Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menyambut Hari Primata Indonesia pada 30 Januari 2024, Koalisi Primates Fight Back bersama masyarakat sipil mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengambil langkah serius dalam menghentikan perburuan maupun perdagangan serta melindungi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka mengadakan aksi damai diiringi teatrikal di depan gedung KLHK. Sebanyak 15 aktivis dan relawan terlihat berdiri memegang poster bergambarkan
monyet yang dieksploitasi dengan tulisan “KLHK, Kenapa Terus Menutup Mata?” serta berisikan tuntutan kepada KLHK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang aktivis lainnya, yang terlihat memegang spanduk bertuliskan “Tetapkan Monyet Sebagai Satwa Dilindungi”, mengenakan topeng wajah Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar dengan penutup mata hitam.
Tak hanya menampilkan poster dan spanduk tuntutan, pada aksi kali ini seniman pantomim Wanggi Hoed juga turut hadir menampilkan aksi teatrikal. Aksi tersebut menceritakan kisah perjuangan induk monyet menyelamatkan anaknya yang ditangkap oleh manusia. Harapannya agar tidak ada lagi monyet yang diperjualbelikan untuk dipelihara.
Juru bicara Koalisi Primates Fight Back sekaligus pendiri Animal Friends Jogja (AFJ) Angelina Pane mengatakan, “Sejak Maret 2022, The International Union for Conservation of Nature’s Red List of Threatened Species (The IUCN Red List) telah memasukkan kedua spesies ini ke dalam golongan terancam punah.”
Lebih lanjut ia menyebutkan kondisi monyet ekor panjang dan beruk saat ini semakin memprihatinkan. “Meski sudah dua tahun sejak kedua status spesies satwa ini dinaikkan oleh IUCN dari rentan menjadi terancam punah, namun pemerintah sepertinya menutup mata pada sejumlah tindakan eksploitatif yang terjadi bertubi-tubi terhadap kedua spesies primata yang memiliki peran penting untuk keberlanjutan lingkungan,” kata dia melalui keterangan tertulis, Selasa, 30 Januari 2024.
Sebelum aksi, Minggu, 28 Januari 2024, aktivis dan relawan Koalisi Primates Fight Back juga melakukan aksi damai pada saat Car Free Day (CFD) di kawasan Bundaran HI, Jakarta. Aksi ini dilakukan guna menyampaikan pesan kepada warga ibu kota tentang eksploitasi yang dialami monyet di Indonesia, dan nyaris tidak ada tindakan dari KLHK untuk melindungi kedua spesies ini.
Setelah berhujan di depan gerbang Kementerian LHK, lima orang perwakilan Koalisi Primates Fight Back masuk menemui perwakilan KLHK, untuk menyampaikan tuntutan koalisi secara langsung. Perwakilan Koalisi Primates Fight Back disambut oleh Biro Humas dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian LHK.
Koordinator Garda Animalia, Satria, yang tergabung dalam koalisi mengatakan paradigma terhadap monyet ekor panjang hanya berfokus pada pemanfaatan. “Selama ini perdagangan maupun eksploitasi monyet seringkali disepelekan, padahal aktivitas ini merupakan kejahatan luar biasa dan upaya pemulihannya (rehabilitasi) membutuhkan biaya yang tidak sedikit.”
Monyet kerap kali hanya dianggap sebagai sumber masalah disebabkan asumsi kelebihan populasi (overpopulation) sehingga perlu dilakukan penangkapan untuk mengatasi masalah tersebut. Tak berhenti di situ, monyet kerap kali dicap sebagai hama untuk lahan pertanian di sekitar habitat. “Tentu pemerintah harus memikirkan alternatif mitigasi lainnya, timbulnya ‘konflik’ harus dinilai secara keseluruhan termasuk fragmentasi habitat,” katanya.
Perwakilan Animals Don’t Speak Human, Fiolita Berandhini, menyatakan akan percuma apabila penyelamatan dan rehabilitasi dilakukan, jika nantinya monyet-monyet akan tetap diburu untuk diperdagangkan dan dieksploitasi karena tidak adanya perlindungan hukum.
Dari sejumlah laporan, dampak dari masifnya praktik jual beli kedua spesies ini melahirkan sejumlah perlakuan penyiksaan terhadap monyet maupun beruk yang dipelihara. Selain itu, praktik ini juga berpengaruh buruk terhadap populasi kedua jenis satwa tersebut yang ada di alam liar. “Maraknya komunitas pemelihara monyet juga menyumbang permasalahan yang meningkatkan jumlah perburuan satwa di alam,” ungkap Fiolita Berandhini.
“Ancaman zoonosis merupakan hal yang perlu menjadi perhatian penting karena perdagangan monyet untuk pemeliharaan berpotensi besar menularkan sejumlah penyakit yang membahayakan kesehatan manusia,” kata dia menambahkan.
Ayut, perwakilan dari masyarakat sipil yang turut hadir dalam audiensi menyampaikan keresahannya dalam menyikapi dampak psikologis yang ditimbulkan terhadap anak-anak
apabila melihat sejumlah tindakan eksploitasi terhadap monyet dan beruk yang berseliweran di media sosial.
Kondisi monyet ekor panjang dan beruk saat ini sangat minim perhatian karena pelaku kejahatan acap kali lolos. Peraturan perundang-undangan saat ini hanya dapat diterapkan apabila satwa tersebut masuk ke dalam kategori satwa liar dilindungi. Maka sudah seyogyanya monyet ekor panjang dan beruk ditetapkan menjadi satwa liar dilindungi.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.