Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PT Lestari Asri Jaya berusaha melepaskan lahan milik warga yang ada di dalam area konsesinya.
Jika warga tak bersedia, ada tekanan melalui surat panggilan polisi dengan ancaman pidana perambahan hutan.
Kehidupan suku Anak Dalam berubah setelah PT Lestari Asri Jaya datang dan menginginkan lahan mereka.
KONFLIK lahan di Sumatera terjadi antara perusahaan pemilik konsesi hutan tanaman industri (HTI) dengan penduduk yang mengolah lahan di areanya. Seperti konflik lahan di Kabupaten Tebo, Jambi, antara PT Lestari Asri Jaya dengan penduduk desa di sekitar konsesi, termasuk dengan masyarakat adat suku Anak Dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik lahan itu melibatkan penegakan hukum yang memenjarakan pendudukan desa. Pada Agustus 2022 lalu, Ketua Dewan Pengurus Cabang Serikat Petani Indonesia Kabupaten Tebo, Junawal bin Sukino, baru menikmati kebebasan setelah mendekam di penjara selama dua tahun. Warga Napal Putih, Serai Serumpun, Kabupaten Tebo, Jambi, ini dihukum empat setengah tahun penjara karena kasus pembakaran alat berat dan penyanderaan karyawan PT Lestari Asri Jaya pada 2019. "Saya dibebaskan melalui program asimilasi Covid-19 pada 19 Mei 2022," katanya, Rabu, 31 Agustus lalu.
Penangkapan Junawal bermula dari peristiwa 13 Mei 2019. PT Lestari Asri Jaya (LAJ), yang memiliki konsesi HTI seluas 61.495 hektare sejak 2010, berusaha menarik lahan milik warga desa yang masuk ke dalam konsesinya. Sebagian masyarakat menerima, tapi yang lain menolak karena nilai kompensasi yang tidak sepadan. Hari itu, penduduk menyandera dua alat berat yang menggusur lahan mereka dan menyerahkannya ke polisi.
Esoknya, dua alat berat itu kembali menggusur lahan warga yang sudah ditanami sawit. Warga desa pun marah. Mereka membakar alat berat dan menyandera pekerja PT LAJ yang menjadi operatornya. Saat peristiwa itu terjadi, Junawal sedang berada di rumahnya. Dia ditangkap setahun kemudian, 26 Mei 2020, di rumah orang tuanya di Desa Rantau Api, Kecamatan Tengah Ilir, Tebo. "Saya dianggap provokator atau dalang pembakaran itu," tuturnya.
Upaya PT LAJ—anak usaha PT Royal Lestari Utama, yang sahamnya dimiliki perusahaan ban asal Prancis, Michelin—melepaskan lahan kelolaan masyarakat itu menjadi sumber konflik. Menurut Ketua Serikat Petani Indonesia Jambi Sarwadi, kalau harga yang diajukan cocok, warga mau melepas lahannya. Namun jika warga tak bersedia, ada tekanan melalui surat panggilan polisi dengan ancaman pidana perambahan hutan. "Hampir semua begitu caranya," ucapnya, Kamis, 25 Agustus lalu.
Teguh, warga Pemayungan, Sumay, salah satu yang mengalami intimidasi. Dia memiliki lahan 8 hektare yang ia peroleh pada 2007 dengan membayar kompensasi kepada masyarakat Rp 2,5 juta per hektare. Sampai Januari 2021, dia mendapat empat kali surat panggilan dari polisi. "Saya tidak memenuhi panggilan itu," ujar Ketua Persatuan Petani Pemayungan Mandiri ini saat ditemui di Jakarta, Selasa, 22 Maret lalu.
Harun, warga Rukun Tetangga 07 Desa Pemayungan pemilik sekitar 30 hektare lahan, memenuhi panggilan polisi setelah sejak 2018 kerap didatangi orang perusahaan yang meminta dia menyerahkan lahannya. Tak tahan menghadapi teror surat, ia akhirnya melepas 20 hektare lahannya dan mendapat ganti rugi Rp 6 juta per hektare pada Oktober 2019. "Takut dijemput paksa," kata Kharzaliq, anak Harun, memberi alasan ayahnya melepas lahan.
Pengalaman Jupri, warga Pemayungan, lebih dramatis. Pemilik lahan 22 hektare itu beberapa kali mendapat panggilan, tapi ia tak menggubrisnya. "Mereka selalu menyarankan menyerahkan tanah itu," tutur Jasmin, istri Jupri, saat ditemui di rumahnya, Rabu, 2 Februari lalu. Pada 7 November 2020, Jupri ditangkap dengan tuduhan membakar lahan. Padahal ia hanya membakar ranting-ranting pohon yang dipangkas untuk mendirikan antena layanan penyediaan akses Internet.
Saat berada di kantor polisi, Jupri diancam dengan pidana jika menolak menyerahkan tanahnya. Pertahanan Jupri runtuh ketika ia mendengar istrinya menangis setiap hari dan beberapa kali pingsan. "Saya takut istri saya stroke, meninggal, karena selalu menangis," ujarnya. Ia melepas semua lahannya dan diberi ganti rugi Rp 7 juta per hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Junawal, 2019/Dokumen SPI
Untuk memprotes intimidasi PT LAJ itu, warga Pemayungan berdemonstrasi ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tebo, September 2020. Seusai demonstrasi itu, DPRD Tebo mengundang perwakilan PT LAJ pada 24 September 2020. Dalam pertemuan itu ada kesepakatan tertulis. Isinya antara lain perusahaan tidak akan menggusur lahan warga yang luasnya di bawah 10 hektare.
Tekanan terhadap warga Pemayungan tak lantas berhenti. Mereka pun mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada Selasa, 22 Maret lalu. Mereka juga mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Sabtu, 26 Maret lalu. Teguh, yang mewakili warga, meminta intimidasi dihentikan. "Kami juga meminta lahan yang dikelola warga dikeluarkan dari area konsesi PT LAJ," katanya.
PT Lestari Asri Jaya membantah tuduhan mengintimidasi warga Pemayungan. "Perusahaan menentang segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat dan pemangku kepentingan lain," ucap Yasmine Sagita, Director of Sustainability, Corporate Affairs, and Human Resources PT Royal Lestari Utama, melalui jawaban tertulis kepada Tempo, Kamis, 14 April lalu.
Menurut Yasmine, perusahaannya menghormati aspirasi warga yang menginginkan lahan kelolaan mereka dikeluarkan dari area konsesi. "Terkait dengan aspirasi warga Desa Pemayungan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perusahaan menghormati langkah tersebut dan akan menghormati proses yang dilakukan pemerintah."
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Bambang Supriyanto menyatakan akan melihat terlebih dahulu permintaan warga Pemayungan. Menurut dia, karena lahan itu berada di area izin PT LAJ, skema yang tersedia adalah kemitraan kehutanan. Jika masyarakat tidak mau bermitra, bisa saja dibuat adendum izin. "Tapi prosesnya lebih panjang," ujarnya pada 10 Oktober lalu.
PT LAJ tidak hanya berkonflik dengan masyarakat desa, tapi juga dengan Orang Rimba atau suku Anak Dalam. Di area konsesi PT LAJ, setidaknya ada tiga kelompok suku Anak Dalam dengan pemimpin masing-masing Temenggung Bujang Kabut di Pemayungan, Temenggung Hasan di Semambu, dan Temenggung Buyung di Muara Sekalo.
Menurut Rudi Syaf, Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Orang Rimba mulai mendiami daerah ini tidak lama setelah ada hak pengusahaan hutan (HPH) pada 1970-an. Saat itu Orang Rimba masih bebas melakukan tradisi berpindah-pindah tempat atau melangun. HPH tidak terganggu karena obyek kepentingan mereka hanya kayu, bukan lahan seperti HTI. "Tak ada konflik saat era HPH," katanya, Senin, 10 Oktober lalu.
Temenggung Bujang Kabut mengatakan kehidupan warganya berubah setelah PT LAJ datang dan menginginkan lahan mereka. “Ia hanya mau mengusir kami," ujarnya saat ditemui di rumahnya, Kamis, 3 Februari lalu. Kini Bujang Kabut bersama 60 keluarga menetap di lahan seluas 60 hektare di Cagar Hutan Mendelang—area yang ditetapkan PT LAJ sebagai Wilayah Cinta Alam sejak 2018. "Tujuan pindah kini sudah tidak ada," ucap Fauzi, anak Bujang Kabut, Kamis, 3 Februari lalu.
Pada Juli lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangani konflik melalui pelatihan. Menurut Bambang Supriyanto, ketiga kelompok suku Anak Dalam mengidentifikasi lahan mereka seluas 173 hektare. Disepakati lahan yang sudah dikelola akan dibuat batasnya. Adapun lahan yang belum dikelola akan didata oleh PT LAJ. "Pengelolaannya dengan kemitraan," tuturnya.
PT LAJ tidak menjawab pertanyaan tentang kesepakatannya dengan suku Anak Dalam itu. "Perusahaan memperkenalkan skema perhutanan sosial (kemitraan kehutanan) yang diatur peraturan perundangan di Indonesia dan dukungan fasilitas pendidikan dan sosial," kata Yasmine Sagita dalam jawaban tertulis kepada Tempo, Senin, 29 Agustus lalu.
Tak hanya kepada suku Anak Dalam, perusahaan juga menawarkan skema kemitraan kepada desa di sekitar konsesi. Bentuknya adalah kelompok tani hutan (KTH). Kepala Desa Pemayungan, Sudirman, mengatakan warga desanya tak tertarik pada tawaran itu karena skemanya tidak jelas. Contohnya, perusahaan meminta pendudukmenanam sayuran, tapi tak diketahui siapa yang akan menampung hasilnya. "Di Pemayungan ada tiga KTH. Sampai sekarang belum jelas kerja samanya," ujar Sudirman, Selasa, 1 Februari lalu.
RAMOND EPU (JAMBI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo