Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

Kemenhut Klaim Perdagangan Karbon Bakal Libatkan Masyarakat Adat

Perdagangan karbon akan mengacu pada Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan kerangka regulasi nasional.

20 April 2025 | 11.30 WIB

Para tamu undangan menghadiri peluncuran Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa 26 September 2023. Pada perdagangan perdana Bursa Karbon, BEI mencatat terdapat 13 transaksi dengan jumlah volume emis yang diperdagangkan mencapai 459.914 tCO2e. Selain itu, jumlah pengguna jasa bursa karbon saat ini baru mencapai 16 perusahaan. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Para tamu undangan menghadiri peluncuran Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa 26 September 2023. Pada perdagangan perdana Bursa Karbon, BEI mencatat terdapat 13 transaksi dengan jumlah volume emis yang diperdagangkan mencapai 459.914 tCO2e. Selain itu, jumlah pengguna jasa bursa karbon saat ini baru mencapai 16 perusahaan. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) saat ini tengah menyiapkan skema perdagangan karbon sektor kehutanan sebagai bagian dari upaya pencapaian target NDC (Nationally Determined Contribution) dan FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink 2030 serta tindak lanjut pelaksanaan Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial Kemenhut Enik Eko Wati mengatakan skema ini mencakup mekanisme berbasis pasar, seperti jual beli unit karbon (carbon credit) dari kegiatan mitigasi di sektor kehutanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Perdagangan karbon akan mengacu pada Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan kerangka regulasi nasional seperti Perpres 98/2021 yang telah disiapkan untuk menjamin transparansi, akuntabilitas, dan integritas lingkungan," kata Enik kepada Tempo melalui pesan tertulis, Ahad, 20 April 2025. 

Menurut Enik, pemerintah dalam tahap finalisasi berbagai perangkat pendukung, termasuk regulasi teknis, panduan implementasi, serta penguatan sistem MRV (Measurement, Reporting, and Verification) dan SRN (Sistem Registri Nasional).

Enik menyebutkan informasi resmi mengenai peluncuran perdagangan karbon sektor kehutanan akan disampaikan kepada publik setelah seluruh kesiapan sistem, tata kelola, serta pelibatan para pemangku kepentingan dilakukan secara menyeluruh. Hal ini menjadi tugas bersama dengan kementerian terkait yang memiliki mandat dalam mengatur tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon secara keseluruhan. "Targetnya, peluncuran ini akan dilakukan dalam waktu dekat dengan memperhatikan dinamika kebijakan nasional dan internasional," kata dia.

Menurut Enik, berdasarkan kajian awal dan proyeksi berbagai lembaga, potensi ekonomi dari perdagangan karbon sektor kehutanan Indonesia sangat signifikan. Dengan potensi penurunan emisi dari sektor FOLU yang besar, kata dia, peluang pendapatan bisa besar, tergantung pada harga karbon di pasar dan kualitas unit karbon yang dihasilkan. "Namun, potensi ini tetap bergantung pada kesiapan regulasi, tata kelola, dan partisipasi aktif para pemangku kepentingan," ucap dia.

Dia menambahkan, peraturan mengenai perdagangan karbon sektor kehutanan akan memberikan 
sejumlah manfaat lingkungan yang konkret, antara lain menurunnya laju deforestasi dan degradasi hutan secara signifikan. Dampak lainnya, meningkatnya upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara berkelanjutan. 

Enik juga menyebutkan perdagangan karbon bakal menyediakan insentif untuk pengelolaan hutan lestari, termasuk di dalamnya pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat sesuai dengan kearifan lokalnya.

Dampak berikutnya, yakni terjaganya keanekaragaman hayati dan ekosistem penting seperti gambut dan mangrove. "Selain itu ada leningkatan kapasitas penyerapan karbon secara alami untuk mendukung stabilitas iklim global," ucapnya.

Menurut Enik, pemerintah menempatkan masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat sebagai aktor dalam skema perdagangan karbon sektor kehutanan, terutama dalam wilayah hutan yang telah mendapatkan penetapan status hutan adat atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat, yang sudah mendapatkan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial.

Pelibatan ini, kata Enik, dilakukan melalui skema perhutanan sosial, termasuk hutan adat sebagai basis kegiatan karbon; penyusunan benefit sharing mechanism yang adil dan inklusif; dan keterlibatan masyarakat hukum adat secara partisipatif dalam penyusunan rencana kegiatan RKPS-Adat (Rencana Kelola Perhutanan Sosial Adat), pelaksanaan, hingga pengawasan program. "Selain itu ada pendampingan teknis dan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat hukum adat," ucapnya.

Menurut Enik, dalam memperoleh manfaat perdagangan oleh masyarakat, Kemenhut berupaya mempercepat penetapan status hutan adat secara legal sebagai prasyarat keikutsertaan. Kementerian Kehutanan, kata dia, baru-baru ini membentuk Satuan Tugas Percepatan Penetapan Status Hutan Adat yang bersifat inklusif dan melibatkan berbagai pihak, termasuk LSM, akademisi, praktisi hutan adat dan mitra strategis untuk mempercepat proses penetapan status hutan adat di Indonesia.

Terkait penolakan perdagangan karbon oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menurutnya, pemerintah menghargai setiap pandangan, sebagai bagian dari proses dialog dan pembelajaran kebijakan. Dia mengatakan prinsip utama dalam kebijakan pengelolaan sumber penghasil karbon dari kehutanan adalah penghormatan terhadap hak masyarakat adat, prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent), dan tidak adanya tekanan atau paksaan dalam 
keterlibatan komunitas.

"Pemerintah berkomitmen untuk memastikan bahwa partisipasi masyarakat adat dalam skema karbon adalah sukarela, adil, dan bermanfaat secara nyata, serta mengedepankan pendekatan konsultatif yang inklusif dan transparan," ujarnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi meminta kepada seluruh komunitas adat di Indonesia untuk mewaspadai pemberian insentif dana karbon (carbon fund) atau pembayaran insentif kepada negara-negara berkembang yang telah berupaya dalam program REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) atau reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut.

Menurut Rukka, pemberian insentif itu hanya selubung untuk menutupi tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat di tempat lain. "Di Tano Batak sudah empat dekade orang-orang di sini tanahnya dirampas dan dikriminalisasi. Sebanyak 167 ribu hektare tanah hilang. Lalu, perusahaan yang sama membayar masyarakat adat di Kalimantan Timur. Jadi kita menikmati uang karbon dari penderitaan saudara-saudara kita," kata Rukka melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 16 April 2024.

Rukka pun mencontohkan di Kalimantan Timur, yang saat ini menjadi provinsi pertama di Indonesia sebagai penerima dana karbon pada 2022. Dana senilai ratusan miliaran rupiah yang kemudian digelontorkan ke daerah ini dalam skema program Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF) yang sudah berjalan di Kalimantan Timur ternyata disalurkan oleh perusahaan yang sebelumnya memiliki jejak kelam terhadap praktik kriminalisasi masyarakat adat.

Irsyan Hasyim

Menulis isu olahraga, lingkungan, perkotaan, dan hukum. Kini pengurus di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, organisasi jurnalis Indonesia yang fokus memperjuangkan kebebasan pers.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus