Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika tidak ada keajaiban politik yang dahsyat, pasangan SBY-MJK sudah pasti bakal menjadi Presiden Indonesia untuk masa lima tahun ke depan. Publik masih ingat dan akan terus mengingat visi-misi dan arah pembangunan bangsa yang diutarakan pasangan ini kemarin dulu di berbagai forum. Pada saatnya nanti, setelah resmi dilantik, pasangan terpilih dituntut merealisasi janji-janjinya tersebut.
Salah satu janji yang terdengar manis di telinga adalah komitmen pasangan SBY-MJK untuk membentuk pemerintahan yang bersih (clean and good governance). Ini adalah isu yang mudah diucapkan ketimbang dibuktikan. Betapapun sulitnya janji itu dipenuhi dan betapapun muskil mewujudkannya di tengah akutnya penyakit sosial dalam bentuk korupsi, harapan akan terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik harus terus dijaga.
Mungkin satu-satunya modal sosial yang masih dimiliki bangsa ini setelah ditikam krisis bertahun-tahun adalah kesanggupannya untuk tidak putus-putusnya berharap. Memang mengerikan membayangkan masyarakat yang kehilangan asa. Bukankah putus harapan merupakan dosa?
Isu perubahan itulah yang kerap didengungkan SBY-MJK. Pemilihan presiden putaran kedua kemarin membuktikan betapa ampuhnya jargon perubahan itu hingga sanggup mengantarkan pasangan ini ke istana. Namun, bagaimana perubahan itu diberi makna oleh pasangan ini? Bagaimana perubahan itu bisa mengejawantah dalam ranah praktis dan tidak mengawang-awang di angkasa?
Misalkan dalam membasmi korupsi dan mencegah membiaknya penyakit ini. Sering dikatakan, korupsilah akar segala kebobrokan bangsa. "Kleptokrasi" adalah julukan paling tepat untuk pemerintahan tempat segala praktek busuk korupsi berjejal di tiap sudut. Dalam pemerintahan jenis ini, korupsi bukan saja dianggap lumrah, namun juga absah. Tugas pemerintah baru, karenanya, tersungkup pada dua hal. Pertama, mengadili para koruptor (kakap atau teri). Dan kedua, mencegah berulangnya praktek ini. Bagaimana memulainya?
Saat disumpah sebagai Wali Kota La Paz, Bolivia, yang pertama melalui pemilu pada 13 September 1986, Maclean-Abaroa harus berhadapan dengan situasi pelik. Korupsi ditemui di mana-mana. Para koruptor leluasa menjalankan aksinya tanpa ragu dan malu.
Saat itu krisis ekonomi memang tengah menggila. Presiden Bolivia memilih mundur daripada dilengserkan secara paksa oleh militer atau rakyat. Ketidakmampuannya mengatasi kekacauan ekonomi itulah yang membuatnya mundur, dan bukan karena ia korup.
Apa yang dilakukan wali kota baru? Pertama, menelisik sebab-sebab kenapa korupsi bisa terjadi dalam skala masif. Dalam analisisnya, ia berkesimpulan bahwa korupsi adalah kejahatan kalkulasi ekonomi. Jika kemungkinan tertangkap kecil, hukuman ringan, dan hasil yang diraih besar ketimbang insentif yang didapat pejabat pemerintah, kemungkinan besar korupsi akan bermunculan. Rumus atau hukum ini berlaku di mana-mana.
Setelah mengenali sebab-sebab korupsi, langkah kedua adalah merumuskan strategi anti-korupsi yang komprehensif. Strategi ini menandaskan, pemberantasan korupsi jangan berhenti pada imbauan moral. Sebaliknya, strategi anti-korupsi harus menggali cara-cara untuk mengurangi kekuasaan monopoli, menjelaskan dan membatasi wewenang, dan meningkatkan keterbukaan sembari menghitung kerugian langsung dan tidak langsung dari cara-cara itu.
Pendeknya, strategi ini bertumpu pada sistem yang korup, dan bukan pada manusianya yang bejat. Sebab, manusia yang baik akan tergiur untuk menyelewengkan kekuasaan jika peluang untuk itu tersedia, kemungkinan tertangkap kecil (bahkan bisa melarikan diri), dan hukuman ringan (di sini terdakwa bahkan bisa menyogok aparat).
Ketiga, menjalankan strategi anti-korupsi dalam segenap ranah dengan konsisten dan tanpa diskriminasi. Upaya ini bisa dimulai dengan mengikuti pepatah: "Petik buah ranum yang mudah dijangkau." Selesaikan kasus yang dapat diadili secara cepat dan berbiaya murah. Jika kasus itu menghebohkan publik, dan melibatkan (mantan) pejabat atau pengusaha besar, tentu akan lebih baik. Jika ini berhasil, optimisme publik akan datangnya perubahan akan kian mengkilap. Prinsip selesaikan semua kasus besar secepat-cepatnya, seperti dianut banyak aktivis anti-korupsi, terbukti kurang manjur dan justru makin membuat upaya gerakan anti-korupsi sia-sia karena tidak terfokus, bertele-tele, dan berbiaya mahal.
Tak mudah, memang, melakukan semua itu. Tapi, karena Maclean-Abaroa memiliki tekad baja untuk memberantas korupsi, dan ia sendiri merupakan sosok yang jujur, usahanya tidak sia-sia. Jika SBY-MJK memiliki tekad besar untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, pasangan ini patut meniru langkah sukses Wali Kota La Paz itu. Di tangan duet inilah masa depan pemberantasan korupsi tersandarkan. Dan di tangan kedua sosok ini pula perubahan besar ditunggu-tunggu. Mampukah mereka mewujudkannya? Ataukah kita akan menggantang asap seperti sebelumnya?
Periode 100 hari pertama pemerintahan SBY-MJK akan membuktikan apakah janji perubahan yang dilontarkan di banyak tempat itu palsu atau nyata. Itu bisa dilihat (dan dimulai) dari siapa yang diangkat sebagai jaksa agung.
Pada akhirnya sang waktu akan menjawab semua ini. Semoga kali ini kita tidak kecewa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo