Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kutu indonesia merayap ke as ? kutu indonesia merayap ke as ?

10 negara bagian di as dilanda hama yang menyerang lebah yang melakukan penyerbukan pada tanaman-tanaman. kerusakan itu akibat kutu varroa jacobsoni, parasit yang hidup dari lebah madu.

2 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH di sepuluh negara bagian, di Amerika Serikat, kerusakan lahan pertanian itu. Produksi buah-buahan dan sayuran menurun. Semua itu karena ulah "hama" yang menyerang lebah yang melakukan penyerbukan pada tanaman-tanaman tersebut. Produksi madunya juga merosot. Kerusakan itu akibat kutu Varroa jacobsoni, parasit yang hidup dari lebah madu. Departemen Pertanian AS memperkirakan, bila tak segera diambil tindakan, dalam waktu 9 tahun mendatang kutu-kutu itu dapat merontokkan 90% dari produksi lebah madu nasional hingga merugikan industri madu dan industri lilin tawon lebih dari 109 juta dolar pertahun. Ini belum terhitung kerugian akibat merosotnya panen sayur-sayuran dan buah-buahan. "Satu saja bisa membunuh jutaan lebah," kata Gary Oreskovic, yang menemukan kutu itu pertama kali di peternakan lebahnya. Pada kuartal terakhir tahun lalu, ketika ke peternakannya di Sanhville, Wisconsin, ia heran memandang lebah-lebah madunya seperti menggendong binatang sebesar kepala jarum pentul. Lebahnya tampak tak sehat, dan produksi madunya anjlok. Karena itu, dicurigainya sebagai biang "penyakit", 19 dari 18 ribu sarang (tiap sarang memuat sekitar 50 ribu lebah) segera ia musnahkan. Oreskovic lalu memanggil tetangganya, David Miksa, yang pernah meneliti kutu di Eropa dan juga memelihara lebah. Dari hasil pemeriksaan di laboratorium Departemen Pertanian ternyata si jacobsoni itu memang merusakkan kehidupan lebah. Dan dalam 5 bulan saja, kutu-kutu itu menyebar ke negara-negara bagian tadi. Tak ada peternak yang menganggap enteng. "Dalam waktu tiga hingga lima tahun ini Anda akan kehilangan 40% lebah madu Anda," kata David Miksa. Bisa-bisa 3,5 juta koloni (per koloni 50 ribu lebah), yang dimiliki 1.600 peternak lebah di AS, jadi ludes gara-gara kutu itu. Menurut Roger A. Morse, ahli lebah dari Cornell University, diperkirakan produksi madu di beberapa negara Eropa pada awal 1980 menurun hingga 50%, dan penyerbukan tanaman pertanian gagal, sebelum kutu-kutu itu dapat diatasi dengan berbagai pestisida. Tapi ada yang konyol. Kutu itu, menurut The New York Times belum lama ini, katanya berasal dari Indonesia, dan itu sudah ditemukan sejak 1904, yang kemudian cepat meluas ke seluruh dunia. Di Asia dan beberapa wilayah lainnya, lebah-lebah telah mampu berkembang dan bertahan. Tapi lebah madu Amerika - terutama yang berasal dari Eropa - tidak resisten terhadap serangan kutu tersebut. Serangan seperti di AS iu memang tidak dialami di Indonesia. Bahkan kebanyakan peternak lebah, seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, di Sum-Ut, tak mengenali Varroa jacobsoni. "Saya malah baru dengar sekarang," ujar Dr. Mustafa Majanu, M.Sc., ahli entomologi lulusan Poona University, India, yang mengajar di USU Medan, kepada Mukhlizardy Mukhtar dari TEMPO. Menurut Sumali, Koordinator Sub-Balai Rehabilitsi Lahan dan Konservasi Tanah Jratunseluna, Jepara, Ja-Teng, paling-paling musuh lebah itu adalah cecak, katak, kupu pijar, semut, dan burung. Cara mengamankannya sederhana. "Setiap saat sarang ditengok dan dibersihkan," ujar Rajiman, seorang peternak lebah (Apis carona) di Jepara. Ia punya 150 sarang lebah itu. Peternak di Ja-Tim, yang memelihara lebah asal Australia, juga tak mengenali Varroa jacobsoni. Sedangkan Harsono, peternak lebah di Sentolo, Yogya, mengaku ternaknya memang banyak musuh kalau sarang tak bersih. "Pokoknya, kalau ada lebah pasti ada kutu di sekitar sarangnya," katanya, tanpa mengetahui kutu itu apa si jacobsoni atau bukan. Mereka mungkin masih tradisional, atau memang keganasan si jacobsoni tak dirasakan. Beda dengan petani di AS yang cepat mengetahui ulah Varroa jacobsoni. Menurut mereka, bentuk serangan itu, antara lain, dengan membenamkan diri ke dalam tubuh lebah. Dan korbannya jadi lemah karena darahnya diisap. Berkaki 4 pasang, tubuhnya berbulu, mulutnya tajam, kutu itu kawin di sarang lebah. Anak-anaknya tumbuh dan dewasa di situ. Sembari mengisap madunya, kutu betina memangsa (biasanya sampai 8 hari) anak-anak lebah yang masih di sarangnya, dan bertelur di sana. Bila tidak mati, lebah yang menderita itu akan tumbuh cacat. Misalnya, sayapnya lemah. Bahkan sebelum sempat dewasa, lebah tersebut sakit-sakitan atau mati terinjak lebah yang sehat. Karena kekhawatiran itu, Lembaga Perlindungan Lingkungan Hidup atau EPA (The Environmental Protection Agency) segera mengeluarkan izin penggunaan uvalinate. Ini satu-satunya insektisida yang boleh di pakai - di antara 100 jeni insektisida yang telah diteliti. Di Eropa fluvalinate memang sudah efektif memusnahkan Varroa jacobson. Fluvalinate itu disemprotkan ke dalam sarang lebah. kutu yang menghirup obat itu, di tubuhnya bakal muncul perlawanan melawan aksi kutu. Tapi EPA melarang cara penyemprotan itu. Sebab, mungkin penggunaan itu malah meracuni orang yang sedang menanganinya. Cara yang lebih aman dengan kayu lapis, sebagai media fluvalinate. Meskipun pemerintah AS sudah mengambil langkah yang paling aman, para peternak lebah di sana masih ada yang sangsi. Peternak seperti Oreskovic malah lebih suka membakar lebah yang telanjur diserang si jacobsoni. Tapi untuk mencegah penyebarannya, pemerintah mengawasi orang-orang yang membawa lebah madu dari satu kota ke kota lainnya. Bahkan tak terkecuali terhadap yang membawanya untuk penyerbukan di areal perkebunannya sendiri, misalnya untuk penyerbukan tanaman apel, jeruk, cabai, semangka. Sebelum diterbangkan ke negara bagian lain, peternak dan lebahnya diperiksa dan diteliti pejabat peternakan setempat. Ini untuk meyakinkan bahwa mereka bebas kutu. Sedangkan untuk mengawasi merebaknya kutu, Departemen Pertanian di New York dan di lembaga lain dalam setahun diperkirakan perlu biaya sekitar 2 atau 3 dolar per sarang. Suhardjo Hs., S. Soebagyo (Yogya), Herry Mohammad (Surahaya), B. Amiruddin (Jepara)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus