PUJI-pujian dilontarkan para tamu kepada tuan rumah. Begitulah
yang terdengar dalam konvensi kedua Konfederasi Wartawan Asia
(CAJ) 14-22 Agustus pekan lalu di gedung Dewan Pers, Jakarta.
Para wartawan dari ASEAN atau para peninjau dari Jepang,
Australia, Papua Niugini, atau Brunei, misalnya, menganggap pers
di sini maju, dan organisasi wartawannya baik. Dan ada kebebasan
pers.
Itu basa-basi atau tidak, Zulharmans dari PWI Pusat yang
diangkat jadi presiden CAJ menilai, Undang-undang Pokok Pers
kita "lebih bagus dari undang-uhdang di negeri-negeri ASEAN
lainnya." Hubungan antara reporter dengan pemimpin redaksi di
Singaura dan Malaysia, misalnya, dianggapnya lebih jelek.
"Seperti hubungan antara buruh dari majikan," tambahnya. Bahkan
menurut August Marpaung, direktur LKBN Antara dalam hal
"kebebasan pers" Indonesia lebih dulu memulai. "Para wartawan
ASEAN ingin meniru bentuk organisasi seperti PWI," katanya.
Di Malaysia, kebebasan pers itu sebenarnya ada -- dalam arti
menurut Ahmad Mustapha Hassan, pimpinan kantor berita Bernama
(Berita Nasional Malaysia), sampai saat ini belum ada penerbitan
pers yang diberangus. Meski begitu tak berarti di sana tidak ada
pembatasan. Setiap penerbitan, misalnya, harus memiliki surat
izin terbit (dari Kementerian Dalam Negeri) dengan ketentuan:
tidak pornografis, tidak menghasut, dan tidak subversif. Dan
yang penting: tidak mempersoalkan masalah ras.
Sehari setelah konvensi CAJ usai, diselenggarakan konperensi
Organisasi Agen Berita Asia (OANA) yang antara lain membicarakan
pertukaran informasi yang bebas dan adil, terutama antara negeri
maju dengan negeri-negeri yang sedang berkembang. Salah seorang
peserta, Hamid Hoosangi, redaktur pelaksana kantor berita Iran
Islamic Republic News Agency berbicara paling keras.
Bagi Hamid, sekarang ini tidak ada kebebasan pers, terutama di
dunia ketiga. "Berita-berita di seantero dunia sekarang ini
dikuasai kantor-kantor berita raksasa Barat: AFP, Reuter, UPI,
AP," ujar lelaki jangkung berjenggot itu. Ia melukiskan
negerinya sebagai korban dari keadaan tersebut. "Mereka tidak
pernah memberitakan bahwa di Iran juga ada pembangunan," katanya
lagi dengan sengit.
Menurut Hamid, sekarang di Iran banyak penerbitan pers
non-lslam. "Pemerintah tidak melarang penerbitan semacam itu
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam
ajaran Islam, siapa pun boleh berbicara -- meskipun mereka bukan
muslim," katanya lagi.
Menurut P. Unnikrishnan, pimpinan Press Trust of India, peserta
konperensi OANA yang lain, kemerdekaan pers di negerinya dijamin
oleh konstitusi. "Di sana tidak ada lembaga sensur, tidak ada
praktek pemberangusan atau pembatasan jumlah oplah. Di India
banyak penerbitan yang mewakili hampir seluruh aspirasi politik
rakyat," katanya bangga.
Menurut lelaki berkulit hitam ini, di sana tak mungkin ada
intervensi modal pemerintah dalam penerbitan pers. Juga tak
mungkin pemerintah melibatkan diri dalam organisasi pers,
sebab India menjamin kebebasan usaha swasta," ujarnya. Tapi ia
juga menyadari adanya pembatasan pers di dunia ketiga.
"Kebebasan pers di dunia ketiga dibatasi oleh perkembangan
sistem politik, prioritas politik, dan karakter institusi
politik," katanya lancar. Contoh seperti itu barangkali bisa
dilihat di Filipina.
Sementara tokoh-tokoh pers peserta konperensi OANA seperti dari
Iran dan India tersebut membanggakan kebebasan pers di negeri
masing-masing, komunike CAJ cukup keras: mengecam pembunuhan
seorang wartawan di Muangthai. Tapi organisasi ini juga
menyambut baik tindakan pemerintah itu yang mencabut dekrit yang
mengekang kebebasan pers. Komunike juga menyatakan prihatin
terhadap tindakan sementara pemerintah di ASEAN yang membatasi
arus informasi internasional dengan mengontrol peredarannya.
Juga ditegaskan, CAJ yang dibentuk pada 1975 sebagai organisasi
nonpemerintah, tidak akan terlibat dalam pertentangan politik
dan ideologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini