DI zaman revolusi, kampung ini kesohor di seantero Kota
Surabaya. Warganya terkenal 'bajingan'. Dulu, "kalau kami
mencari kerja, tak kami bilang berasal dari Pandegiling," tutur
Munawi, 70 tahun, peminum dan pemabuk di masa mudanya. "Jika
akhirnya toke atau orang Belanda itu tahu tempat tinggal kami,
kontan kami diusir."
Kini, kampung yang termasuk Kelurahan Tegal Sari itu tetap saja
menampilkan wajah kurang sehat. Gotnya tidak mengalir. Nyamuk
dan lalat bercengkerama di mana-mana. WC umumnya, terletak di
sudut lorong yang dilewati setiap orang, menyebarkan bau
'seronok', berdampingan dengan kandang kambing. Tahi binatang
berjanggut ini pun ikut menyemarakkan pemandangan.
Itulah sebabnya banyak yang terperanjat, ketika pertengahan
bulan lalu kampung ini dikabarkan terpilih mewakili Asia
Tenggara dalam pameran The City Centre as a Place to Live, yang
akan berlangsung September tahun depan. Salam, wakil kepala
Kampung Pandegiling, terbingung-bingung. "Saya tidak tahu apa
yang menjadi ukuran," katanya.
Pameran itu disponsori lembaga nonpemerintah Jerman Barat --
International Building Exhibition -- untuk memperingati hari
jadi ke-750 Kota Berlin. Inilah pameran keempat setelah 1911,
1931, dan 1957. Kota lain yang akan ikut ambil bagian adalah
Aleppo (Syria), Kabul (Afghanistan), Uagadugo (Volta Hulu), dan
Salvador de Bahia (Brazil).
Pemerintah Kota madya Surabaya sudah tentu tidak menunjuk
Pandegiling. Pilihan dijatuhkan oleh organisasi Jerman Barat
itu, yang mengirimkan tiga ahli permukiman perkotaan dari Hoch
Schule Der Kunste sekolah tinggi kesenian di sana. Di antara
mereka terdapat Dr. Ing. Surjadi Santoso, kelahiran Jakarta,
pengajar tetap jurusan arsitektur untuk sekolah tinggi tersebut.
"Ketiganya saya ajak berkeliling ke semua kampung,
berhari-hari," tutur Ir. Johan Silas kepada TEMPO, pekan lalu.
Dosen tetap jurusan arsitektur ITS untuk mata kuliah permukiman
di perkotaan ini kemudian menambahkan, "mereka berembuk sendiri,
dan ternyata Pandegiling yang terpilih."
Konon kriteria yang digunakan ialah "kampung yang mewakili
segala warna, bentuk, dan corak permukiman di kota atau negara
bersangkutan" -- dalam hal ini Indonesia. Semua permasalahan
kampung di Indonesia bisa ditemukan di sini.
Kekhasan Pandegiling, menurut Johan yang mengutip para ahli
Jerman itu, kampung ini dijepit permukiman bercorak Eropa
(Belanda). Di selatan terbentang daerah Darmo, dan di utara
terdapat Tegal Sari, Pregolan, dan Kedondong. Kedua kawasan itu
dulu dihuni keluarga Belanda.
Dalam pameran di Berlin nanti akan dibahas pengaruh permukiman
Belanda terhadap Pandegiling. Pengaruh itu bisa tampil dalam
gaya arsitektur, maupun corak pembagian ruang (space). Akan
dipelajari seberapa jauh pengaruh Eropa mengubah wajah asli
Pandegiling, dan mengapa kampung itu bisa bertahan.
Di Pandegiling, kampung dengan 4.500 penduduk, memang tampak
beberapa rumah asli bergaya Jawa. Tapi tak kurang pula rumah
bergaya Belanda. Yang unik, ada rumah lama yang depannya
dirombak, tapi bagian belakangnya tetap dipertahankan. Semua itu
bercampur dengan wajah kemiskinan Pandegiling, dengan mayoritas
penduduk pedagang kaki lima dan tukang becak.
Kini sudah ada pegawai negeri, bahkan keturunan Cina, bermukim
di Pandegiling. Sekitar 25% penduduk memiliki sepeda motor,
hampir tiap rumah punya pesawat televisi hitam putih. Kampung
ini memillki 2 SD, I SMP, dan I SMA, semuanya didirikan yayasan
milik kampung sendiri. Ada tiga masjid, tapi tidak ada gereja
untuk 25% penduduk beragama Protestan dan Katolik.
Walikota Surabaya, Muhaji Wijaya, kabarnya akan diundang
menghadiri pameran itu. Tapi Muhaji belum tahu banyak tentang
terpilihnya Pandegiling. "Kalau memang itu sudah menjadi
keputusan mereka, tentu saja merupakan suatu kehormatan dan
kebanggaan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini