Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kriminalisasi terhadap Pengkritik Smelter Nikel

Pengembang Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Morowali menggugat perdata lima pengkritik proyek smelter nikel.

20 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Warga Desa Tondo, Topogaro, dan Ambunu, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, beramai-ramai memblokade jalan tani masyarakat yang digunakan sepihak oleh industri smelter Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), 11 Juni 2024. Istimewa
Perbesar
Warga Desa Tondo, Topogaro, dan Ambunu, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, beramai-ramai memblokade jalan tani masyarakat yang digunakan sepihak oleh industri smelter Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), 11 Juni 2024. Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEPUCUK surat dari Pengadilan Negeri Poso, Sulawesi Tengah, itu sampai juga pada Kamis, 15 Agustus 2024. Rahman Ladanu, yang menerima surat tersebut, tak terkejut ketika membaca isinya. Pengadilan memberitahukan bahwa warga Desa Tondo, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, itu digugat perdata oleh PT Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG), perusahaan pengembang kawasan industri smelter nikel Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Sebelumnya saya sudah mendengar kabar perusahaan akan menggugat kami,” kata Rahman kepada Tempo, Senin, 19 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Rahman, 35 tahun, bukan satu-satunya yang digugat dalam perkara perdata dengan tuduhan perbuatan melawan hukum tersebut. Empat warga Bungku Barat lainnya menghadapi gugatan serupa, yaitu Safa’at, Imran S. Lasandara, Suriyon Hamid, dan Hamdan. Mereka digugat membayar ganti rugi materiel dan imateriel yang diklaim oleh perusahaan bernilai total Rp 14,32 miliar.

Merujuk pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Poso, PT BTIIG melayangkan gugatan perdata tersebut melalui surat tertanggal 19 Juni 2024. Namun gugatan baru didaftarkan ke pengadilan pada 8 Agustus lalu, melalui Rahmat Marianus Sidabutar, kuasa hukum perseroan. Dalam perkara ini, perusahaan juga menjadikan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Daerah Pemerintah Kabupaten Morowali sebagai pihak turut tergugat.

Detail gugatan PT BTIIG belum terang sepenuhnya. Namun surat gugatan itu dibuat hanya berselang sepekan setelah warga tiga desa di Kecamatan Bungku Barat memblokade jalan kampung. Pengadilan telah menjadwalkan sidang pertama pada 22 Agustus mendatang.

Diawali Protes Masyarakat

Blokade jalan dilakukan oleh warga Desa Tondo, Desa Topogaro, dan Desa Ambunu pada pertengahan Juni lalu. Aksi ini dilakukan sebagai respons masyarakat atas rencana PT BTIIG merelokasi 40 rumah warga di Dusun Folili, Desa Topogaro.

Perseroan akan menjadikan area permukiman masyarakat tersebut sebagai bagian dari kawasan industri. Kala itu, perwakilan perusahaan mengumumkan kepada masyarakat bahwa mereka berhak menggusur karena telah bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Morowali.

Kerja sama yang dimaksudkan adalah nota kesepahaman (MoU) tukar guling atas dua aset jalan setapak yang dibangun Pemerintah Desa Topogaro dan Desa Ambunu, masing-masing sepanjang 7-8 kilometer dari tepi Jalan Trans Sulawesi ke arah hulu. Rupanya jalan tersebut akan disulap menjadi bagian dari kawasan industri smelter. Di sebagian area jalan di Desa Ambunu bahkan telah dibangun gudang penyimpanan bijih ore.

Masalah muncul karena masyarakat merasa tidak diberi akses melewati dua jalan yang selama ini menghubungkan rumah mereka dengan ladang dan desa tetangga itu. Pengkampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah, Wandi, mencontohkan dampak yang dihadapi petani Desa Ambunu. Sebelum jalan tani Desa Ambunu dijadikan jalan hauling, masyarakat hanya perlu menempuh perjalanan 1-2 kilometer menuju kebun mereka. 

"Sekarang petani harus memutar jauh, kurang-lebih 3-4 kilometer menuju kebun," kata Wandi.

Kepolisian dan pemerintah daerah membongkar blokade jalan tani masyarakat yang sempat dilakukan warga sejumlah desa karena memprotes operasional industri smelter Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), 20 Juli 2024. Istimewa

Pemerintah desa setempat meminta klarifikasi ke perusahaan ihwal maksud tukar guling jalan yang sebelumnya dibangun oleh masyarakat tersebut. Tak mendapatkan penjelasan, masyarakat bermusyawarah hingga akhirnya memutuskan memalang jalan pada 11-14 Juni 2024. 

Gugatan perdata bukan satu-satunya upaya hukum yang disiapkan PT BTIIG untuk menekan pengunjuk rasa. Sebelumnya, perseroan sempat melayangkan dua surat somasi kepada masyarakat. Somasi pertama dialamatkan kepada Rahman Ladanu, Safa'at, Sadam, dan Imran pada 20 Juni lalu atas aksi pemalangan jalan di Desa Topogaro. Tiga hari kemudian, giliran lima warga Desa Ambunu, yaitu Moh. Haris Rabbie, Makmur Ms., Abd. Ramdhan, Hasrun, dan Rifiana, yang disomasi.

Masih pada periode itu, perusahaan juga melaporkan Rahman, Safa'at, Sadam, dan Imran ke Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Merujuk pada surat panggilan kepolisian, masyarakat Desa Tondo dan Topogaro itu dituding mengganggu atau merintangi kegiatan usaha pertambangan pemegang izin usaha pertambangan, izin usaha pertambangan khusus, dan izin pertambangan rakyat yang diatur dalam Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).

Sejak saat itu, perlawanan masyarakat tak padam. Bergabung dalam Forum Ambunu Bersatu, mereka kembali menggelar aksi memblokade jalan akses menuju gudang ore nikel dan pabrik smelter pada 20 Juli 2024.

Bagian dari Ekspansi Smelter Tiongkok

Digagas sejak sewindu lalu, pekerjaan konstruksi Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) baru dimulai pada 2022. Investor terbesar proyek kawasan industri smelter nikel ini adalah Zhenshi Holding Group Co Ltd, perusahaan tambang dan industri pengolahan logam berbasis di Provinsi Zhejiang, Cina. 

Zhenshi Holding Group bukan pemain anyar di bisnis penghiliran hasil tambang nikel yang makin bergeliat pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Perusahaan ini sebelumnya telah berkongsi di Indonesia Weda Bay Industrial Park atau IWIP bersama dua raksasa pengembang smelter nikel asal Cina lainnya, yakni Tsingshan Holding Group dan Zhejiang Huayou Cobalt Co Ltd. 

Proyek IHIP dirancang memakan area seluas 20 ribu hektare, yang akan dibangun dalam dua tahap. Area kerjanya membentang di Kecamatan Bungku Barat dan Kecamatan Bumi Raya, sekitar 75 kilometer arah barat daya dari lokasi Indonesia Morowali Industrial Park atau IMIP. Sejak Juli 2023, PT BTIIG sebagai pengembang kawasan membangun tiga unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara untuk keperluan industri atau PLTU captive berkapasitas 350 megawatt. Kawasan industri smelter ini juga dilengkapi pelabuhan.

Menurut Rahman, saat ini perusahaan sedang dalam tahap uji coba operasional. Lalu lintas pasokan batu bara untuk menghidupkan pembangkit dan bijih ore untuk bahan baku produksi tiga unit smelter nikel telah dimulai. Karena itu, menurut dia, dampak pengoperasian IHIP mulai dirasakan masyarakat.

“Tiga kampung kami itu diapit oleh operasional smelter dan tentunya debu aktivitas industri masuk ke rumah kami,” kata Rahman.

Kajian Auriga Nusantara mencatat IHIP memegang izin operasional smelter seluas 502 hektare sejak 2018. Pembangunan kawasan industri ini ditengarai telah menghabiskan sedikitnya 110 hektare hutan alam.

Pembangunan jembatan flyover untuk akses smelter oleh Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Kecamatan Bungku Barat, Sulawesi Tengah. Istimewa

Smelter ini mendapatkan pasokan nikel dari tambang-tambang di sekitar IHIP. Aktivitas tambang pemasok bahan baku IHIP ini diperkirakan juga telah memicu deforestasi seluas 463 hektare. “Sebelum operasional IHIP, juga telah berlangsung deforestasi 733 hektare hutan alam di wilayah tersebut,” demikian tulisan Timer Manurung yang merupakan Ketua Auriga Nusantara.

Wandi menceritakan bahwa proyek IHIP merupakan bagian dari One Belt One Road Initiative—program kerja sama internasional yang dirintis Cina pada 2013. “Mereka masuk ke tempat kami sejak 2018 dan membebaskan lahan warga sejak 2020,” ujarnya.

Sepanjang masa pembebasan tersebut, perusahaan diduga acap menyerobot dan merusak lahan warga. Penggusuran paksa lahan sawit seluas 14 hektare milik 12 keluarga di Desa Ambunu pada 17 Oktober 2022 hanya salah satu contohnya. Sempat memantik polemik, perusahaan akhirnya berdalih tak sengaja melakukan hal tersebut hingga kemudian masyarakat melepaskan lahannya untuk dijual ke PT BTIIG.

Waswas Kriminalisasi Meluas

Wandi menilai gugatan perdata terhadap warga desa di Kecamatan Bungku Barat kali ini merupakan bagian dari kriminalisasi yang sebelumnya juga beberapa kali dilakukan oleh perusahaan untuk meredam protes terhadap proyek IHIP. Dia khawatir, jika terus dibiarkan, tindakan serupa akan terus terjadi di kemudian hari. 

“Bisa terjadi terhadap warga desa-desa lainnya seiring dengan perluasan kawasan yang akan dilakukan perusahaan,” ujarnya.

Kekhawatiran Wandi bukan tanpa alasan. Kajian Transparency International Indonesia (TII) atas ekspansi pertambangan nikel di wilayah Sulawesi dan Maluku menunjukkan ekstraktivisme sumber daya alam tidak hanya memicu krisis ekologi, tapi juga menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang terpaksa ditanggung oleh masyarakat. Menurut peneliti TII, Gita Ayu Atikah, penghiliran nikel justru menyalahi prinsip keadilan sosial-ekologis. “Realita ini bertolak belakang dengan imaji kesejahteraan yang dicita-citakan pemerintah lewat jargon penghiliran,” ucap Gita.

Hal yang tak kalah mengkhawatirkan, rezim ekstraktivisme itu berkelindan dengan penyelewengan kewenangan. Walhasil, sektor ini menjadi contoh bagaimana korupsi justru terjadi atas dasar kebijakan atau hukum yang dibuat dan ditegakkan oleh penyelenggara negara atau state capture corruption.

Tempo berupaya meminta penjelasan dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Morowali Rustam Sabalio ihwal permasalahan lahan IHIP yang memicu konflik agraria. Namun dia enggan menjawab dan mengarahkan agar pertanyaan ditujukan kepada Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Morowali Rizal Badudin. Rizal tak memberikan jawaban hingga laporan ini diturunkan.

External Manager Huabao Indonesia Cipto Rustianto menampik tudingan perusahaan telah menyerobot lahan dan mengkriminalisasi masyarakat penolak IHIP. Dia menegaskan, perusahaannya datang ke Morowali karena mendapatkan restu dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian, kata Cipto, pembangunan industri telah merujuk pada perundang-undangan yang berlaku, termasuk dalam hal pemakaian jalan kawasan industri milik aset pemerintah daerah.

Menurut Cipto, PT BTIIG selalu berupaya merangkul masyarakat, baik melalui sosialisasi, pemberdayaan melalui badan usaha milik desa, maupun menciptakan lapangan kerja bagi warga setempat. “Isu kriminalisasi PT BTIIG sangat tidak berdasar,” kata Cipto melalui jawaban tertulis pada Senin, 19 Agustus 2024. Dia berharap semua pihak menghormati proses hukum yang sedang berjalan dengan menyerahkan penyelesaian perkara ini kepada pihak berwenang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus