Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRAKTIK greenwashing atau “pencucian hijau” kurang menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Padahal, di tengah permintaan yang naik akan produk yang bebas dosa deforestasi atau perusakan alam, label hijau menjadi kebutuhan industri besar. Itulah yang terlihat di Jambi: perusahaan yang membabat hutan alam justru mendapatkan obligasi hijau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, PT Royal Lestari Utama memiliki konsesi hutan tanaman industri seluas 61.495 hektare lewat anak usahanya, PT Lestari Asri Jaya, di sisi barat Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Mereka menanam karet untuk memasok kebutuhan pabrik ban asal Prancis, Michelin. Produsen ban terbesar dunia itu menguasai 49 persen saham PT Royal. Saham mayoritasnya milik Barito Pacific Group, konglomerasi taipan Prajogo Pangestu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdalih reforestasi hutan di Tebo, Jambi, itu, PT Royal mendapatkan obligasi hijau (green bond) US$ 95 juta dari Fasilitas Keuangan Lanskap Tropis—kolaborasi Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dengan bank BNP Paribas—pada 2018. Dalih reforestasi ini menggelikan karena karet adalah tanaman monokultur yang justru menghilangkan lanskap asal berupa hutan alam.
Penanaman karet oleh PT Royal seharusnya masuk kategori deforestasi, alih-alih reforestasi. Klaim keliru itulah yang membuat WWF, lembaga lingkungan internasional, mengundurkan diri dari inisiatif ganjil ini. Lembaga audit lingkungan juga mengkonfirmasi bahwa PT Lestari Asri menghilangkan 3.500 hektare hutan selama 2012-2014.
Maka PBB seharusnya tidak memberikan pendanaan hijau untuk perusahaan yang justru membabat hutan. Apalagi operasi perusahaan tersebut juga berkonflik dengan masyarakat di sekitar hutan. Operasi perusahaan bahkan menggusur Orang Rimba, masyarakat adat yang menghuni lanskap hutan konsesi.
Belum lagi soal kehilangan keanekaragaman hayati. Lokasi perkebunan karet merupakan kawasan penyangga taman nasional, tempat melintas pelbagai satwa liar seperti gajah Sumatera. Perubahan hutan menjadi kebun monokultur seharusnya menjadi catatan khusus PBB dan bank Paribas. Jangankan memberikan obligasi hijau yang bunganya lebih rendah, menyediakan utang komersial untuk operasi perusahaan yang membabat hutan saja terlarang.
Masalahnya, hukum tentang greenwashing tak pernah jelas. Larangannya hanya ada dalam konsep pembiayaan berkelanjutan atau ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola). Meski larangan greenwashing tersirat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, aturan teknis dan hukumannya belum ada.
Sejatinya greenwashing jauh lebih berbahaya dibanding pembalakan liar. Karena terbungkus klaim penyelamatan lingkungan, seperti dalam kasus kebun karet PT Lestari Asri di Jambi itu, greenwashing justru berbuah pembiayaan besar. Michelin bahkan mungkin mendapat keuntungan berlipat karena bisa memasarkan bannya dengan label hijau, sehingga harganya lebih mahal, sekaligus meningkatkan nilai pasar dan reputasi.
Jika Indonesia serius hendak mencapai target net sink—emisi negatif di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lain—pada 2030, praktik greenwashing harus diberantas. Tanpa aturan yang jelas dan tegas, deforestasi yang memicu krisis iklim akan terus terjadi. Celakanya, penggundulan hutan itu kini bisa berlabel hijau.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo