Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Produksi bahan bakar biodiesel B40 yaitu solar yang dicampur 40 persen minyak sawit bisa menyedot kebutuhan minyak sawit bahan pangan. Kompetisi minyak sawit untuk pangan dan bahan bakar itu bisa berlangsung menerus. Kelangkaan minyak goreng yang pernah terjadi beberapa tahun lalu bukan tak mungkin terulang jika pemerintah tak hati-hati dalam mengambil kebijakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Nanti kita menghadapi bulan puasa yang konsumsi minyak goreng akan naik, dan posisinya B40 sudah diimplementasikan juga mulai awal tahun ini,” kata Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengingatkan, Jumat 7 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengungkap kekhawatiran polemik kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi pada 2022-2023 terulang. Kondisi terkini, Harga Eceran Tetap (HET) Minyak Kita yang merupakan produk minyak goreng subsidi pemerintah sudah mengalami lonjakan kenaikan yang cukup tinggi, dari yang awalnya seharga Rp 14 ribu menjadi Rp 18 ribu per liter per November 2024.
Jika kondisi menghadapkan pada pilihan antara pangan atau minyak goreng dan energi biodiesel, Achmad menilai, stok akan selalu condong bergerak untuk kebutuhan yang menghasilkan nilai ekonomi lebih tinggi. “Akar permasalahannya adalah penetapan dua harga CPO yang menciptakan kecenderungan penjualan produk untuk kepentingan biodiesel,” ujarnya.
Selain itu, Achmad menambahkan, belum adanya pengaturan yang jelas antara minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk kebutuhan pangan dan energi juga semakin memunculkan kompetisi. "Jangan sampai B40 kembali menciptakan polemik kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang terulang pada 2025," katanya mengingatkan.
Achmad merujuk kepada hasil studi Sawit Watch saat menyarankan pemerintah mengatur pola konsumsi CPO guna membenahi tata kelola industri minyak goreng, jika ingin mengatasi polemik minyak goreng. Kemudian, melakukan evaluasi dan pengawasan sistem distribusi minyak goreng, menjaga kestabilan dalam penetapan HET minyak goreng, serta pengaturan kebijakan dari industri sawit dari hulu ke hilir.
Selain itu sokongan ke petani sawit rakyat melalui kepemilikan pabrik sawit dan pabrik minyak goreng skala mikro. “Intensifikasi sawit, bukan ekstensifikasi atau pembukaan hutan, perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sawit dalam negeri,” kata Achmad menambahkan.
Kalkulasi Kebutuhan CPO untuk B40
Kepala Departemen Advokasi Sekretariat Nasional Serikat Pekerja Kelapa Sawit (SPKS) Marselinus Andry memperkirakan produksi minyak sawit nasional pada 2025 turun sebesar 5,1 persen. Penyebabnya, penurunan produktivitas lahan karena sebagian besar tanaman kelapa sawit sudah masuk usia non produktif atau perlu diremajakan. Sementara permintaan domestik sawit akan tinggi melihat pengembangan biodiesel serta program nasional lain seperti Makan Bergizi Gratis.
Dari hitungan SPKS, proyeksi kebutuhan bahan baku dari CPO untuk penerapan B40 mencapai 14,8 juta metrik ton atau naik sebesar 31,3 persen dari 2024. Penerapan B40 akan meningkatkan kuota biodiesel nasional menjadi 15,6 juta kiloliter dari sebelumnya 12,98 juta kiloliter dalam program B35.
SPKS menilai bahwa kebijakan mandatori pencampuran biodiesel sebesar 40 persen ini berpotensi menyebabkan defisit minyak sawit nasional. Proyeksi penurunan produksi dan peningkatan kebutuhan domestik akan menyebabkan Indonesia kekurangan sebesar 1,04 juta metrik ton minyak sawit.
Andry mengingatkan pemerintah mewaspadai berbagai kebijakan yang diambil agar ada keseimbangan. “Sehingga ironi kelangkaan minyak goreng pada awal 2022 yang diikuti rendahnya harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani akibat kebijakan pelarangan ekspor CPO tidak berulang kembali pada 2025,” ujarnya.
Dia menilai solusi pemerintah untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri dalam negeri yakni lewat kebijakan pengetatan ekspor limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Euent/POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO) tidak menyelesaikan akar persoalan defisit minyak sawit untuk kebutuhan domestik.
Kebijakan pengetatan itu menurutnya justru akan berdampak buruk bagi petani sawit swadaya, karena pasokan bahan baku pabrik kelapa sawit brondolan juga berasal dari petani swadaya. “Dari segi produksi dan kualitas, produksi CPO dari bahan baku yang dipasok petani swadaya potensial dapat memenuhi kebutuhan domestik terutama produksi biodiesel nasional,” ujarnya.
Karena itu kata Andry, pemerintah perlu mengatur rantai pasok dari petani swadaya termasuk pasokan brondolan tandan buah segar dari petani yang diolah pabrik kelapa sawit. Langkah ini penting untuk memastikan jaminan bahan baku untuk biodiesel dan di sisi lain menguntungkan petani swadaya yang selama ini tersingkir dalam rantai pasok CPO untuk industri hilir, termasuk biodiesel.
Menrutna, model rantai pasok industri biodiesel saat ini tidak memungkinkan petani sawit swadaya mendapatkan nilai tambah. Rantai pasok biodiesel, disebutkannya, masih bergantung pada korporasi besar, anak perusahaannya, serta perusahaan pihak ketiga yang menjadi pemasok.
"Belum ada kemitraan antara perusahaan pemasok biodiesel dengan koperasi milik petani swadaya," kata Andry sambil menambahkan, “Padahal Indonesia memiliki potensi sekitar 5,31 juta hektare perkebunan sawit swadaya.”
Dengan asumsi produktivitas CPO per hektare dalam setahun sebesar 2,8 metrik ton, maka potensi produksi CPO dapat mencapai 14,87 juta metrik ton atau 15,94 juta kiloliter biodiesel. Potensi tersebut dapat menutupi kebutuhan produksi biodiesel B40. Potensi terbesar dari perkebunan sawit swadaya, kata Andry, berada di Sumatera dan Kalimantan, termasuk potensi minyak jelantah (UCO) yang tidak tergarap di dalam negeri, bisa menjadi alternatif untuk biodiesel.