman. Pihak keluarga minta agar didatangkan alat monitor jantung.

13.30 WIB Alat monitor jantung tiba di kediaman Sukma.

13.54 WIB Setelah diperiksa, Sukma Ayu dinyatakan telah tiada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus