TIBA-tiba pekan lalu arowana ramai dibicarakan. Ikan yang di
daerah penghasilnya, Kapuas Hulu, Kal-Bar, disebut kelesa,
tangkuso, tangkelesa, peyang, kayangan atau siluk, mula-mula
dibenci nelayan. Sebab ikan ini tergolong buas. Bukan saja makan
cecak, kacoak, atau belalang, juga ikan-ikan yang ukurannya
lebih kecil.
Selama ini kalau tertangkap jala nelayan, arowana biasanya
diasinkan. Kalau dijual, paling banter laku Rp 1.000 sekilo.
Sisiknya yang keras biasa dijadikan perhiasan tudung saji atau
benda-benda kerajinan tangan lainnya.
Mulai Oktober tahun lalu arowana mendadak jadi rebutan. Pedagang
ikan hias Pontianak memesan arowana dengan tawaran harga
menggiurkan: Rp 10.000 untuk seekor arowana berwarna merah emas,
ukuran ikan akuarium. Di Jakarta, ikan ini bisa laku sampai
ratusan ribu rupiah. Dan karena kabarnya di Singapura dan Hong
Kong bisa mencapai jutaan rupiah, arowana ramai diselundupkan.
Ikan ini termasuk yang dilindungi oleh SK Menteri Pertanian 4
Oktober 1980 dan SK Direktur Jenderal Perikanan 7 Mei 1983
karena dipandang sudah langka. Kata ketentuan itu, bila nelayan
secara tidak sengaja menangkap arowana, ikan itu harus
dilepaskan lagi. SK serupa juga dikeluarkan Dinas Perikanan
Kal-Bar.
Menurut mitologi Tiongkok kuno, arowana adalah ikan yang bisa
membawa hokki bagi pemeliharanya. Orang Tionghoa menyebutnya
lenghe alias naga mas, karena sisiknya yang merah bergaris-garis
itu konon menyerupai sisik sang naga. Pada punggungnya ada warna
hijau lembayung. Ekornya mirip kipas. Pada janggutnya ada dua
lembar sungut. Ikan bermulut lebar ini berukuran panjang
maksimum 430 mm. Jika bayi lenghe sudah bisa berenang, sang
induk membuka mulutnya untuk melepaskan sekitar 30 ekor anak
yang ia tetaskan dalam mulut itu. Termasuk dalam genus
scleropagesformusus ikan dari keluarga Osteoglosside ini juga
terdapat di Sungai Musi. Tapi yang berwarna merah cuma ada di
Kapuas Hulu.
Kalimantan Barat terkenal sebagai sumber komoditi ekspor ikan
hias. Pasaran yang unggul selama ini ialah ikan ulang uli (Botia
macracantha) yang memborong sampai 6% pasaran ikan hias.
Kemudian menyusul ikan ketutung (Balantiocheilos melanopterus)
dan betutu (Eleotris sp). Hanya sejak mitos Tiongkok itu
tersebar luas, siluk naik jenjang. Karena itu, sejak keluar
larangan memperdagangkan arowana (siluk) para petugas Dinas
Perikanan Kal-Bar sibuk menghitung jumlah ikan tersebut yang ada
di tempat penampungan pedagang ikan hias. Status ikan arowana
ditentukan sebagai "barang titipan" dan tidak boleh
diperdagangkan lagi. Padahal arowana termasuk ikan yang sulit
dipelihara dan diternakkan.
Diperkirakan setiap tahun daerah ini bisa menghasilkan arowana
sampai 17.000 ekor. Karena itu pihak nelayan khawatir, kalau
jumlahnya terlalu banyak, arowana akan memusnahkan ikan-ikan
lainnya. Tapi bagi Gubernur Kal-Bar, Sudjiman, yang lebih
penting agaknya adalah nilai komoditi ikan itu yang tinggi.
Sebab itu Sudjiman kemudian mengusulkan kepada Menteri Muda
Urusan Peningkatan Produksi Peternakan & Perikanan, J.H.
Hutasoit, agar meninjau kembali keputusannya. Juga perlu
diteliti lagi, apakah arowana betul-betul termasuk ikan langka
hingga perlu dilindungi. Surat itu belum mendapat tanggapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini