Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai politik pangan nasional Indonesia perlu dikritik karena terlihat ingin menggeser posisi petani dan nelayan tradisional sebagai produsen utama. Saat ini pendekatan produksi berbasis korporasi dan militer melalui Brigade Pangan oleh Kementerian Pertanian justru memperburuk keadaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Politik pangan nasional kita sudah tidak bertumpu lagi kepada petani dan nelayan dan peladang tradisional, yang sebenarnya harusnya menjadi produsen pangan kita yang utama,” kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika, dalam acara diskusi di Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewi menilai, pergeseran itu dimulai dari persoalan lahan dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat. Kepemilikan lahan milik masyarakat perlahan-lahan diambil dengan berbagai cara, salah satunya melalui modus proyek Food Estate.
KPA menilai proyek pemerintah itu gagal berkali-kali di sejumlah daerah, seperti di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah. Namun pemerintah justru ingin kembali membuka lahan untuk proyek yang sama di lain daerah, seperti sekarang ini di Merauke, Papua.
Produksi besar-besaran untuk ketahanan pangan kini justru pada ujungnya melibatkan korporasi. Petani yang ikut dalam program Food Estate pun merugi dan terancam kehilangan lahan. “Sehingga didorong untuk menjadi petani yang tidak bertanah, semakin kecil, dan seterusnya, semakin tergantung kepada pihak-pihak luar yang sebenarnya seharusnya tidak masuk terlalu dalam ke sistem produksi pertanian kita,” kata Dewi.
KPA menolak adanya program food estate besutan era Presiden Joko Widodo tersebut karena sangat kapitalistik. Menurut Dewi, Food Estate sebenarnya tidak perlu ada. Seharusnya yang perlu dilakukan adalah reforma agraria yang diikuti dengan perbaikan tata kelola.
Salah satu petani yang ikut dalam program Food Estate adalah Serita Siregar, warga Desa Ria-Ria, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Perempuan itu mengikuti program ini sejak 2020. Awalnya dia tidak tertarik dan khawatir lahan seluas enam hektare miliknya dan keluarga akan diambil alih.
Masyarakat, kata Serita, dijanjikan bahwa program ini akan membuat ekonomi keluarganya menjadi lebih baik. Lahan miliknya dan keluarga yang belum bersertifikat dijanjikan akan disertifikasi jika ikut program Food Estate.
Serita pun setuju ikut program food estate, kemudian lahannya seluas satu hektare ditanami komoditas bawang merah, bawang putih, dan kentang. Tetapi tanaman bawangnya tidak berhasil karena lahan sebenarnya belum siap ditanami, lalu panen diminta secepat mungkin.
“Kenapa gagal? Karena sistem kerjanya kejar target. Sementara masyarakat Ria-Ria belum mengerti cara menanam bawang putih dan bawang merah. Kami sama sekali tidak pernah tanam,” kata Serita dalam forum diskusi bersama Dewi Kartika.
Menurut Serita, gagal panen itu menyebabkannya rugi sekitar Rp 100 juta. Itu sudah termasuk kerugian akibat pembelian bibit dari perusahaan penyuplai, pestisida, tenaga kerja, dan kompos.
Usai gagal panen itu, Serita mengaku tidak punya modal lagi. Sedangkan program terus berjalan. Akhirnya ia meminjam uang kepada keluarga dan menggadaikan sertifikat lahan kepada bank untuk mendapatkan KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Saat ini Serita khawatir lahan yang digadaikan itu benar-benar diambil alih saat dia tidak mampu membayar cicilan. Modal usaha pun sudah tidak ada lagi meskipun saat ini lahannya seluas enam hektare masih disewakan kepada perusahaan untuk penanaman komoditas kentang.
Serita mengatakan, persoalan yang dihadapnya sebagai petai ini sudah dilaporkan kepada pemerintah. Namun belum ada jalan keluarnya hingga kini.
Pilihan Editor: