Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perubahan hutan menjadi lahan konsesi kebun karet di Kabupaten Tebo, Jambi, berbuah konflik antara gajah dan manusia.
Kawanan gajah yang kehilangan habitatnya memasuki kebun dan permukiman warga.
PT Lestari Asri Jaya mengklaim membangun area konservasi satwa liar di wilayah konsesinya.
KONFLIK gajah dengan manusia terparah yang pernah terjadi di sekitar perbatasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Jambi, terjadi pada akhir tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Besenjata parang, Marbun, Sidar, dan Sarmani menghalau dua gajah yang masuk ke kampungnya. Kurang pengalaman, mereka malah membuat gajah-gajah yang hendak diusir terpojok ke tebing. Tak dapat bergerak maju, gajah-gajah itu spontan berbalik arah. Nasib nahas menimpa Sarmani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Dusun IV Medelang, Desa Muara Sekalo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, itu diseruduk seekor gajah yang panik. "Saya mencoba lari tapi tersandung dan jatuh," kata Marbun saat ditemui di rumahnya, Rabu, 2 Februari lalu. Ia menyaksikan satwa liar itu menanduk tubuh Sarmani dan gadingnya merobek perut laki-laki 46 tahun tersebut.
Gajah itu lalu pergi meninggalkan Sarmani yang tergeletak tak berdaya di tanah. Marbun bergegas menolong Sarmani yang terluka parah. Sarmani langsung dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Hanafie di Muara Bungo. Setelah dirawat selama tiga hari, nyawanya tidak tertolong.
Kejadian itu menjadi konflik gajah dan manusia terparah dalam 10 tahun terakhir di Kabupaten Tebo. Sebelumnya, pada 4 April 2018, Damanhuri, 46 tahun, ditabrak gajah saat berada di kebun sawit. Warga Desa Pinang Belai, Kecamatan Serai Serumpun, ini pun dilarikan ke rumah sakit karena tulang rusuknya patah. Di luar dua kasus ini, konflik terbanyak adalah gajah yang masuk ke kebun warga dan menghabiskan isinya.
Bukan hanya manusia yang menjadi korban dalam konflik ini. Korban dari pihak gajah pun berjatuhan. Namun Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi tidak memiliki data gajah yang mati dalam 10 tahun terakhir. "Kalau data pasti tentu harus saya cek lagi. Ada yang sudah ditemukan tinggal tulang sehingga kita tidak bisa melakukan penyelidikan," ucap Teguh Sriyanto, pelaksana tugas Kepala BKSDA Jambi, Jumat, 19 Agustus lalu.
Tanda lintasan gajah di Muara Sekalo, Tebo, Jambi, 4 Februari 2022/Tempo/Abdul Manan
Menurut data Yayasan Auriga Nusantara, dalam 10 tahun ini setidaknya ada lima gajah yang ditemukan mati di lanskap Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Kematian gajah itu terjadi pada 2013 di Desa Suo-Suo, Sumay; 2014 di Desa Tanjung, VII Koto; 2019 di Semambu, Sumay; 2020 di Desa Muaro Kilis, Tengah Ilir; dan 2022 di Desa Suo-Suo. "Tiga kasus gajah mati karena diracun," ujar Riszki Ishardianto, peneliti spesies Direktorat Kehutanan Auriga, Jumat, 26 Agustus lalu.
Temenggung Buyung, warga suku Anak Dalam atau Orang Rimba yang tinggal di Muara Sekalo, bahu-membahu bersama masyarakat mengusir gajah yang menewaskan Sarmani itu. Menurut dia, konflik manusia-gajah adalah perkembangan baru. Sebelumnya, gajah sangat jarang masuk ke wilayah manusia. Perubahan terjadi setelah perusahaan datang. "Sebelum ada PT (perseroan terbatas) tak pernah (ada konflik dengan gajah). Karena hutannya masih luas," tutur Buyung saat ditemui di sebuah bengkel sepeda motor di Muara Sekalo, Rabu, 2 Februari lalu.
Temenggung Bujang Kabut, tokoh suku Anak Dalam yang tinggal di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, punya pandangan senada. Menurut dia, dulu satwa liar, termasuk gajah, tidak pernah masuk ke desa dan jarang ditemui manusia. "Kini sudah masuk desa. Kenapa? Hutannya sudah habis. Tidak ada tempat (untuk satwa liar) lagi," katanya.
Buyung dan warga Tebo memakai istilah "PT" untuk menyebut perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri. Salah satu perusahaan yang mendapatkan konsesi hutan itu adalah PT Lestari Asri Jaya, anak usaha PT Royal Lestari Utama, yang 100 persen sahamnya dimiliki pabrik ban kendaraan asal Prancis, Michelin. Luas wilayah konsesi PT Lestari Asri Jaya lebih dari 61 ribu hektare, berada di Kecamatan Sumay, Serai Serumpun, VII Koto Ilir, dan VII Koto.
Saat hutan diubah menjadi lahan tanaman industri seperti kebun karet, ujar Riszki, hal itu berpengaruh terhadap kekayaan keanekaragaman hayati di dalamnya. Daerah itu menjadi kurang menarik bagi gajah karena gajah tidak bisa mencari makanan di sana. "Ujung-ujungnya, ia menemukan pakannya di permukiman karena ada sawah atau lahan perkebunan," ucapnya. Konflik dengan manusia pun tak terhindarkan.
Kekhawatiran akan dampak lahan konsesi terhadap satwa liar ini pernah diutarakan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Frankfurt Zoological Society, Eyes on the Forest, dan WWF Indonesia. Dalam laporan berjudul “Last Chance to Save Bukit Tigapuluh” yang diterbitkan pada Desember 2010, mereka menyatakan kawasan hutan di sisi barat Taman Nasional Bukit Tiga Puluh sebagai habitat satwa yang dilindungi. Setidaknya ada 30 harimau yang masih hidup di kawasan itu, berbagi habitat dengan lebih dari 150 gajah Sumatera dan 130 orang utan.
Direktur Eksekutif KKI Warsi Rudi Syaf mengatakan pada saat itu ada kebutuhan besar untuk mempertahankan kondisi tutupan hutan di sekitar Taman Nasional Bukit Tiga Puluh guna menjaga keberlangsungan habitat satwa liar, terutama gajah. "Agar habitatnya berkembang," ujarnya, Senin, 10 Oktober lalu. Menurut Rudi, gajah cenderung mengikuti jalur tradisionalnya. Jika jalur yang biasa dilewati berubah, gajah akan menerobosnya. "Gajah tak bisa masuk ke taman nasional karena itu berupa bukit. Dia hanya beredar di kawasan datar," tutur Rudi.
Hilangnya hutan, juga konflik dengan manusia, diyakini berdampak pada populasi gajah. Berdasarkan data Auriga, populasi gajah Sumatera cenderung menurun. Pada 1985, jumlah gajah Sumatera sebanyak 2.800 (taksiran terendah) hingga 4.800 (taksiran tertinggi). Setelah itu jumlahnya terus berkurang, yakni 3.700-4.300 pada 1982, 2.400-2.800 (2007), 1.694-2.038 (2017), dan 924-1.359 (2021).
PT Lestari Asri Jaya (LAJ) mengklaim membangun area konservasi Wilayah Cinta Alam (WCA) untuk menjaga habitat satwa liar. "Ini adalah kawasan konservasi seluas 9.700 hektare untuk menyediakan home range bagi gajah sekaligus sebagai perlindungan satwa liar lain di ekosistem Bukit Tiga Puluh," kata Yasmine Sagita, Director of Sustainability, Corporate Affairs, and Human Resources PT Royal Lestari Utama, melalui jawaban tertulisnya kepada Tempo, Kamis, 14 April lalu.
PT LAJ menilai program konservasi di WCA cukup berhasil. "Karena ada populasi gajah Sumatera yang sehat di lanskap Bukit Tiga Puluh yang bisa dilihat dari rasio betina terhadap jantan dan berbagai kelas umur. Populasi gajah di lanskap tersebut mewakili 10 persen dari populasi gajah Sumatera yang tersisa," tutur Yasmine.
Penanda WCA (Wildlife Conservation Area) PT LAJ di depan rumah temenggung Bujang Kabut di Pemayungan, Sumay, Tebo, Jambi, 3 Februari 2022/Ramond Epu
Meski didedikasikan sebagai area konservasi, WCA tak seperti hutan. Sebelum PT LAJ datang, sebagian area ini dihuni banyak warga dan lahannya menjadi kebun karet serta sawit. Orang Rimba di bawah Temenggung Bujang Kabut juga tinggal di kawasan WCA. Bujang Kabut, yang menanam sawit dan kopi, mengaku kerap ditegur petugas PT LAJ, tapi ia mempertahankan kebunnya. "Bagaimana lagi. Kami mau cari makan," ucapnya.
Ihwal gangguan gajah, para petani di area konsesi PT LAJ mengaku risau. Teguh, Ketua Persatuan Petani Pemayungan Mandiri, mengatakan warga resah karena gajah kerap masuk ke kebun. Sekali datang, jumlahnya bisa 25-35 individu. Teguh pun memiliki pengalaman pribadi pada 2018. Sawit yang ia kelola sudah memasuki masa panen setelah beberapa kali bibitnya tak membuahkan hasil lantaran dirusak gajah. "Dalam waktu setengah jam, 1 hektare lebih sawit habis, enggak bersisa," ujarnya.
Kharzaliq, warga Rukun Tetangga 7 Desa Pemayungan, mengatakan konflik gajah dan penduduk desa tak hanya berdampak pada masyarakat. Satwa liar itu juga kerap mendatangi lahan karet PT LAJ. Namun lahan milik perusahaan itu dijaga dengan baik. Petugas punya alat lengkap untuk mengusir gajah, dari obor sampai petasan. "Kami tak punya alat-alat itu," kata Kharzaliq, yang mewakili penduduk desa meminta bantuan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Maret lalu.
DINI PRAMITA, RAMOND EPU (JAMBI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo