Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sesat Pikir Prabowo Menyamakan Sawit dengan Pohon Hutan

Pernyataan Prabowo Subianto yang menyamakan sawit dengan pohon alam menyesatkan. Ancaman bagi mitigasi krisis iklim.

7 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Spot deforestasi dalam konsesi PT MP di Kalimantan Barat, Juli 2023. ANTARA/HO-Auriga Nusantara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pernyataan Prabowo Subianto yang menyamakan tanaman sawit dengan pohon di hutan alam menyesatkan.

  • Rencana ekspansi perkebunan sawit yang mengabaikan hutan berseberangan dengan kebijakan global antideforestasi.

  • Pernyataan Menteri Kehutanan yang menyiapkan 20 juta hektare kawasan hutan untuk cadangan pangan dan energi juga janggal.

SEPERTI bumi dan langit. Begitu Koordinator Center of International Forestry Research (Cifor) Herry Purnomo menggambarkan kemampuan perkebunan sawit dan hutan hujan tropis dalam menyimpan karbon. Dalam setahun, setiap hektare perkebunan sawit hanya bisa menyimpan karbon sebesar 40-80 ton. “Sedangkan cadangan karbon hutan mencapai 300-500 ton per hektare dalam setahun,” kata Herry, guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, kepada Tempo pada Senin, 6 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penjelasan Herry itu merespons pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyamakan tanaman sawit dengan pohon yang tumbuh di hutan alam. Herry menyayangkan sikap Prabowo yang terkesan hendak mengorbankan hutan untuk perluasan lahan perkebunan kelapa sawit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Prabowo menegaskan bahwa sawit merupakan bagian dari aset negara yang harus dijaga. Karena itu, ia akan memperluas perkebunan sawit tanpa khawatir akan memicu deforestasi. “Enggak usah takut, katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit. Dia pohon, ya kan?” kata Prabowo pada Senin, 30 Desember 2024.

Pernyataan tersebut dilontarkan Prabowo ketika memberikan pengarahan kepada pejabat daerah yang dikumpulkan di gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Menurut dia, banyak negara yang bergantung pada sawit. Tak sedikit di antaranya, kata dia, ketakutan tidak mendapatkan pasokan crude palm oil (CPO) dan turunannya dari Indonesia. Apalagi ketika Uni Eropa berniat menerapkan pembatasan.

Pernyataan Prabowo mengingatkan pada kajian Fakultas Kehutanan IPB tentang "Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi" yang terbit pada Januari 2022. Dalam naskah akademik yang dibuat bersama Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia itu hendak menyamakan kelapa sawit dengan pohon. Dengan begitu, perkebunan sawit tidak dianggap memicu deforestasi karena perkebunan sawit tergolong hutan yang berisis pepohonan.

Kajian itu mengutip pelbagai studi tentang kemampuan kelapa sawit menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca terbanyak, dibandingkan dengan pohon jati, akasia, sengon dan pinus. Kelapa sawit menunjukkan kemampuan menyerap CO2 paling banyak, yakni 38 ton per hektare, sementara jati, mahoni, dan sengon di bawah 25 ton per hektare.

Masalahnya, membandingkan antar pohon dalam kemampuan menyerap karbon bisa misleading tanpa kemampuannya menyimpan emisi yang diserapnya. Dengan sistem perakaran yang rumit dan keanekaragaman hayati di sekitarnya, hutan primer memiliki kemampuan menyimpan karbon lebih banyak. Studi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2015, menunjukkan hutan mangrove dan gambut 199 ton per hektare. 

Kawasan hutan dirusak dan dialihfungsikan untuk perkebunan sawit di Simeulue, Aceh, 5 Agustus 2024. ANTARA/Ade Irwansah

Menantang Kebijakan Antideforestasi

Herry mengatakan kemampuan sawit sebagai penyerap karbon alami tidak sebanding dengan pelepasan emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh deforestasi akibat perluasan kebun sawit. Karena alasan itu pula Uni Eropa membuat Regulasi Anti-Deforestasi (EUDR) terhadap sejumlah komoditas yang berisiko menyebabkan perusakan hutan, termasuk sawit.

Bakal diterapkan pada Desember 2025, mundur setahun dari semula Desember lalu, regulasi tersebut mewajibkan komoditas-komoditas yang masuk ke pasar Uni Eropa memenuhi aspek keterlacakan, tidak berasal dari konversi hutan atau menyebabkan deforestasi, juga disertai uji tuntas untuk memastikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Kebijakan antideforestasi merupakan bagian dari amanat dalam Resolusi Parlemen Eropa sejak 2017. Traktat di Benua Biru itu merujuk pada Perjanjian Paris 2015 dan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim. Di dalamnya berisi pertimbangan 73 persen deforestasi global diakibatkan oleh lahan pertanian dan 40 persen di antaranya adalah konversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Menurut Herry, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia justru semestinya menjaga komoditas tersebut sebagai aset dengan memberikan jaminan kepada pasar bahwa sawit dari negara ini memenuhi syarat EUDR. Hal itu, kata dia, bukannya tidak bisa dilakukan. 

Sikap Prabowo, yang menganjurkan agar upaya perluasan kebun sawit tak perlu mengkhawatirkan dampak deforestasi, justru bisa memicu mudarat. Ekspansi perkebunan sawit secara sembrono mungkin akan meningkatkan ekonomi dalam jangka pendek. Namun ekspansi tersebut bisa menimbulkan biaya yang jauh lebih besar bagi ekonomi jangka panjang, baik berupa kerugian lingkungan maupun sosial. 

Herry mengingatkan, deforestasi tidak hanya melenyapkan hutan, juga kekayaan ekologi berupa keanekaragaman hayati di dalamnya. "Masyarakat adat juga berpotensi kehilangan ruang hidup jika hutan disulap menjadi kebun sawit." 

Rencana pembabatan hutan turut disoroti Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, yang menilai Prabowo telah mendegradasi harapan perkebunan sawit berkelanjutan tanpa deforestasi. “Pernyataan tersebut sama halnya menghendaki untuk membubarkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)—organisasi yang mengatur standar anti-deforestasi nasional,” ujar Mansuetus.

Mensuetus mengatakan semestinya Prabowo berkomitmen menghentikan deforestasi dengan berfokus pada peningkatan produktivitas kebun sawit existing. Skenario tersebut dapat ditempuh melalui peremajaan sawit yang dapat mendongkrak lonjakan produksi hingga 20 persen pada 2029. Pemerintah juga semestinya berfokus pada penerapan sanksi terhadap sawit ilegal yang membabat hutan sehingga berpotensi menambah pendapatan negara. 

Kawasan Hutan untuk Cadangan Pangan dan Energi

Kekhawatiran yang sama juga mencuat seiring dengan wacana pemerintah bakal mencadangkan kawasan hutan seluas 20 juta hektare untuk pangan, energi, dan air. Pernyataan tersebut mulanya dilontarkan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni di Istana Negara pada akhir Desember 2024. Menurut Herry, sama dengan ekspansi perkebunan sawit, proyek food estate di kawasan hutan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan pelepasan karbon yang masif.

Peneliti bidang geodesi, hidrologi, pengindraan jauh, dan sistem informasi geografis dari Universitas Mulawarman, Yohanes Budi Sulistioadi, menilai ongkos kerugian ekologi yang akan ditanggung akibat alih fungsi hutan akan jauh lebih besar ketimbang keuntungan dari sawit. “Sudah banyak contohnya, seperti di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Semua hutan sudah jadi perkebunan sawit,” ucap Budi.

Pada awal milenium ketiga, Budi mendapati Kutai Barat masih diselimuti bentangan hutan alam. Masyarakat adat Dayak menjaga hutan dan bergantung hidup dari alam dengan menanam pohon berbuah. Adapun perkebunan dibuka dalam skala kecil melalui mekanisme sirkular. Cara ini efektif menjaga ekosistem hutan, tak terkecuali spesies obat dan beragam tumbuhan untuk keperluan upacara adat.

Hutan perlahan lenyap ketika perusahaan sawit datang dalam skala luas beberapa tahun terakhir. Meski masyarakat diuntungkan secara ekonomi, peradaban manusia berubah. Masyarakat menjadi konsumtif karena harus membeli segala jenis kebutuhan yang sebelumnya disediakan hutan. Selain itu, masyarakat menghadapi persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), pencemaran air akibat kerusakan tanah, serta hilangnya sumber mata air warga.

Karena beragam alasan tersebut, Budi mewanti-wanti agar pemerintah tidak melenyapkan hutan alam demi sawit. Dia sependapat dengan Herry, rencana perluasan kebun dapat dilakukan di lahan tak berhutan. Misalnya lahan-lahan terbengkalai yang selama ini dijadikan sebagai aset tak bergerak. Di Kalimantan Timur saja, Budi menghitung terdapat 1-2 juta hektare lahan yang tak dikelola.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni memastikan pemerintah akan mengelola hutan dengan tumpang sari—pola menanam dua atau lebih jenis tanaman dalam satu lahan pada waktu yang sama. Saat ini kementeriannya sudah mengidentifikasi 1,1 juta hektare dari luasan 20 juta hektare yang dialokasikan untuk disiapkan. “Ini adalah alternatif yang bisa kami sajikan kepada Pak Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan swasembada pangan,” ujar Raja Juli pada Senin, 6 Januari 2025.

Rencananya, kawasan hutan seluas 1,1 juta hektare tersebut menghasilkan 3,5 juta ton beras per tahun dengan jenis tanaman padi gogo. Padi yang biasa ditanam di ladang atau kebun kering itu diproduksi menggantikan impor beras. Raja Juli juga menawarkan penanaman pohon aren yang memiliki keistimewaan dapat memproduksi bioetanol 24 ribu kiloliter per hektare atau 24 juta kiloliter dalam 1 juta hektare.

Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik justru merasa janggal perihal 1,1 juta hektare hutan yang disodorkan Menteri Raja Juli untuk dikonversi menjadi lahan cetak sawah. Meski tak disebutkan lokasinya, dia menduga bentangan yang dimaksudkan berada di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. “Sebab, di sana Prabowo juga sedang berencana membabat hutan alam seluas 1,1 juta hektare untuk sawah,” ucap Iqbal.

Penggundulan hutan itu sedang dimulai pemerintah dari Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, tak jauh dari Sungai Digul yang berbatasan dengan Kabupaten Mappi. Di sana merupakan habitat hutan rawa dan mangrove yang kaya keanekaragaman hayati. Kementerian Pertanian menggandeng pengusaha tambang Andi Syamsuddin Arsyad untuk membangun jalan sepanjang 135 kilometer dengan lebar 1 kilometer.

Bagi Iqbal, tidak mengherankan bila Prabowo kemudian berpidato untuk merancang deforestasi demi swasembada pangan dan energi. Buktinya sudah dimulai dari Kampung Wanam—sebuah kampung adat yang ditinggali suku Malind. Jika diteruskan, dia khawatir pembukaan hutan tidak hanya memicu kerusakan ekosistem, tapi masyarakat adat juga tercerabut dari ruang hidup berbasis alam.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus