Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Komitmen Iklim Uni Eropa Dipertanyakan, Kredit Rp 4 Ribu Triliun Disebut Mengalir ke Perusak Lingkungan

Sinarmas dan RGE disebut di antara korporasi penerima dana kredit dari Uni Eropa itu dalam laporan EU Bankrolling Ecosystem Destruction.

26 Maret 2024 | 20.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa merilis laporan terbaru yang mengaitkan lembaga keuangan dengan kerusakan lingkungan hidup. Laporan menunjukkan bukti bahwa sejak penandatanganan Perjanjian Paris pada akhir 2015, ada kredit global sekitar US$1.257 triliun (setara Rp 19.842 triliun) mengalir ke grup-grup perusahaan di sektor yang berisiko terhadap ekosistem dan iklim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan berjudul EU Bankrolling Ecosystem Destruction itu menganalisis data yang disusun lembaga riset Profundo dan dirilis Greenpeace International, Friends of the Earth Belanda, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa. Berdasarkan riset itu, seperlima dari kredit global itu, atau setara Rp 4.394 triliun berasal dari lembaga-lembaga keuangan di 27 negara anggota Uni Eropa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dana itu mengalir ke 135 perusahaan atau pemain utama di sektor yang berisiko terhadap lingkungan hidup, seperti kedelai, peternakan, kelapa sawit, karet, kayu, dan komoditas lainnya yang berpotensi tinggi merusak ekosistem. Perusahaan-perusahaan besar dari berbagai negara, seperti JBS (Brasil), Cargill (Amerika Serikat), hingga dua grup bisnis besar Indonesia, Royal Golden Eagle dan Sinar Mas, turut disebut dalam laporan ini sebagai penerima dananya. 

Dengan temuan ini, Greenpeace International dkk secara spesifik menyoroti komitmen iklim Uni Eropa. Di satu sisi Uni Eropa memiliki kebijakan anti-deforestasi, tapi di sisi lain
lembaga-lembaga keuangan yang berasal dan berbasis di negara-negara anggotanya masih mengalirkan kredit dan berinvestasi ke perusahaan-perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan.

Di Tanah Air, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian menyarankan lembaga keuangan di Indonesia perlu berefleksi dari laporan temuan itu. Alasan Uli, kebijakan keuangan berkelanjutan yang tengah diorkestrasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih jauh dari ideal.

“Uni Eropa dan Indonesia perlu lebih ketat meregulasi lembaga-lembaga keuangan di negara masing-masing agar lebih bertanggung jawab dan tidak ikut membiayai perusakan lingkungan," katanya dalam keterangan tertulis bersama Greenpeace Indonesia, Selasa 26 Maret 2024.

Lebih jauh Uli mengaku kalau pendanaan untuk perusakan lingkungan sudah menjadi catatan Walhi dan Milieudefensie (Friends of the Earth Belanda) sejak pembahasan draf Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR. "Penting bagi Uni Eropa untuk membuktikan komitmen pelindungan iklim mereka,” katanya.  

EUDR yang diadopsi pada Mei 2023 disebut sebagai langkah untuk mencapai komitmen iklim dan keanekaragaman hayati global Uni Eropa. Kebijakan itu bertujuan mengurangi dampak lingkungan dari konsumsi masyarakat Uni Eropa, dengan mewajibkan korporasi menjamin bahwa produk-produk mereka tak berasal dari deforestasi–yang terjadi setelah Desember 2020.

Kendati begitu, menurut Uli, beleid itu belum mengatur tentang pendanaan yang mengalir ke perusakan lingkungan. Karenanya, organisasi lingkungan dan HAM mendesak Komisi Uni Eropa untuk memperbaiki kebijakan tersebut dengan mengajukan proposal legislasi sebelum Juni 2025.

Poin penting lain yang perlu diperbaiki dari kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa ialah perlindungan hak-hak masyarakat adat dan petani swadaya. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan EUDR belum tegas menekan negara-negara produsen untuk menghormati hak-hak masyarakat adat.

Di Indonesia, Arie menilai, praktik-praktik industri sawit di masa lalu terbukti merampas lahan masyarakat adat dan menghancurkan hutan. Praktik serupa, dia meyakini, masih mungkin berlanjut. "Apalagi jika melihat pemerintah Indonesia yang sangat defensif menyikapi EUDR," kata dia.

Menurut dia, laporan berjudul EU Bankrolling Ecosystem Destruction harus menjadi perhatian khusus gugus tugas EUDR yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa. "Untuk memastikan aliran dana investasi ini hanya disalurkan untuk mengembangkan pekebun kecil dan rantai pasok yang bebas deforestasi," kata Arie menambahkan. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus